
Di Brasil, konsep participatory budgeting (anggaran partisipatif) berkembang pesat di kota-kota besar seperti Porto Alegre. Masyarakat tidak hanya menyampaikan aspirasi, tetapi ikut terlibat dalam menentukan prioritas anggaran pembangunan. Dengan cara ini, keputusan fiskal yang biasanya elitis, berubah menjadi keputusan publik yang partisipatif dan transparan.
Oleh : Ferdy Moidady*
JERNIH– Dalam arsitektur demokrasi modern, Pemilihan Umum bukanlah garis finish, melainkan sebuah garis start. Pemilu adalah titik awal dari sebuah kontrak sosial antara yang memimpin dan yang dipimpin. Namun kontrak sosial itu akan kehilangan makna jika setelah pemilihan, suara rakyat kembali tenggelam, hanya muncul setiap lima tahun sekali, dan selebihnya tak pernah terdengar.
Di sinilah letak urgensi wadah aspirasi. Demokrasi tanpa wadah aspirasi ibarat tubuh tanpa jantung: kaku, dingin, dan kehilangan kehidupan. Sebab demokrasi bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, melainkan bagaimana kekuasaan itu terus-menerus diawasi, diarahkan, dan diberi denyut dari suara rakyat.
Wadah aspirasi harus menjadi mekanisme yang terstruktur, terjadwal, dan berkesinambungan. Anggota legislatif, wali kota, bupati, gubernur, bahkan presiden, wajib membuka ruang temu rutin dengan perwakilan masyarakat. Bukan sekadar seremoni yang penuh formalitas, tetapi dialog yang hidup, tulus, dan substantif. Inilah yang menjadi jantung dari demokrasi partisipatif.
Tanpa wadah aspirasi, yang muncul hanyalah kesenjangan komunikasi antara rakyat dan penguasa. Kesenjangan ini berbahaya, sebab di ruang kosong itu akan tumbuh ketidakpercayaan, sinisme, hingga potensi konflik sosial. Aspirasi yang tidak tersalurkan akan mencari jalannya sendiri, sering kali dalam bentuk protes, demonstrasi, bahkan kerusuhan.
Sebaliknya, dengan wadah aspirasi yang sehat, pemerintah bisa membaca denyut nadi masyarakat secara langsung. Keputusan publik tidak lagi lahir dari ruang-ruang elitis yang jauh dari realitas, melainkan dari interaksi dengan rakyat yang mengalami persoalan sehari-hari. Rakyat pun merasa dihargai, dilibatkan, dan diberdayakan.
Belajar dari Keberhasilan dan Kegagalan
Beberapa negara telah menunjukkan bahwa wadah aspirasi yang sehat mampu memperkuat demokrasi. Di Finlandia, misalnya, terdapat tradisi citizen’s initiative (inisiatif warga), yang memungkinkan masyarakat mengajukan rancangan undang-undang secara langsung, dan parlemen wajib membahasnya jika mendapat dukungan publik yang cukup. Hasilnya, warga merasa menjadi bagian dari proses politik, bukan sekadar penonton.
Di Brasil, konsep participatory budgeting (anggaran partisipatif) berkembang pesat di kota-kota besar seperti Porto Alegre. Masyarakat tidak hanya menyampaikan aspirasi, tetapi ikut terlibat dalam menentukan prioritas anggaran pembangunan. Dengan cara ini, keputusan fiskal yang biasanya elitis, berubah menjadi keputusan publik yang partisipatif dan transparan.
Sebaliknya, kegagalan dalam menyediakan wadah aspirasi bisa dilihat dari sejumlah negara dengan rezim otoriter atau semi-demokratis. Aspirasi rakyat yang dibatasi, dimanipulasi, atau dibiarkan tanpa jalur resmi, justru kembali dalam bentuk protes jalanan yang destruktif. Kita bisa melihat contohnya di beberapa negara Timur Tengah sebelum Arab Spring: suara rakyat yang lama diabaikan, akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi besar yang menjatuhkan rezim, tetapi sekaligus menimbulkan instabilitas panjang.
Kegagalan serupa juga bisa kita temukan di tingkat lokal. Ada daerah-daerah di Indonesia di mana forum musyawarah pembangunan hanya menjadi ritual formalitas—dokumen perencanaan disusun, tetapi aspirasi warga tidak pernah benar-benar dipertimbangkan. Akibatnya, muncul ketidakpuasan, tuduhan manipulasi anggaran, hingga protes sosial yang berulang.
Belajar dari pengalaman berbagai negara, kita memahami satu hal mendasar: demokrasi hanya akan sehat jika rakyat memiliki wadah aspirasi yang nyata, bukan simbolis. Wadah aspirasi adalah jantung demokrasi, yang memompa kehidupan dalam tubuh pemerintahan. Jika ia bekerja dengan baik, rakyat akan percaya, pemerintah akan kuat, dan demokrasi akan matang. Namun jika ia gagal, demokrasi hanya akan menjadi papan nama tanpa ruh, dan kontrak sosial akan berubah menjadi janji kosong. []
*Guru Sejarah Indonesia di SMK Depok