Solilokui

Politik Luar Negeri di Abad Millenial

Ide Indonesia sebagai macan Asia, ide Indonesia sebagai pemimpin dunia, bagi saya, sudah usang. Kini saatnya kita berpikir strategis menuju sebuah situasi dunia baru, dimana Indonesia memiliki pengaruh di dalamnya.

Oleh  : Prof. Dr Yuddy Chrisnandy.

Nawacita yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2019), yang menunjukkan prioritas jalan perubahan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, menyajikan diorama dari cita-cita besar bangsa Indonesia, sejak era Soekarno.

Idealnya, roh Nawacita merasuk kedalam setiap tugas pokok fungsi pemerintahan, termasuk kedalam ranah Politik Luar Negeri, yang jelas disebutkan pada urutan pertama dari sembilan komitmen yang dituangkan Nawacita adalah penegasan Politik Luar Negeri bebas aktif dan urutan keenam yang mengupayakan peningkatan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

Yuddy Chrisnandy

Komitmen pemerintahan Presiden Jokowi pada periode selanjutnya 2019-2024, didasarkan atas kesadaran tantangan global yang dinamis, yang membutuhkan solusi inovatif untuk menjadi negara yang produktif. Disebutkan pentingnya melanjutkan pembangunan infrastruktur yang terpadu, pembangunan SDM berkualitas dan berkesinambungan, menciptakan iklim investasi yang kondusif,  memangkas hambatan birokrasi, melanjutkan reformasi, memperkuat demokrasi dan persatuan nasional (Pidato Calon Presiden Tepilih, Joko Widodo, 14 Juli 2019). Dengan gamblang Presiden menegaskan pentingnya outwards looking terhadap perubahan dunia, menyadari beratnya persaingan antarnegara. Hal tersebut merupakan jawaban dari kekhawatiran selama lima tahun ke belakang dimana kita sibuk dengan urusan dalam negeri yang cenderung inward looking, kurang memberikan skala prioritas terhadap perkembangan medan magnet dunia. Kini kita sadar, perlu memberikan respon yang cepat namun terukur bagi kepentingan nasional kita sendiri.

Gejolak politik dunia

Gejolak politik lazim terjadi dalam pergaulan dunia. Saya mulai dari Amerika Serikat (AS). Kehadiran Donald Trumph sebagai Presiden Amerika Serikat membawa dampak yang tidak tidak terduga, mempengaruhi kemapanan tatanan politik dunia. Segala tindak tanduk Trumph sebagai Presiden salah satu negara terkuat di dunia, memiliki dampak multinasional.

Sebut saja saat Trumph memaksakan kebijakannya di akhir tahun 2018, untuk membangun tembok perbatasan dengan Meksiko yang hal tersebut tidak disetujui Partai Demokrat sebagai partai oposisi pemerintah. Apa yang terjadi? Dana APBN Amerika tidak cair akibat Partai Demokrat tidak menandatangani usulan anggaran pemerintah (shutdown). Situasi selanjutnya pemerintah Amerika tidak dapat menjalankan fungsi pelayanan publik keseluruhan karena tidak adanya anggaran. Hanya pelayanan publik minim saja yang berjalan.

Apa risikonya? Banyak sektor terganggu, salah satunya adalah sektor bisnis, ini yang menjadi key impact interdependence. Mengapa? Seperti kita tahu, Amerika adalah negara besar, ia adalah negara yang memiliki pengaruh di dunia mengingat banyak sektor bisnis Amerika juga berjalan di negara lain. Anda dapat bayangkan, jika Amerika bermasalah tentu saja akan berdampak pada negara lain. Bloomberg melaporkan kekacauan pasar saham Amerika sebagai dampak shutdown pemerintahan Trumph. Kondisi tersebut tentu mempengaruhi negara lain.

Di luar kebijakan politik dalam negerinya, Presiden Donald Trump melakukan keputusan politik internasionalnya yang mendorong gejolak dunia, seperti pengakuan Amerika Serikat terhadap Jerusalem sebagai ibukota Israel yang diumumkan Trump pada 6 Desember 2017 yang enam bulan setelahnya diikuti oleh pembukaan kantor Kedubes AS di Jerusalem. Sekalipun 151 negara anggota PBB di Sidang Majelis Umum menolak hal itu, Amerika Serikat yang hanya didukung oleh enam negara pro-Israel, bergeming.

Demonstrasi merebak di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, termasuk Indonesia terhadap AS. Ketegangan antara Palestina dan Israel memanas dan korbanpun kembali berjatuhan. Pada 20 Oktober 2018, Presiden Amerika Serikat menyatakan menarik diri dari perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) yang seharusnya berlaku hingga tahun 2021, guna mencegah perlombaan senjata nuklir dan guna mengontrol pembatasan kepemilikan senjata nuklir. Dampaknya tidak sekedar terhadap Rusia dan AS saja yang memiliki senjata nuklir, semua negara pemilik senjata nuklir lainnya seperti India, Pakistan, Israel, Korea Utara, Perancis, Cina, pada akhirnya bisa tidak terikat dengan pembatasan kepemilikan senjata nuklir. Akibatnya masa depan dunia kembali mencekam.

Penarikan AS dari perjanjian INF berimplikasi juga terhadap perjanjian persenjataan lainnya sebagai upaya menciptakan dunia yang damai, sebut saja perjanjian The Strategic Offensive Reductions Treaty (START), yang bertujuan mengurangi kepemilikan senjata pemusnah masal (nuklir) secara bertahap, juga perjanjian Anti-Balistic Missile Treaty (ABM) yang bertujuan menghindari perang dan pemakaian senjata misil. Awal tahun 2019, Amerika Serikat dibawah Presiden Donald Trump, mengumumkan dimulainya perang dagang melawan Cina. Pajak dan tarif barang-barang asal Cina dinaikkan. Perusahaan- perusahaan asal Cina diwajibkan membangun pabriknya di Amerika Serikat.

Ketegangan AS dan Cina meningkat di bulan Mei 2019 setelah Donald Trump menuduh Cina mengingkari janji untuk merubah struktur perdagangannya dengan AS yang lebih seimbang. Amerika Serikat mencoba menghentikan transfer teknologi informasi Cina ke pasar Amerika, menuduh Cina telah mencuri rahasia daging AS dan meminta Cina menghentikan subsidi kepada perusahaan- perusahaannya yang beroperasi di AS. Dengan kata lain, Amerika Serikat ingin menyelamatkan perekonomiannya dari serangan dagang Cina. Perang Dagang antara keduanya dimulai, sejak Cina menyatakan siap menghadapi ancaman AS. Amerika menaikan tarif atas barang-barang Cina sebesar 25% dan mengancam akan menaikannya lagi. Dibalas oleh Cina dengan menaikan tarif terhadap barang Amerika.

Perusahaan Huawei Tech, pembuat peralatan telekomunikasi terbesar dunia asal Cina, dimasukan dalam daftar hitam untuk melakukan bisnis di AS oleh Donald Trump. Cina siap membalasnya dengan hal yang sama terhadap perusahaan AS untuk material bahan produksi yang sama. Dua raksaksa ekonomi dunia berperang, pastilah berdampak besar terhadap negara lainnya.

Situasi yang berbeda terjadi di Eropa. Sejak Inggris menyatakan diri keluar dari Uni Eropa (Europe Union/EU) sebagai hasil referendum yang berlangsung 23 Juni 2016, 51,9% memilih meninggalkan EU, banyak warga negara Uni Eropa dan warga Inggris sendiri terdampak situasi itu. Termasuk negara lain. Mereka harus menyesuaikan dengan situasi baru dalam kaitan perdagangan dengan Inggris maupun Uni Eropa. Seperti misalnya keluhan pengusaha teh dari Indonesia yang melakukan ekspor ke Belanda. Mereka mengalami hambatan regulasi karena teh dari Indonesia di beli oleh perusahaan dari Inggris yang kemudian dikirim ke Belanda. Di sinilah letak masalahnya.

Akibat Inggris tidak lagi masuk Uni Eropa, segala macam produk oleh perusahaan Inggris, harus mengikuti regulasi yang baru. Secara Makro Politik, wacana Brexit (Deal or No Deal or Deal With) yang disertai perdebatan yang melelahkan di Parlemen Inggris, membuat PM Theresa May, inisiator Brexit, mundur dari jabatannya pada bulan Juni 2019 sebelum Brexit benar-benar diberlakukan. Kondisi ini tentu mempengaruhi konfigurasi politik Inggris dan masyarakat ekonomi Eropa.

Dihapuskannya pembatasan masa jabatan Presiden Cina pada sidang Partai Komunis Cina tahun 2018, dengan terpilihnya kembali Xi Jinping untuk periode keduanya hingga 2023, memungkinkan Xi menjadi Presiden Cina seumur hidup. Kepemimpinan Xi Jinping, terbukti mampu membawa Cina mengungguli kekuatan atau sekurangnya seimbang dengan Amerika Serikat dalam waktu kurang dari 7 tahun sejak ia memimpin Cina, tentu akan menjadikan Xi pemimpin dunia yang paling senior bersama sejawatnya dari Rusia Vladimir Putin, yang berkuasa sejak menjadi PM Rusia tahun 1999. Wajah Dunia kedepan akan dipengaruhi oleh kedua pemimpin negara tersebut diluar Amerika, yang pemimpinnya silih berganti setiap 4 hingga 8 tahun saja.

Di masa depan, Amerika Serikat tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kebijakan politik internasional, karena tidak lagi menjadi negara terkuat di dunia. Amerika Serikat sebagaimana di awal masa perang dunia kedua, membutuhkan kembali aliansi sekutunya, yaitu Eropa dan beberapa negara lainnya. Tentu saja, Indonesia termasuk yang diperlukannya di masa depan.

Di luar hal tersebut di atas, masih banyak lagi dinamika yang terjadi di berbagai belahan dunia di tahun 2019, apakah itu perang seperti yang terjadi di Syiria, di wilayah timur Ukraina dan semenanjung Crimea yang di-occupied Rusia, ketegangan Qatar dengan negara teluk lainnya, ancaman perang Amerika Serikat kepada Iran dengan tudingan yang sama (memproduksi nuklir dan mengancam perdamaian negara sekitarnya), persenjataan nuklir Korea Utara yang tidak terkontrol, etnic cleansing Rohingnya di Rakhine-Myanmar, atau demonstrasi terbesar di Hongkong yang menolak pemberlakuan UU ekstradisi, kebijakan imigran (80 juta orang dari 250 juta imigran dunia) dari negara-negara Uni Eropa. Perebutan pengaruh wilayah Benua Artik yang ditenggarai sebagai wilayah sumberdaya dunia masa depan yang kini hanya dikuasi oleh delapan negara (USA, Rusia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia).

Deskripsi di atas merupakan sebagian kecil saja dari agenda dunia yang tengah berlangsung di awal era milenial ini, yang pasti terhubung ke masa depan. Saya hanya ingin menggambarkan dinamika politik dunia sangat berpotensi mempengaruhi situasi negara lain. Oleh karena itu kita harus mampu secara simultan mengagregasi situasi yang terjadi menjadi wacana yang perlu dijawab oleh sebuah kebijakan yang apik, yang tidak hanya akan dirasakan oleh 255,46 juta rakyat Indonesia, namun dirasakan juga oleh penduduk bumi yang sudah mencapai 7,5 milyar jiwa di tahun 2019.

Tren baru politik dunia

Paparan di atas hanya menggambarkan sebagian puzzle tren politik luar negeri saat ini. Mari kita memahami sebuah tren lain yang saya sebut sebagai “tren baru geopolitik”. Politik Luar Negeri di masa depan tidak lagi selalu bicara kedaulatan dalam arti ruang, wilayah, dan batas. Saya mereka-reka berdasar kenyataan saat ini bahwa tren politik dunia akan mengalami shifting. Dari sebuah kenyataan politik ruang bergeser kepada tren politik pengaruh ekonomi dan information technology (IT). Kekuatan Ekonomi suatu negara dan perkembangan teknologi informasi yang pesat ke masa depan tidak lagi secara perlahan akan menghilangkan batas dan wilayah non fisik yang tidak bisa lagi ditangkal. Konsep sistem pertahanan negara dan perlindungan warga negara akan bergeser, menyesuaikan dengan tantangannya.

Lihat saja Cina yang telah “mengooptasi” Afrika. Jika kita pergi ke Ethiopia, negara yang dulu dijadikan bahan ledekan saking miskinnya, kita lihat sekarang, seperti sebuah dunia baru. Berbeda 180 derajat dari Ethiopia sepuluh tahun yang lalu. Anda tahu penyebabnya? Karena Cina melakukan investasi disana besar-besaran di berbagai bidang. Anda boleh tidak percaya, jika anda ke pasar di Ethiopia, lebih dari 50% pedagangnya adalah orang Cina. Lalu setelah seperti itu, apakah pengaruh Cina di Ethiopia di masa mendatang, akan dapat mudah dilepaskan?

Di wilayah yang berbeda, pada perang dagang Cina vs Amerika. Mengapa Amerika sampai memulai lebih dulu perang dagang dengan Cina, dengan menaikkan bea masuk produk Cina ke Amerika dan tanpa alasan yang jelas menutup akses bisnis Huwaei Tech perusahaan produk telekomunikasi terbesar dunia? Jawaban paling kasuistik adalah Amerika sadar bahwa kekuatan ekonomi dan teknologi Cina sudah membahayakan daya tahan Amerika, karenanya AS ingin menghalau pengaruh Cina ke negara mereka. Apakah dapat dilakukan dengan mudah seketika? Anda lihat? Betapa kekuatan ekonomi mampu mempengaruhi sebuah kebijakan negara. Cina, tidak hanya menjadi kekuatan di Benua Asia, namun telah bermetamorfosis menjadi negara berkekuatan dunia.

Saya masuk ke dalam tren pengaruh lain yaitu sebuah pengaruh Politik Luar Negeri yang dibawa oleh sektor IT. Tahun 2018 dunia dihebohkan dengan bocornya informasi pribadi yang ditengarai dilakukan oleh tim facebook. Banyak orang mempermasalahkan hal ini mengingat kebocoran tersebut berupa data pribadi. Data-data tersebut adalah big data yang dapat dimanfaatkan orang-orang tertentu untuk membuat algoritma prediksi perilaku seseorang, kebiasaan, ketakutan akan sesuatu, bahkan sampai pada rekayasa sosial. Selain tentu saja perbuatan-perbuatan kriminal lainnya yang menggunakan akses teknologi informasi memakan banyak korban terdampak di wilayah yang tak bisa dibatasi.

Seperti kita ketahui pengguna facebook adalah 30% penduduk muka bumi yaitu sebesar 2,1 milyar pengguna yang aktif. Angka tersebut tentu saja tersebar hampir di semua penjuru. Anda bisa lihat sebesar itulah dampak yang diciptakan ‘kooptasi’ teknologi pada isu Politik Luar Negeri. Secara gamblang dapat kita nyatakan bahwa Amerika telah mempengaruhi banyak negara melalui arus teknologi informasi selama ini. Bagaimana logikanya bisa Amerika yang bertanggung jawab? Tentu saja karena perusahaan ini adalah perusahaan Amerika, berkantor di Amerika, dan tunduk pada hukum Amerika. Buktinya saat kasus bocor data, entitas yang dapat memanggil otoritas facebook adalah senat Amerika. Tentu sebagai ilmuan yang reflektif, saya berandai-andai, bisa saja, kapan saja, pemerintah Amerika meminta bantuan facebook untuk tugas tertentu.

Peristiwa lain yang dapat kita lihat adalah sebuah tragedi serangan cyber paling dahsyat selama ini. Pada musim dingin tahun 2017, sebuah kelompok yang dinamai sandworm melakukan peretasan ke banyak organisasi, perusahaan, hingga pengguna privat di Ukraina. Dalam tempo sekejap sebuah virus melenyapkan terabyte data secara membabi buta, merusak semua jaringan di negara yang sedang berkonflik dengan Rusia ini. Listrik padam, jalur kereta bawah tanah kacau, sistem akuntansi banyak outlet berhenti bekerja, jutaan dolar lenyap dalam sekejap. Parahnya serangan tersebut hanya sebuah appetizer.

Pada Juli 2017, sebuah malware yang disebut NotPetya masuk kedalam banyak sistem di Ukraina dengan memanfaatkan celah yang dibentuk oleh serangan sebelumnya, (baca: serangan sandworm). Malware ini menyebar secepat kilat dan bersifat destruktif. Anda tidak dapat lagi membuka komputer anda dan bahkan komputer anda akan mengalami kerusakan hardware. NotPetya tidak dapat dikendalikan, satu-satunya cara menghentikan penyebaran malware ini adalah mematikan jaringan listrik kemudian mengganti semua perangkat komputer yang ada. Dilaporkan oleh Cisco Group, perusahaan yang bergerak di bidang cyber security, virus ini kemudian menyebar ke banyak negara seperti Polandia, Inggris, Prancis, dan lain-lain.

Banyak ahli cyber menengarai sumber malware ini berasal dari Rusia. Banyak pihak mengaitkan serangan di atas dengan perseteruan Rusia-Ukraina tentang kedaulatan daerah Crimea, Lugansk, dan Donestk.

Cerita tentang malware ini akan panjang lebar namun saya menggarisbawahi bahwa kedaulatan sebuah negara, keamanan rakyatnya, saat ini bukan lagi hanya berada pada ruang kewilayahan tetapi juga dapat berupa sebuah ide tentang kedaulatan cyber. Gerakan- gerakan solidaritas secara masif yang berlangsung di Prancis (Yellow vest), Brexit di Inggris, penolakan UU ekstradisi kriminal di Hongkong, adalah contoh kecil yang diyakini sebagai kekuatan jaringan media sosial yang digerakkan oleh teknologi informasi.

Saya menyadari, berbagai gambaran yang saya uraikan diatas seakan tergesa-gesa dan terasa meloncat-loncat. Jauh dari uraian yang sistematis seperti The Third Wave yang ditulis Alvin Toffler tahun 1980 atau masih jauh dari uraian historis untuk sampai pada analisis konklusi seperti ditulis oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow”, tahun 2015. Sebagai akademisi, saya mendambakan para pemimpin bangsa menyempatkan membaca kedua buku diatas, agar memiliki perspektif yang futuristik guna mempersiapkan segala pranata nasional, termasuk SDM nya untuk memimpin peradaban dunia, bukan sekedar menyongsong masa depan.

Menyongsong masa depan di abad milenial

Dinamika politik dunia seperti yang saya gambar di atas perlu di dekati dalam sebuah skema kebijakan yang interdepedensi. Penting untuk memikirkan sebuah terobosan sistemis dari dalam menuju luar pada diskusi kepemerintahan. Kementerian Luar Negeri sudah lebih dari paham menyusun kerangka berpikir menuju keadaan baru politik dunia.

Ide Indonesia sebagai macan Asia, ide Indonesia sebagai pemimpin dunia, bagi saya, sudah usang. Kini saatnya kita berpikir strategis menuju sebuah situasi dunia baru, dimana Indonesia memiliki pengaruh di dalamnya. Ibarat dalam ruang kelas, saat ini Indonesia adalah siswa yang cukup, ia duduk di depan, semua peralatan sekolahnya lengkap, prestasinya tidak super tapi juga tidak berada di bawah. Ia bergaul dengan teman yang lain dengan baik. Secara kasat mata tidak ada musuh. Dalam situasi yang demikian, pertanyaan paragraf awal tulisan ini, saya ulang kembali, apakah yang demikian cukup?

Indonesia perlu menjadi siswa yang pintar, banyak teman, sembodo, dan dapat dipercaya semua temannya untuk memimpin kelas, menjadi ketua kelas. Itu semua dapat dilakukan jika teman lain berpikir bahwa Indonesia memiliki pengaruh untuk mereka. Bagaimana seorang siswa dapat menjadi ketua kelas jika teman-temannya tidak merasa membutuhkan mereka? Bagaimana caranya?

Saya memiliki beberapa pemikiran terminal, sebelum menuju ke dalam sebuah ide aplikatif, yang dapat dijadikan bahan refleksi Politik Luar Negeri Indonesia. Pertama, temu wacana antar instansi untuk menyamakan konsep tentang isu politik dunia yang mengalami shifting trend ke dalam wacana kekuatan ekonomi dan IT.

Kedua, pembuatan rencana pro-aksi dari semua sektor baik bidang, politik, pendidikan, budaya, pertahanan, sosial, budaya, dan lainnya, dengan mempertimbangkan situasi dunia di masa depan. Ketiga, berdasar rencana pro-aksi tadi, Kementerian Luar Negeri menyusun sebuah buku putih tentang trajektori kebijakan luar negeri untuk 25 sampai dengan 50 tahun mendatang. Fungsi dari buku putih tersebut adalah menjaga konsistensi kebijakan yang visioner dan berdampak langsung kepada rakyat Indonesia serta posisi Indonesia di kancah dunia. Dengan hal tersebut, bukan sekedar impian bahwa kita, Indonesia menjadi negara yang kuat dan hebat, walaupun nanti, tapi kita sudah mulai dengan langkah pasti. [ ]

Dubes Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia. Tulisan ini termuat dalam buku “Dari Kyiv Menulis Indonsia” Penerbit  Madani Institute

Back to top button