Cintanya Anak, Cintanya Orang Tua
Cintanya anak dan cintanya orang tua adalah contoh cinta rasa yang sejati. Bisakah kita mencintai guru kita, saudara kita dan sahabat kita seperti itu? Yakni tak bermotif dan tak berpolitik demi kepentingan sesaat?
Oleh: Prof Dr KH Ahmad Imam Mawardi
SEMALAM, di sebuah masjid, saya berbicara tentang cinta dan kasih sayang. Banyak sisi yang saya sampaikan. Yang paling inti adalah bahwa cinta itu ada dua macam: cinta yang diantarkan oleh logika (al-hubb al-‘aqly) dan cinta yang dibentuk murni oleh rasa (al-hubb al-‘athify).
Saya aslinya tak suka pahit, namun saya menyukai obat pahit tertentu karena menurut akal obat itu akan menyehatkan. Itu contoh cinta yang pertama. Ada motif, ada karena, ada alasan. Saya mencintai anak saya, bagaimanapun keadaan dia, bukan karena apa-apa melainkan rasa hati terbentuk sendiri untuk mencintai dan menyayanginya.
Orang tua akan sedih dan gelisah jika anaknya berada dalam kondisi yang tak aman dan tak nyaman. Anakpun merasa teriris hatinya, kasihan dan sedih melihat orang tuanya sakit atau dalam musibah. Cinta anak dan orang tua seperti ini adalah cinta tulus yang bisa menjadi pilar keabadian bangunan sebuah rumah tangga. Jangan tanya kenapa, semua adalah rasa hati yang alami.
Suatu hari saat saya masih dalam kondisi sakit, dan saya harus tetap berangkat ke luar kota, anak barep saya berlinang air mata saat melihat saya naik mobil langsung tiduran. Saya didampingi istri dalam perjalanan itu. Sekitar 10 menit mobil berjalan, saya telpon anak saya menanyakan mengapa menangis.
Dengan semakin tersedu dia berkata: “Ayah harus istirahat. Jangan paksa terus melayani semua orang. Ayah sudah cukup memperhatikan dan melayani mereka. Kini harusnya adalah waktu ayah mendapatkan perhatian mereka.” Saya tersentuh dengan ketulusan kalimat anak saya yang psikolog ini. Ini adalah karena cinta rasa yang alami. Istri saya mengiyakan sambil juga menangis. Hari itu saya tetap berangkat berceramah menempuh perjalanan 5 jam.
Sepulang dari ceramah, usai istirahat, saya berdiskusi dengan anak-anak. Sebagian yang saya sampaikan adalah: “Kalian benar, kalian memiliki cinta yang tulus. Semoga kalian menjadi anak-anak surgawi. Hidup di dunia ini, anakku, sulit mencari orang yang tulus dalam perhatian dan dalam cinta. Yang banyak adalah semua atas dasar kepentingan sendiri. Kalau urusan dan kepentingannya sudah selesai, perhatian dan cintanya pasti usai dan musnah. Tapi kalian harus berupaya memiliki ketulusan. Cinta yang diperintahkan dan dicontohkan Rasulullah adalah cinta yang tulus.”
Panjang kami bercengkerama, saya berikan contoh yang semi lucu untuk membuat mereka tersenyum. Seorang penceramah yang diundang pasti selalu dipantau sudah berangkat apa belum, sudah sampai di mana dan lainnya. Bahkan ketika akan masuk lokasi, dikawal dan dikonvoi ramai-ramai.
Coba lihat setelah turun panggung, maka pasti pulangnya tidak ada yang ngawal dan tidak ada yang telpon lagi sampai di mana. Bahkan, saat tabrakan patah tulangpun tak ada panitia yang menjenguk. Namun yang begini ini tak usah menyusutkan niat pengabdian. Biar Allah yang memperhatikan kita. Anak-anak saya ternyata tidak tersenyum, bahkan menangis. Inipun karena cinta sejati.
Panjang ulasan ini kalau diperdalam. Kesimpulannya, cintanya anak dan cintanya orang tua adalah contoh cinta rasa yang sejati. Bisakah kita mencintai guru kita, saudara kita dan sahabat kita seperti itu? Yakni tak bermotif dan tak berpolitik demi kepentingan sesaat? Hanya mereka yang hatinya bersih yang bisa. Salam, A. I. Mawardi. [*]
* Founder and Director di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya serta Dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya