Pada Konferensi Asosiasi Lesbian dan Gay Internasional (ILGA) di Lithuania, 27 Oktober 2007, O’Flaherty menyerukan bahwa “Semua hak asasi manusia adalah milik kita semua. Kita memiliki hak asasi manusia karena kita ada–-bukan karena kita gay atau heteroseksual, dan terlepas dari identitas gender kita.” Ia menyatakan, dalam banyak situasi hak asasi manusia itu tidak dihormati dan tak pernah terwujud. Karena itu, “Prinsip Yogyakarta adalah cara untuk memperbaiki situasi itu.” Dikatakan pula bahwa YP adalah langkah pertama ke arah de-kriminalisasi homoseksualitas di setidaknya 77 negara.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Tudingan sebagian kaum tentang kuatnya sikap intoleran di kalangan warga Indonesia, sebenarnya kian harus dipertanyakan rasionalitasnya. Dalam sejarah pergerakan kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgander (LGBT), Indonesia berperan signifikan dengan memberikan tonggak pencapaian (milestone) baru bagi kelompok tersebut.
Tak seorang pun bisa menafikan, di Indonesialah—tepatnya Yogyakarta—sebuah dokumen yang membahas berbagai standard hak asasi manusia—khususnya urusan Sexual Orientation and Gender Identity (SOGI) yang penting bagi kaum LGBT—dibuat dan dikukuhkan dalam nama Yogyakarta Principles (Prinsip-prinsip Yogya-karta). Prinsip Yogyakarta yang konon menurut Wikipedia digodok dalam pertemuan para pakar hukum internasional, pegiat hak asasi dunia dan tentu saja kelompok LGBT, di Universitas Gadjah Mada selama 6-9 November 2006, itu bertujuan untuk memberikan pemahaman yang konsisten tentang penerapan HAM oleh negara, di bawah perjanjian dan hukum hak asasi manusia, terutama berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender. Suksesnya penyelenggaraan momen itu sejatinya menjadi bukti tak terbantahkan akan sikap toleran warga Indonesia.
Disebutkan, prinsip-prinsip itu ditandatangani oleh 29 orang peserta seminar, termasuk pakar hak asasi manusia dari Irlandia, Michael O’Flaherty, seorang aktivis LGBT yang juga pengusul pertemuan tersebut. Selain O’Flaherty, dua tokoh utama lain pertemuan itu adalah Vitit Muntarbhorn dan Sonia Onufer Corrêa. Setelah ketiganya, nama-nama penandatangan 29 Prinsip Yogyakarta itu, antara lain, Mary Robinson, Manfred Nowak, Martin Scheinin, Mauro Cabral, Elizabeth Evatt, Philip Alston, Edwin Cameron, Asma Jahangir, Paul Hunt, Sanji Mmasenono Monageng, Sunil Babu Pant, Stephen Whittle dan Wan Yanhai. Disebutkan, ada seorang penandatangan dari Indonesia, yakni mendiang Rudi Muhammad Rizki, yang pernah menjadi hakim adhoc dalam pengadilan HAM.
Tujuan penandatangan, mereka menginginkan Prinsip Yogyakarta (YP) harus diadopsi sebagai standard hukum universal yang mengikat dan dipatuhi semua negara. Dalam banyak publikasi kemudian, bahkan terasa ada penekanan untuk membuat seolah-olah YP sudah mendapatkan ‘persetujuan’ PBB sehingga harus diratifikasi pemerintah negara-negara di dunia.
Setahun setelah momen Yogyakarta, pada Konferensi Asosiasi Lesbian dan Gay Internasional (ILGA) di Lithuania, 27 Oktober 2007, O’Flaherty menyerukan bahwa “Semua hak asasi manusia adalah milik kita semua. Kita memiliki hak asasi manusia karena kita ada–-bukan karena kita gay atau heteroseksual, dan terlepas dari identitas gender kita.” Ia menyatakan, dalam banyak situasi hak asasi manusia itu tidak dihormati dan tak pernah terwujud. Karena itu, “Prinsip Yogyakarta adalah cara untuk memperbaiki situasi itu.” Dikatakan pula bahwa YP adalah langkah pertama ke arah de-kriminalisasi homoseksualitas di setidaknya 77 negara.
Dalam perkembangannya, pada 10 November 2017, kelompok tersebut telah menerbitkan prinsip-prinsip tambahan yang ditujukan untuk memperluas dokumen asli yang—menurut mereka–mencerminkan perkembangan dalam hukum dan praktik hak asasi manusia internasional sejak YP 2006. Dokumen yang mereka sebut Prinsip Yogyakarta plus 10 itu memuat 111 ‘kewajiban negara tambahan’, terkait hal-hal seperti penyiksaan, suaka, privasi, kese-hatan dan perlindungan para ‘pembela hak asasi manusia’.
Wacana negasi
Bahwa YP merupakan sebuah milestone penting bagi gerakan LGBT dunia, tampaknya tak bisa dibantah. Tetapi bahwa YP telah menjadi sebuah dokumen penting PBB yang harus diratifikasi negara-negara anggotanya, tampaknya sebuah persoalan lain yang masih menjadi agenda berat para pegiatnya.
Geoff Holloway, penulis artikel “The mysterious power of an international transgender declaration that no one has ever heard of”, yang dimuat situs Australia yang mendaku diri sebagai penjaga moralitas dan etika, mercatornet.com, mengaku heran dengan penerimaan YP yang begitu luas. “Amnesty USA menggambarkan mereka sebagai “panduan universal untuk menerapkan hukum hak asasi manusia internasional” untuk masalah LGBT. Sebuah LSM Jerman terkemuka, Heinrich Böll Stiftung, menggambarkannya sebagai “dokumen terobosan, yang sejak itu banyak digunakan oleh mekanisme dan advokat hak asasi manusia”, dan Human Rights Watch memujinya sebagai “tonggak sejarah bagi hak-hak LGBT,” tulisnya.
Lembaga think-tank LGBT terkemuka AS, Institut Williams di UCLA, juga mengakui bahwa, “Prinsip-Prinsip Yogyakarta adalah dokumen utama yang mendefinisikan penerapan hukum hak asasi manusia internasional sehubungan dengan orientasi seksual dan identitas gender.” Namun, menurut Holloway, seorang pakar sosiologi Australia cum sastrawan, meskipun jurnal-jurnal ilmiah sering mengutip prinsip-prinsip tersebut, YP tidak diakui dalam hukum hak asasi manusia internasional.
Ia mengatakan, gerakan LGBT telah mengubah YP menjadi alat propaganda yang ampuh untuk mengubah hak-hak para transgender menjadi hak asasi manusia. “Sebagai contoh,”kata dia, “pengajuan baru-baru ini oleh Amnesty Australia kepada penyelidikan pemerintah federal tentang kebebasan beragama, telah mengutip Prinsip Yogyakarta berulang kali.”
Secara semi sarkartis, Holloway bahkan menyatakan, “Kisah kelahiran (genesis) dari Yogyakarta Principles adalah kisah horor yang melibatkan beberapa orang penting, strategi hukum, dan acara kehumasan yang terorganisasi dengan baik di seluruh dunia, semuanya dirancang untuk mengganti istilah seks dengan gender.”
Soal pemilihan Yogyakarta sebagai kota dokumen penting mereka itu dilahirkan, Holloway menulis bahwa,”Yogyakarta di Indonesia, dipilih karena letaknya di selatan khatulistiwa, di negara mayoritas Muslim dan dalam yurisdiksi yang diperintah oleh seorang Sultan.” Ia bahkan seolah mengejek perluasan YP, Yogyakarta Principles Plus 10, yang menurut dia, “hanya ditandatangani oleh 33 orang.” Ia membandingkan hal itu dengan Deklarasi Women’s Human Rights Campaign (WHRC) tentang Hak Berbasis Jenis Kelamin Wanita pada 9 September 2021 yang ditandatangani 11.772 individu dan 256 organisasi dari 119 negara.
Di PBB, kata Holloway, YP dan perluasannya pun tidak pernah diterima. “Upaya untuk menjadikan identitas gender dan orientasi seksual sebagai kategori baru non-diskriminasi telah berulang kali ditolak oleh Majelis Umum, Dewan Hak Asasi Manusia, dan badan-badan PBB lainnya. Bahkan, sebagian besar anggota Majelis Umum menolak setiap rujukan ke Prinsip Yogyakarta karena dianggap bertentangan dengan posisi Dewan HAM PBB,”tulis Holloway yang juga penyair kenamaan Australia itu.
Tidak tanggung-tanggung, Holloway mengatakan, bahkan di kalangan kaum feminis pun YP tidak mendapat dukungan. “Faktanya, sebuah kelompok feminis internasional, Women’s Human Rights Campaign (WHRC), yang beranggotakan banyak akademisi dan aktivis feminis terkenal, sangat menentang. Dalam pandangan mereka, prinsip-prinsip tersebut misoginis dan berupaya “menjadikan seks sebagai kategori hukum yang mati”. Dokumen Prinsip Yogyakarta dirancang untuk menggantikan “seks”, yang merupakan fakta ilmiah dan biologis, dengan “identitas gender”, yang merupakan fiksi yang dibangun secara sosial, yang sebagian besar didasarkan pada retorika postmodernis dan politik identitas.”
Holloway menulis, proyek YP sebagian besar dikoordinasikan Allied Rainbow Communities, atau ARC International (ARC), sebuah LSM yang berbasis di Kanada. Dalam analisisnya terhadap YP, kata Holloway, feminis Anna Zobnina mencatat bahwa ARC pada dasarnya adalah kelompok lobi, bukan organisasi perwakilan internasional.
Ia menegaskan, kritiknya sama sekali bukan berarti bahwa transgender tidak boleh dilindungi. Yang dia sayangkan,”Mereka mengklaim bahwa popularitas dokumen tersebut adalah tanda bahwa “kita bergerak menuju masyarakat di mana seks tidak ada”, terutama bagi perempuan dan anak perempuan.
Pendapat pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, juga seiring dengan pandangan Holloway. Menurut Heru, YP sifatnya terbilang lunak (soft law), bukan aturan yang ketat dan mengikat (hard law). Dengan begitu sifatnya tidak memaksa dan tidak memerlukan ratifikasi, karena tidak seperti konvensi atau perjanjian. “Meski begitu, prinsip ini bisa jadi menjadi rujukan bagi negara-negara anggota PBB terkait orientasi seksual. Selain itu, tidak menutup kemungkinan kelompok yang pro dengan hak-hak LGBT menjadikan prinsip ini untuk memperkuat klaim mereka,”kata Heru kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Dia sendiri menyatakan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun disebutkan bahwa hak asasi manusia itu terbatas. Selain dibatasi nilai agama, sosial, budaya, dan hak orang lain, hak asasi pun tidak boleh mengganggu ketenteraman dan ketertiban. Pada akhirnya, kata dia, Yogyakarta Principles terbentur nilai-nilai agama dan sosial negara. “Jadi sebatas tidak mendapat kekerasan, boleh bekerja, berusaha, berdagang, berobat itu oke. Tapi selebihnya akan sulit karena bertentang dengan nilai sosial agama di Indonesia.”
Hanya, tetap saja tudingan negeri ini tidak toleran terhadap LGBT, terbukti omong kosong dengan fakta adanya YP tersebut. [INILAH.COM]