Tiba-tiba masa lalu dan kenangan menjerat: kita sedih, menangis atau sebaliknya tertawa. Dan entah dengan cara bagaimana pula, semua proses itu seperti meninggalkan bekas. Meski kita berusaha menyembunyikannya, dengan berbagai cara: operasi plastik, make up, aplikasi.
Oleh : Eko Supriyanto*
Saya tiba-tiba terpesona, betapa masa lalu hidup, tumbuh, dan mengeliat di sekitar kita.
Mungkin kita dengan mudah bisa berkata: lupakan masa lalu, mari tersenyum menatap masa depan! Kenyataannya adalah: betapa masalalu, memori, kenangan, nostalgia dan sejarah tidaklah bekerja seperti yang sering kita sebut atau kita dengar dalam jargon-jargon seminar motivasi diri.
Kita mungkin sering melihat masa lalu hanya pada sebatas deretan angka dan waktu: sebulan lalu, lima tahun lalu, 10 tahun lalu ….Atau sekadar penanda fisik di tubuh kita: rambut yang sudah memutih sebagian, keriput kulit, gores bekas luka masa gelap kita, totol bekas cacar. Bahkan di masa sekarang, kita punya pengingat di linimasa media sosial yang kita punya (jika Anda memilikinya): setahun lalu Anda dan seseorang telah memulai pertemanan yang luar biasa. Atau setahun lalu Anda berkunjung ke suatu tempat yang sama dengan kawan Anda–tidak diketahui apa relevansi pengingat itu buat kita.
Masalahnya, masa lalu tak pernah sesederhana deretan aritmatik, penandafisik di tubuh atau alogaritma piranti lunak yang memproses “program pengingat otomatis”. Kita boleh meniadakan deretan angka dan waktu, mengaburkan penanda fisik yang merekam masa lalu kita, atau mematikan perangkat otomatis mesin pengingat masa lalu. Mungkin kita bisa mengubur dan menyimpan di dasar yang paling dalam, dan meyakinkan diri bahwa masa depanlah yang paling utama. Tapi masa lalu, tampaknya, tak bekerja seperti file atau dokumen yang tersimpan diam di dalam piranti keras. Kita tak selalu bisa mudah menghapusnya–seperti menghapus file, dokumen atau catatan dalam linimasa. Masa lalu, dengan caranya, mengusik dan mencengkeram kita – terlepas kita mengakui atau mengabaikannya.
Kata ahli syaraf terkemuka: masa lalu dan memori tersimpan sebagai penghubung jutaan syaraf-syaraf otak kita. Jalinan koneksi yang kemudian menyatukan pengalaman, hasrat dan emosi– itulah mengapa ketika mendengarkan dendang suatu syair atau membau aroma kopi di ujung jalan tiba-tiba ada sesuatu yang membuat kita seperti tergelitik. Tiba-tiba masa lalu dan kenangan menjerat: kita sedih, menangis atau sebaliknya tertawa. Dan entah dengan cara bagaimana pula, semua proses itu seperti meninggalkan bekas. Meski kita berusaha menyembunyikannya, dengan berbagai cara: operasi plastik, make up, aplikasi.
Syair pendek lagu Anggun C. Sasmi (lagu “What We Remember”, 2018), menurut saya, menggambarkan dengan baik bagaimana nostalgia, memori dan masa lalu menyatu luluh, hidup dan bernafas dalam diri kita: “Can’t you see it in my face / The struggle and the grace / Some things I cannot hide …… Though life plays hard to get / Somehow I keep the smile / And let my heart do the rest”.
Terjemahan bebasnya (mudah-mudahan saya bisa tepat menggambarkannya): “Tak bisakah kau lihat wajahku? / Gurat perjuangan dan anugerah … / Yang tak bisa kusembunyikan …. / Walau hidup kugapai susah/ Ku tetap selalu tersenyum / Dan biarlah hatiku yang menuntaskan selebihnya …//
Masa lalu mungkin tersembunyi di suatu tempat-– mirip karakter Oracle dalam film “The Matrix”, karakter yang menuntun Neo kepada The Architect. Mungkin semacam alam bawah sadar, sebuah ruang dasar gelap yang tiba-tiba ia muncul di sela-sela rutinitas linier–keceriaan, masa kanak-kanak, atau bahkan trauma. Seperti kata William Faulkner: “Masa lalu tidak pernah (benar-benar) mati …”
Ah, bukankah Anggun C. Sasmi sudah berdendang untuk kita dengan beat nada rendah: “ ..“Can’t you see it in my face / The struggle and the grace ….”
Seperti kata novelis Milan Kundera: “ … masa lalu penuh dengan kehidupan. Kadang menjengkelkan, meniadakan, melukai, hingga terbersit keinginan kita untuk mengecat ulang. Kita ingin mengubah warna masa lalu agar kita bisa menjadi tuan di masa yang akan datang.” Dengan bermacam cara, melalui proses kontemplatif atau instan lewat seminar-seminar motivasi, kita ingin mengisi ruang kosong masa depan: trauma menjadi keceriaan, kekalahan menjadi kemenangan …
Sekalipun masa lalu tampaknya bisa juga, malah mungkin lebih sering atau bahkan sebagian besar, hadir dengan cara yang lebih sederhana: nostalgia, album foto, lagu lama, reuni, napak tilas, rekaman film/video lama, barang-barang antik …
Ketika menghirup secangkir kopi atau teh di ruang tamu di rumah, saya seperti dikelilingi bayang-bayang masa lalu. Kursi tamu tempat saya duduk adalah kursi tamu lama peninggalan kakek, usia meja kursi itu bahkan lebih tua dibanding umur saya. Di samping saya ada rak buku lama yang menemani istri saya sejak masa kanak-kanaknya. Di dinding ada lukisan dengan frame yang terbuat dari kayu besi bekas bantalan rel kereta api – saya tidak tahu kayu itu berasal dari mana, melampaui berapa musim dan berapa warsa. Saya hanya tahu kayu berasal dari masa lalu – ditandai dengan tekstur dan garisnya yang unik, yang melampaui aneka zaman dan sejarah.
Dengan caranya yang luar biasa, kayu tersebut hadir dalam konteks yang baru lengkap dengan tekstur dan kekasaran khasnya. Perjalanan waktu, cuaca, alam dan sedikit sentuhan akhir manusia – pada akhirnya dia hadir di ruangan tempat saya sehari-hari saya menerima tamu, ngobrol, dan minum secangkir kopi! Kehadiran serta konteks kayu besi itu makin tegas karena perannya yang khas masa kini: menjadi pembingkai lukisan cat minyak murahan yang menggambarkan suasana perempatan Naripan dan Braga, suatu pojok di kota Bandung, pada abad ke 19!
Sama seperti frame foto lama kami yang terbuat dari papan kayu bekas perahu nelayan Banyuwangi. Atau sebagian frame foto dinding ada yang saya buat dari bekas bingkai daun jendela yang saya temukan terbuang di selokan depan rumah yang tidak berpenghuni di suatu kompleks rumah dinas Perhutani di Cepu, Jawa Tengah. Tak hanya kita manusia. Bahkan setiap materi, dzat, molekul, bahkan data-data byte masa kini punya masa lalu dan sejarah. Kita memulung mereka, menghadirkan kembali, memberi konteks dan menjadikan mereka sebagai bagian dari masa kini, di sisi kita.
Ah, masa lalu bukanlah masa lalu secara wantah. Harfiah. Apa adanya.
Masa lalu tak cuma hidup dan bernafas tapi juga mengalami revitalisasi, restorasi, remaking, dan hadir dalam fungsi, betuk dan konteks yang berbeda. Sama seperti sejarah mengalami intepretasi, bangunan lama menjadi heritage. Film lama dibuat lagi dengan judul yang sama, dan sukses – seperti yang terjadi pada film Pengabdi Setan besutan sutradara Joko Anwar. Lagu jadul diaransir ulang – dangdut bisa jadi jazz atau sebaliknya jazz jadi dangdut. Motor model klasik dan jadul diproduksi lagi. Bukankah salah satu pilar dasar industri dan ekonomi kita berasal dari proses remake dan mendaur-ulang?
Celakanya, mesin peradaban kita tak cuma mendaur-ulang model, mesin dan motor, film, arsitektur, siklus sejarah, tapi juga trauma, kekerasan, teror, kebodohan dan kebuntuan akal sehat … dan hal ihwal yang melukai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan kita. [ ]
Cinere, 17 Juli 2019
*Penulis mantan wartawan Berita Buana dan Republika generasi awal, kini tetap menyempatkan diri bergiat di dunia literasi (red jernih.co)