Spiritus

Catatan Menjelang Buka (1): Jam

Kita tonton film yang menyenangkan, putar musik yang melenakan, juga pergi keluar, sekedar jalan-jalan ke mall atau ke kafe sambil sekalian berbuka di sana.  Jika begitu kejadiannya, pasti ada yang tidak beres. Masak berkencan dengan kekasih yang sangat dicintai justru malah membosankan, atau bahkan menyiksa. Jangan-jangan antara ucapan dengan tubuh kita tidak sebangun.

Oleh  : Acep Iwan Saidi*

JERNIH– Shaum hari pertama sebentar lagi  terlampaui. Tentu, di atas meja sudah tertata menu berbuka.

Tapi, mari sejenak dilupakan dulu. Sebentar kita telusuri waktu sepanjang hari ini. Coba kita bandingkan dengan kemarin. Adakah yang berbeda? Berapa kali hari ini menengok arloji? Apakah hal yang sama dilakukan juga kemarin? Apakah hari ini sudah keluar kata “ngabuburit?” Pendek tanya: apakah hari ini waktu terasa berputar lebih cepat atau lebih lambat daripada kemarin?

Pertanyaan-pertanyaan evaluatif itu kiranya penting untuk mengukur sejauh mana bahasa yang acap dilontarkan tentang shaum, sebangun dengan penerimaan tubuh kita. Menjelang shaum, bukankah kita sering berucap bahagia sebab kembali bertemu dengan bulan agung penuh pahala.

Acep Iwan Saidi

Rindu kita pada shaum juga sering diekspresikan dalam bahasa kecemasan di akhir Ramadhan. Kita bersedih sebab akan berpisah dengan Ramadhan. Dan, tentu saja, berdoa penuh harap agar dipertemukan lagi dengan Ramadhan berikutnya. Betapa Ramadhan menjadi kekasih yang sangat dicintai.

Nah, berjumpa dan bercengkerama dengan kekasih yang dicintai pastilah membuat kita lupa waktu. Sebab setiap kedip mata adalah bahagia. Gairah untuk tak ingin sedetik pun berpisah dengannya membuat kita tidak ingat apa pun. Jika bisa, kita ingin mendekapnya sepanjang waktu. Dan kalau sudah begitu, betapa singkat waktu, betapa sempit dunia.

Demikian pula sejatinya hari ini terlewati. Tiba-tiba telah tiba saat berbuka. Padahal, belum tuntas tiga juz membaca Al-Quran; belum sempat menjambangi anak yatim, bahkan belum berbagi dengan tetangga. Betapa singkat. Kurang rasanya 12 jam untuk sehari. Itu karena sepanjang hari kita bahagia.

Tapi, tidak soal. Kita tetap bahagia. Baginda Nabi bersabda, “Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Allah di akhirat kelak” (HR Bukhari-Muslim).

Jadi, mari berbaik sangka. Waktu yang bergerak cepat pada setiap hari di bulan Ramadhan itu karena kemurahan Allah semata. Bahwa Allah Ajja wa Jalla ingin agar kita cepat meraih kebahagiaan pertama, yang dengan itu sekaligus juga menambah pundi-pundi bekal untuk mendapatkan kebahagiaan kedua kelak.

Persoalan ditemukan jika kita menemukan fakta sebaliknya. Tiap bulan Ramadhan putaran jarum jam terasa melambat. Berkali-kali jam ditengok, sepertinya malah tidak bergerak. Atau seperti terus-menerus mengambil jarak dari magrib. Kita lantas berusaha terus mendekatkan jarak itu. Kita tonton film yang menyenangkan, putar musik yang melenakan, juga pergi keluar, sekedar jalan-jalan ke mall atau ke kafe sambil sekalian berbuka di sana.

Jika begitu kejadiannya, pasti ada yang tidak beres. Masak berkencan dengan kekasih yang sangat dicintai justru malah membosankan, atau bahkan menyiksa. Jangan-jangan antara ucapan dengan tubuh kita tidak sebangun.

Barangkali ucapan itu hanya sejumput bahasa yang tidak sengaja kita pungut dari luar, dari kerumunan orang-orang di masjid, di majelis taklim, di media sosial, atau bahkan dari mencuri obrolan orang di stasiun kereta. Kita memungutnya, sedangkan sesungguhnya tubuh kita tidak bisa meresapinya. Khayal kita menangkap estetika bentuk, tapi tubuh tidak mampu menyelam ke estetika esensi. Kita shaum sebab yang lain shaum; kita mencintai sebab yang lain juga mencintai. Singkat kata: kita shaum dengan nafsu.

Ah, kok, jadi keterusan. Bukankah di meja sudah tertata menu. Dalam Sahih Muslim, melalui Aisyah, Rasul Yang Mulia bersabda, segerakanlah berbuka. Jika hari ini kita masih merasakan betapa lambat waktu bergerak mendekat ke depan meja, yakinlah, itu bukan berarti bahwa kita sedang melangkah dengan “yang tidak dicintai”, melainkan, barangkali, hanya BELUM.

Toh, shaumnya juga baru satu hari; baru pertemuan pertama. Besok kita periksa lagi. Dan terus periksa hingga akhir Ramadhan nanti. Selamat berbuka! [ ]

Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Back to top button