Catatan Menjelang Buka (14): Mall
Kamu pun antre di kasir mengeluarkan kartu kredit, seolah-olah punya uang, padahal ngutang. Kamu serahkan kartu itu ke perempuan cantik sang kasir, tapi sebenarnya kamu tidak sedang bertransaksi dengannya. Kamu berjual beli dengan pengusaha uang yang entah sedang berada di mana. Lagi dan lagi, ilusi.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke-14. Ini petang izinkan saya mengajak Anda berdiskusi tentang mall. Kiranya ikhwal ini penting. Mall adalah salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi.
Menjelang lebaran nanti, pastilah kunjungan ke sana kian meningkat. Mungkin Anda malah telah sering pergi ke sana sejak awal ramadhan.
Meminjam salah satu judul lukisan Ivan Sagita, mall sesungguhnya merupakan tempat kefanaan abadi. Coba ingat-ingat. Saat Anda pergi ke mall, pastilah fakta pertama yang ditemukan adalah benderang cahaya. Tidak ada perubahan cuaca. Waktu seolah mati di situ. Anda baru akan tahu cuaca sedang gelap, hujan, panas, dan lain-lain setelah keluar dari gedung. Selama berada di dalamnya, ke mana mata memandang ke situ cahaya mengikuti. Cerah di mana-mana.
Tapi, kita tahu kemudian bahwa sumber cahaya di atas artifisial: sinar buatan yang, tentu saja, profan. Itulah ilusi pertama. Dan kita pun masih bisa mengurut sederet ilusi lain. Perhatikan para wanita cantik yang berada di setiap stand barang dagangan, bukankah semua tampak seperti pemiliknya. Padahal, mereka hanyalah buruh. Gaji mereka mungkin malah lebih kecil daripada pekerja di perusahaan garmen yang, misalnya, berderet di sepanjang jalan Cicalengka yang selalu direndam banjir kalau musim hujan.
Lantas kamu mendekati para wanita cantik itu, memilih barang-barang yang dipajang di mana-mana, terhampar rapi dan indah. Tapi, apa benar kamu sedang memilih? Tidak. Barang-barang itu sudah ada di sana. Kamu sudah dipilihkan, bukan memilih.
Jika pilihannya tidak diletakkan di lantai bawah, kamu mencari ke lantai atas. Kamu pun berjalan dengan eskalator. Tentu, di atas eskalator itu sesungguhnya kamu tidak berjalan, yang berjalan adalah tangganya.
Kamu lantas mengambil gaun yang ditempel pada manekin. Betapa indah, lekuk tubuhnya eksplisit, tampak ramping, dan tentu saja, tinggi semampai. Kamu baru sadar bahwa itu sebenarnya dusta setelah mematut diri di depan cermin, di kamar pas atau di rumah. Tentu saja kamu tetap membelinya. Keinginan tidak bisa dihentikan.
Kamu pun antre di kasir mengeluarkan kartu kredit, seolah-olah punya uang, padahal ngutang. Kamu serahkan kartu itu ke perempuan cantik sang kasir, tapi sebenarnya kamu tidak sedang bertransaksi dengannya. Kamu berjual beli dengan pengusaha uang yang entah sedang berada di mana. Lagi dan lagi, ilusi. Seluruhnya nyaris seolah-olah.
Dan kamu lantas pergi meninggalkan gedung, ditonton bayang-bayang tubuhmu sendiri yang tampak jelek, terpantul pada kaca cembung di dinding gedung. Tidak ada kesan apa-apa. Tidak ada pengalaman yang mesti diingat atau membekas dalam ingatan. Kamu memang dibuat lupa supaya besok kembali lagi ke situ. Demikian seterusnya. Sekali berkunjung ke mall, hakikatnya kamu tidak pernah bisa pulang.
Dengan semua fakta demikian, mall kiranya mengingatkan kita kepada sabda Baginda Rasulillah tentang pasar. Baginda Yang Mulia telah menyampaikan bahwa, “tempat yang paling Alla cintai adalah masjid. Dan tempat yang paling Allah benci adalah pasar” (HR. Muslim). Mengapa? Uraian di atas, sekali lagi, adalah jawabannya. Mall adalah pasar seolah-olah, jika tidak mau dikatakan gugusan dusta. Selamat berbuka. [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD- ITB