SolilokuiVeritas

The Indonesian Money Heist, Saat “Ordal” Andil Tergiur Rekening Dormant

Rp 204 miliar kelak jadi bancakan sedikitnya 15 orang. Dari otak perencana sampai para pembunuh saling berbagi. Sebegitu ranumnya kah rekening dormant hingga jadi incaran banyak orang?

JERNIH – Seperti cerita di film-film kejahatan perbankan, dalam beberapa bulan terakhir penegak hukum di Indonesia mengungkap beberapa kasus besar yang menempatkan rekening dormant (rekening pasif/tidur) sebagai target utama sindikat. Salah satu kasus yang ramai diberitakan adalah pembobolan rekening dormant senilai sekitar Rp204 miliar, yang diusut Bareskrim dan melibatkan sejumlah tersangka, termasuk oknum internal perbankan; dua nama juga dikaitkan dengan kasus penculikan/pembunuhan kepala cabang bank.

Di bawah langit birokrasi yang berkilau—di mana nomor rekening tertidur seperti kucing tua, bersandar pada angka dan jejak digital yang sebagian besar tak lagi diperhatikan—tumbuh pula legenda baru tentang para perampok modern. Mereka bukan lagi perampok bersorak yang menodong di ujung jalan; mereka adalah arsitek sunyi yang bekerja di balik layar, menulis ulang takdir saldo yang seharusnya tak bernyawa.

Mari kita sebut fenomena ini dengan nada yang agak sinis: sebuah opera kecil tentang rekening dormant, panggungnya bank, penontonnya regulasi, dan para pemainnya—entah penjaga, entah pengkhianat—bermain-main dengan kepercayaan seperti selembar kertas usang.

Rekening dormant—yang bagi pemiliknya mungkin hanya sekadar catatan masa lalu, nomor yang tak lagi bernafas—ternyata menyimpan daya tarik bagi mereka yang haus akan peluang. Mereka memandangnya sebagai tempat parkir rahasia, gudang sementara untuk dana yang ingin disembunyikan atau dipotong-potong sebelum dilepas ke arus yang lebih bersih. Bukan karena rekening itu bersalah; melainkan karena ketidakhadiran pengawasan membuatnya tampak seperti kunci yang ditinggalkan tergantung di gembok yang berkarat.

Insiden-insiden yang menghentak pemberitaan belakangan ini memperlihatkan pola yang tak lagi mengejutkan bagi sosiolog kriminal—keterlibatan pegawai bank atau mantan pegawai yang memiliki akses sistemik. Mereka bukanlah bayangan hitam dalam lorong, melainkan seseorang yang setiap hari menandatangani dokumen, menekan tombol, menatap layar; yang, dalam satu pilihan keliru atau dalam jaringan transaksi terencana, dapat membuka kembali gerbang yang semula terkunci.

Ada yang memilih serakah, ada yang dipaksa, ada pula yang ikut karena bara ambisi atau karena disihir janji cepat kaya. Dan ketika janji tak terpenuhi, ada yang berakhir di balik jeruji, sementara nama-nama lain masih bergema dalam bisik-bisik.

Lalu ada PPATK—lembaga yang bergelut pada tugas yang paling mustahil: mengawasi arus uang yang tak selalu setia pada hukum. Jika kita menganggap sistem finansial sebagai sungai, PPATK adalah pos pengawas di hulu yang mencoba mendeteksi sedimen-sedimen aneh.

Ada tuduhan kolusi terhadap PPATK? Dalam cerita-cerita paling dramatis ada bisik-bisik konspirasi; dalam kenyataan, peran mereka lebih mirip penjaga mercusuar—kadang sinarnya menyilaukan, kadang terlambat, tetapi tetap bukan komplotan perampok. Ia memblokir, menandai, dan kadang membuat kebijakan yang membuat banyak pihak geram—termasuk nasabah tak berdosa yang panik saat rekeningnya dibekukan sementara. Ironisnya, upaya perlindungan itu sendiri dapat terasa seperti kelembaman birokrasi yang membuat korban lain berjatuhan.

Apakah kita kini menyaksikan kelahiran bentuk kejahatan baru—“pembobolan rekening dormant”—sebagai genre tersendiri?

Mungkin secara teknis bukan jenis kriminalitas yang benar-benar baru; lebih tepat disebut metamorfosis. Ini adalah pertemuan antara tradisi lama (pencucian uang, penggunaan mule account, pemalsuan dokumen) dan praktik modern (akses sistem inti bank, pengelolaan data digital). Bila dulu perampok harus merancang perampokan yang gemilang, kini cukup rangkaian tahapan administratif, akun-penampungan yang rapi, dan—yang paling berbahaya—keterlibatan orang di dalam untuk menuntaskan plot.

Mengapa rekening yang “tidur” demikian mudah diterka dan dirampas? Ada beberapa alasan yang layak diberi nama, bukan hanya untuk menunjuk kelemahan teknis, tetapi juga untuk menunjukkan betapa rentannya sistem kita terhadap drama manusia: pengawasan pemilik yang lemah; prosedur reaktivasi yang penuh celah; godaan untuk menggunakan rekening tersebut sebagai titik transit; serta proses internal yang kadang terlalu bergantung pada satu atau dua tangan.

Di dunia nyata, sistem yang terdesentralisasi dapat selamat dari serangan; sistem yang bergantung pada kebiasaan manusia—terutama kebiasaan yang malas—adalah ladang subur bagi penjahat.

Bentuk pembobolannya beragam — dari penyalahgunaan akses core banking oleh mereka yang punya kunci, hingga jaringan yang merangkai rekening-rekening penampungan seperti layaknya pemeran figuran dalam sandiwara. Ada pula babak-babak paling gelap: pemaksaan, ancaman, bahkan kekerasan yang berbuah tragedi.

Ketika kisahnya mengarah ke penculikan dan pembunuhan, sensasi sinematik berubah menjadi kejahatan yang menakutkan dan menyakitkan: bukan lagi fiksi, melainkan kenyataan yang merobek-noyot kehidupan manusia.

Dan itulah yang terjadi dalam skandal Rp 204 miliar dari rekening dormant di BNI yang ditransfer ke berbagai akun –salah satunya BRI- guna meminimalisir kecurigaan. Dalam literatur filsafat hukum dan kriminologi adalah ungkapan dengan makna serupa, yakni “Crime breeds crime” (kejahatan melahirkan kejahatan), sebuah pepatah berbahasa Inggris yang sudah lama dipakai dalam literatur kriminologi abad ke-19.

Seperti yang dikabarkan PPATK bahwa begitu banyak rekening dormant dengan uang-uang berjumlah miliaran numpang mampir. Sebagian besar adalah uang-uang haram jadah seperti hasil judol. Sebuah “berita bagus” bagi orang-orang dalam –dan terkoneksi dengan orang luar- untuk memotongnya dan mengambilnya sebelum keburu diendus aparat hukum.

Maka babak pembalikan harus dimulai dari tata kelola: bank yang memperkuat kontrol akses, audit yang tak bisa dimanipulasi, verifikasi yang multilapis, serta PPATK dan penegak hukum yang tak hanya bereaksi, tetapi juga proaktif.

Di level sosial, nasabah perlu diberi alat sederhana: notifikasi instan, edukasi, dan saluran pelaporan cepat. Kepercayaan, sekali terkoyak, tak mudah dijahit kembali. Tetapi jahitan kecil yang rapi—kebijakan transparan, penegakan hukum yang tegak—dapat menambal lubang-lubang sekaligus mengusir roh-roh yang tadi menikmati panasnya kegelapan.(*)

BACA JUGA: Drama “Indonesian Money Heist” Rekening Dormant

Back to top button