Yang Tak Terhitung: Alain Badiou dan Matematika
Dengan demikian dari kejamakan inkonsisten ini muncul sebuah kejamakan yang tersusun oleh satuan-satuan. Sebuah kejamakan ini merupakan kejamakan yang tertata atau terstruktur. Kejamakan yang terstruktur inilah yang dalam istilah Badiou disebut situasi. Dengan kata lain definisi dari situasi adalah kejamakan yang terpresentasikan secara struktur.
Oleh : Albi Abdullah
JERNIH– Ada kesesuaian antara sebuah himpunan dan sebuah harapan. Keduanya mengandung elemen-elemen dan mengandung sesuatu yang tak terhitung. Mengacu pada aksioma himpunan pangkat, yang semula tak terhitung tadi dicoba untuk dihadirkan, meskipun penghadiran tersebut hanya dalam bentuk representasi.
Sejak tingkat sekolah dasar mungkin seseorang pernah ditanya perihal “Ingin menjadi apa dewasa nanti?” Dari pertanyaan itu, sejak kecil kita secara tidak langsung mulai diajari tentang berharap akan atau tentang sesuatu. Semakin seseorang itu tumbuh, keinginan dan harapan akan sesuatu mulai bertambah, maka ia akan mulai berharap sesuatu yang lebih rumit entah itu sukses dalam hobi, meneruskan pendidikan, mendapatkan pekerjaan yang layak, menjalin hubungan dan lain sebagainya. Merupakan suatu tindakan yang normal jika seseorang berharap akan sesuatu, hingga kemudian berharap sesuatu itu terwujud. Dalam ungkapan lain, seseorang wajar sekali jika berharap dunia ini berjalan persis dengan keinginannya.
Kenyataan seperti yang umum diketahui oleh sebagian besar orang, bahwa kecil kemungkinan, bahkan nol, bahwa harapan kita akan sesuatu selalu terjadi atau selalu sesuai dengan apa yang kita mau. Selalu saja ada variabel atau faktor-faktor tak terduga yang membuat harapan tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Dengan kemungkinan yang kecil bahwa sesuatu akan selalu terjadi sesuai apa yang kita inginkan, dapat disimpulkan bahwa kita selalu berada dalam keadaan ketidakpastian. Tidak hanya mengenai pengharapan atau keinginan, dalam tindakan kategorisasi ataupun klasifikasi akan suatu hal, besar kemungkinan bahwa ada yang tidak termasuk ke dalam kategorisasi ataupun klasifikasi tersebut.
Yang menjadi pertanyaan sekaligus menjadi titik berangkat perenungan ini adalah “Mengapa selalu terbuka kemungkinan bahwa harapan kita tidak akan terjadi?”
Teori Ontologi Badiou
Sebelum lebih jauh melangkah membahas pemikiran Alain Badiou, alangkah baiknya kita berkenalan dengan beberapa pemahaman dasar tentang himpunan. Karena Badiou sendiri menggunakan himpunan sebagai alat penunjang pemikirannya. Himpunan adalah kelompok dari objek-objek yang berbeda, baik itu objek abstrak atau riil yang didefinisikan secara jelas. Notasi yang biasa digunakan untuk menyatakan himpunan di antaranya dengan cara tabulasi (daftar) seperti “G = {2, 4, 6, 8}” adalah himpunan bilangan genap pertama. Cara kedua adalah dengan notasi pembentuk himpunan seperti “A = {x | x bilangan ganjil}”.
Pertanyaan yang telah diangkat di muka, akan dijawab menggunakan teori ontologi milik Alain Badiou. Titik berangkat pemikiran ontologi Badiou dimulai dengan pembahasan antara “satu atau jamak”. Persoalan ini intinya mengemukakan bahwa menurut para filsuf sebelum Badiou, kita tidak bisa memikirkan yang jamak tanpa melalui yang-satu. Lalu, kejamakan dianggap hadir didahului oleh yang-satu, artinya yang-satu sebagai substansi merupakan penghasil kejamakan. Bagi Badiou sendiri, pemikiran demikian tidaklah tepat dan justru berlaku sebaliknya. Artinya, kejamakan ada terlebih dahulu sebelum yang-satu.
Pemikiran para filsuf yang lebih mengutamakan yang-satu sebagai penghasil kejamakan disebabkan belum adanya metode untuk memikirkan kejamakan dari kejamakan tanpa didahului yang-satu. Langkah lain untuk memikirkan kejamakan melalui kejamakan adalah melalui ilmu yang objeknya merupakan kejamakan. Ilmu tersebut tidak lain adalah matematika. Matematika merupakan sains yang berurusan dengan bilangan dan antarrelasi bilangan, atau dengan kata lain tentang kejamakan dan relasi antar ihwal yang jamak. Oleh karena itu, jika matematika adalah sains tentang yang-jamak dan yang satu-tidak ada sehingga konsekuensi ada itu jamak, maka kesimpulannya matematika adalah ontologi. (Suryajaya, 2014, p. 105)
Ketika yang-jamak mendahului yang-satu, sejatinya yang-satu itu tidak ada. Ketiadaan yang-satu ini berlaku sejauh yang-satu dipahami sebagai substansi yang ada pada dirinya. Lantas, dalam pengertian yang bagaimana bila yang-satu ini bukan sebuah substansi? Yang satu ada sebagai hasil perhitungan, dalam istilah Badiou disebut count as one. Karena dihitung sebagai satu sehingga sesuatu itu dianggap sebagai satu. Dari perhitungan sebagai satu ini ada perbedaan antara perhitungan sebagai satu dan presentasi. Pembedaan ini bermakna sejauh ditempatkan dalam konteks pembahasan tentang Ada. Presentasi selalu merupakan presentasi atas yang banyak, karena yang-satu muncul sebatas hasil operasi perhitungan sesudah munculnya sesuatu, dengan kata lain sesudah presentasi. (Suryajaya, 2014, p. 106)
Jika yang-satu ini muncul sebagai hasil perhitungan, prasyarat apa yang memungkinkan perhitungan tersebut? Prasyarat yang memungkinkan perhitungan tersebut ialah dengan menarik perbedaan antara kejamakan konsisten dan kejamakan inkonsisten. Kejamakan konsisten menurut Badiou adalah hasil perhitungan sebagai satu, sedangkan yang inkonsisten yang sudah ada sebelumnya, yang menjadi syarat atau menyediakan bagi perhitungan (Norris, 2009, p. 40). Dengan demikian dari kejamakan inkonsisten ini muncul sebuah kejamakan yang tersusun oleh satuan-satuan. Sebuah kejamakan ini merupakan kejamakan yang tertata atau terstruktur. Kejamakan yang terstruktur inilah yang dalam istilah Badiou disebut situasi. Dengan kata lain definisi dari situasi adalah kejamakan yang terpresentasikan secara struktur.
Dalam konteks matematika, konsep tentang situasi tergambar dalam bentuk himpunan. Dicontohkan terdapat sebuah himpunan x yang memiliki elemen {7,8, 9}. Elemen-elemen ini merupakan satuan-satuan yang menyusun sebuah kejamakan, dalam konteks ini sebuah himpunan x. Satuan-satuan ini bisa dinotasikan sebagai berikut: 7 Î x, 8 Î x, 9 Î x. Himpunan dapat dikatakan situasi karena masing-masing elemen yang dinotasikan dengan simbol Î dipresentasikan secara struktur serta terhitung dalam himpunan tersebut. Simbol Î merupakan relasi keanggotaan dan ini merupakan relasi terdasar dari segala himpunan.
Sebuah pembahasan inti dalam tulisan ini adalah tentang selalu adanya yang tak terhitung atau yang tak terpresentasikan. Ketakterhitungan ini bisa diterangkan melalui aksioma himpunan pangkat dalam sistem himpunan Zermelo-Fraenkel. Andaikan terdapat sebuah himpunan b maka terdapat himpunan p(b). Contohnya, jika terdapat sebuah himpunan b yang berelemen atau beranggotakan {7,8, 9} maka terdapatlah himpunan pangkat dari elemen b tersebut, ialah : { (7), (8), (9), (7,8), (7,9), (8,9), (7,8,9), (∅) }.
Jika status keberadaan elemen pada himpunan adalah presentasi, status keberadaan pada himpunan pangkat disebut bagian dan representasi. Kemudian timbul pertanyaan, dari mana munculnya (∅) atau himpunan kosong? Pertama-tama kita perlu membuktikan dulu bahwa himpunan kosong merupakan himpunan bagian dari b atau dinotasikan ∅ ⊆ b. Pembuktiannya dapat dibuktikan melalui kaidah definisi himpunan bagian: ∅ ⊆ b ↔ ∀ 𝑥 ∈ ∅ ⇒ 𝑥 ∈ b. Dibaca sebagai “himpunan kosong adalah himpunan bagian b jika dan hanya jika setiap anggota himpunan kosong merupakan anggota b.
Berdasarkan implikasi kita akan menunjukkan bahwa ∅ ⊆ b bernilai benar. Syarat ∅ ⊆ b bernilai “benar” ketika 𝑥 ∈ ∅ ⇒ 𝑥 ∈ b bernilai “benar”. Pembuktiannya: 𝑥 ∈ b jelas bernilai benar, kita bisa menunjukkan bahwa terdapat x yang merupakan anggota atau elemen b. x tersebut ialah {7,8, 9}. 𝑥 ∈ ∅ bernilai salah, karena himpunan kosong tidak memiliki elemen atau anggota. Menurut tabel kebenaran implikasi, p ⇒ q bernilai benar ketika memenuhi salah satu syarat p (salah) ⇒ q (benar) = benar. Kesimpulannya, 𝑥 ∈ ∅ (salah) ⇒ 𝑥 ∈ b (benar) = benar. Dengan demikian ∅ ⊆ b bernilai “benar” karena telah memenuhi syarat.
Dalam pemikiran Badiou himpunan pangkat ini menunjukkan bahwa selalu terdapat ekses atau kelebihan bagian terhadap elemen. Keterkaitan antara ekses dan kekosongan adalah bahwa kekosongan tidak mungkin dipresentasikan dalam perhitungan sebagai satu dalam sebuah himpunan. Mengacu pada pemilahan antara kejamakan inkonsisten dan konsisten, kekosongan ini sama dengan kejamakan inkonsisten. Dikatakan sama karena, sebelum perhitungan sebagai satu yang ada hanyalah kekosongan itu sendiri atau dan kekosongan adalah pra-perhitungan. Kekosongan hanya bisa direpresentasikan dengan mengubahnya dari kekosongan atau ∅ menjadi (∅).
Setelah penjabaran matematis, kita akan mencoba menjawab pertanyaan yang telah diangkat di muka. Harapan kita akan sesuatu dalam konteks ini serupa dengan sebuah himpunan. Karena, ketika kita memiliki sebuah harapan, anggaplah harapan ini sebagai himpunan h, sebenarnya di dalam sebuah harapan tersebut hadir elemen-elemen dan elemen-elemen tersebut layaknya elemen dalam sebuah himpunan. Kita sering kali tidak menyadari adanya elemen-elemen tersebut, ini dikarenakan kita masih terjebak dalam pemikiran yang mendahulukan yang-satu kemudian yang banyak. Elemen-elemen dalam sebuah harapan ini misalnya, alasan-alasan kita mengharapkan sesuatu itu, langkah-langkah untuk menggapainya, sumber daya yang dimiliki, pengalaman masa lalu dll.
Ambil contoh: kita berharap menjadi kaya, menjadi kaya ini andaikanlah sebagai sebuah himpunan k. Himpunan k ini kita definisikan secara formal sebagai berikut : K = {x | x alasan-alasan menjadi kaya serta tindakan mencapainya}. Dengan demikian anggota k adalah segala alasan-alasan yang menginginkan kita menjadi kaya beserta tindakannya, misalnya anggota tersebut{ingin membeli mobil mewah, mempunyai rumah mewah, memiliki reputasi, bekerja keras}.
Namun, ketika kita merinci elemen-elemen yang terdapat dalam sebuah harapan tadi, yang mana bentuk perincian ini serupa dengan himpunan pangkat, kita akan menemukan himpunan kosong di dalamnya. Himpunan kosong ini serupa dengan faktor-faktor di luar kendali kita, faktor-faktor yang tak pernah kita perhitungkan. Ialah yang tak pernah terhitung namun hadir di segala himpunan. Ia selalu hadir sebagai pra-perhitungan atau kejamakan inkonsisten yang memungkinkan kita untuk melakukan perhitungan sebagai satu.
Bentuk perhitungan ini menciptakan sebuah harapan layaknya sebuah himpunan atau kejamakan konsisten. Faktor-faktor yang tak pernah kita perhitungkan ini dan memang tak mungkin untuk memperhitungkan segalanya menjadi alasan mengapa harapan kita akan sesuatu selalu terbayangi oleh tidak terwujudnya harapan tersebut.
Ada kesesuaian antara sebuah himpunan dan sebuah harapan. Keduanya mengandung elemen-elemen dan mengandung sesuatu yang tak terhitung. Mengacu pada aksioma himpunan pangkat, yang semula tak terhitung tadi dicoba untuk dihadirkan, meskipun penghadiran tersebut hanya dalam bentuk representasi. Dalam konteks harapan, kita berusaha memperhitungkan segala kemungkinan agar harapan terjadi, meskipun pada akhirnya akan selalu ada faktor di luar kendali yang tak pernah terhitung. [lsfdiscourse.org]