Tentang Kata-kata Mutiara
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/Cpe4mUiUsAAGhkf.png)
Dari literatur moderen, kebanyakan mengutip karya-karya Syekh Mustafa al Ghulayani, ulama Libanon tahun 1930-an. Terutama kitab “Idzotun Nasihin” (Petuah Bagi Generasi Muda). Umpamanya, “Laisal fata man yaqulu kana abiy, wa lakinal fata man yaqulu ha anadza”. “Bukan jantan jika bicara membanggakan ayahnya. Yang jantan itu, yang bicara inilah aku.”
Oleh : Usép Romli HM
Muncul pesan WA dari salah seorang cucu. Isinya menanyakan, apa arti istilah “kata mutiara”. Sekalian minta contoh-contohnya. Biasa, katanya, tugas PR dari gurunya.
Pesan WA dari cucu itu ternyata berdampak lebih jauh. Seolah mengingatkan hal yang telah lama terlupakan. Ya, istilah “kata mutiara” itu. Suatu saat, pernah sangat akrab dengan kehidupan masa muda dulu, 50-60 tahun lampau. Sehari-hari nyaris tak lepas dari “kata mutiara”. Surat cinta puber kepada seorang gadis imut-imut se-lalu dihiasi “kata mutiara”. Dinding pemondokan di pesantren dan sekolah, penuh dengan tempelan kertas jiplakan kata-kata mutiara.
Tahun 1950-an hingga 1960-an, hampir semua anak sekolah, mahasiswa, santri dan kelompok “intelek” lainnya, hafal dan fasih mengutip kata-kata mutiara. Terutama yang mengandung motivasi, pembangkit semangat, petunjuk hidup dan lain sebagainya.
Kalimat love is blind, cinta itu buta, sebuah kata mutiara yang amat dikenal di ling-kungan remaja pubertas. Sama dengan love is pain, cinta itu derita. Sekedar obat penawar dalam kegagalan cinta. Malah kemudian bertambah dengan istilah mirip-mirip kata mutiara. Seperti “cinta ditolak, dukun bertindak”. Tentu pada masa jampi-jampi pekasih alias “pelet” masih sering digunakan.
Kamar kos anak sekolah atau mahasiswa masa itu dipastikan penuh hiasan kata mutiara. Ditulis indah pada guntingan karton atau kertas berwarna. Ditempel di dinding atau di balik pintu, supaya mudah dibaca. Umumnya berupa kata mutiara kutipan dari para pujangga dan termasyhur sekelas Shakespéare, Albert Éinstein, dll. Misalnya kata mutiara ciptaan Shakespeare, “What is in a name”? Apa artinya nama? Nama bagus dan hebat, tapi prestasi dan reputasi buruk?
Memang karya-karya Shakespeare, bujangga Inggris abad 16, seperti “Hamlet”, “Romeo and Juliet”, dan lain-lain, sudah cukup dikenal siswa-siswa SMA lewat terjemahan, atau lewat bahasa Inggris edisi sederhana. Ditunjang pula oleh minat baca yang cukup tinggi saat itu.
Para mahasiswa kebanyakan sering mengutip kata-kata mutiara karya Dalé Carnegie, seorang motivator ulung asal Amerika tahun 1950-an. Buku-bukunya tersebar luas di seluruh dunia. Di antaranya “Hidup Hari ini” (Life This Day), yang menajdi best-seller. Salah satu kata-kata mutiara” yang sering sering dikutip dari buku itu adalah “Never put of till tomorrow, what you can do today”. Jangan menunda kerja ke hari esok, jika hari ini dapat diselesaikan. Sebab, kata Carnegie, hidup cuma hari ini, besok entah bagaimana.
Kalangan santri tentu saja mengutip kata mutiara dari literatur Arab, baik klasik, maupun moderen. Literatur Arab klasik, yang banyak dicutat, adalah kitab “Al-Hikam” karya Ibnu Athaillah asy Syakandari (abad 14). Dari literatur moderen, kebanyakan mengutip karya-karya Syekh Mustafa al Ghulayani, ulama Libanon tahun 1930-an. Terutama kitab “Idzotun Nasihin” (Petuah Bagi Generasi Muda). Umpa-manya, “Laisal fata man yaqulu kana abiy, wa lakinal fata man yaqulu ha anadza”. “Bukan jantan jika bicara membanggakan ayahnya. Yang jantan itu, yang bicara inilah aku.” Ada beberapa sumber yang mengatakan kalimat itu bersumber dari Sayidina Ali bin Abi Thalib.
Atau “Inna fi yadiss subani amral ummah wa fi iqdamiha hayatuha”. Sesungguhnya pada tangan generasi muda terletak urusan umat, generasi mudalah penentu kehidupan umat.”
Ketika popularitas gerakan “Ikhwanul Muslimin” Mesir, meluas ke mancanegara, terutama sejak peristiwa hukum gantung Sayyid Qutub, 25 Agustus 1966, muncullah kata-kata mutiara berbentuk slogan juang, “Isy kariman awu mutsyadan”. Hidup mulia atau mati syahid.”
Sayyid Quttub, ideolog terpenting “Ikhawnul Muslimin” sejak ditinggal wafat Hasan al Bana (1952), terkenal sebagai penulis poduktif. Karya utamanya adalah “Fi Dzilalil Quran”, sebuah tafsir Al-Quran yang sangat populer di kalangan organisasi perge-rakan Islam (harakatul Islamiyah). Ia dihukum gantung oleh rezim Presiden Gamal Abdul Naser, yang menjerumuskan Mesir ke jurang sosialisme-sekuler. Sayyid Qu-tub dan “Ikhwanul Muslimin” paling keras menentang gagasan dan kebijakan Nassser yang amat pro-Uni Sovyet itu.
Kini kata-kata mutiara jarang lagi tampak di kamar-kamar kos anak sekolah dan mahasiswa. Sebagai gantinya, bermunculanlah poster artis, atlit, dan sebagainya. Kobong para santri, juga sami mawon.
Jikapun sekarang masih ada “kata mutiara”, kebanyakan tertempel di belakang bak truk. Isinya tentu tidak mengandung “mutiara” lagi. Melainkan sekedar guyonan. Sebagian menyerempet “pornografi”. Seperti “I’tilasy tapi raosy” (bekas namun enak). Atau “Kutunggu jandamu”. Atau “Berangkat karena tugas, pulang karena Mamah”, “Abang tak pulang, ranjang tak goyang”, dan sebagainya-dan seterusnya.
Terima
kasih cucuku, telah mengingatkan kakek terhadap adanya katamutiara. [ ]