Delapan Nasihat ‘Si Tuli’ Hatim Al-Assam, Esensi 30 Tahun Pelajaran
Kuperhatikan setiap orang berusaha keras dan berlebihan dalam mencari makan dan nafkah hidup dengan cara yang menyebabkan mereka terjerumus dalam perkara yang syubhat dan haram, juga dengan cara menghinakan diri, mengurangi kehormatannya.
JERNIH–Suatu hari, Hatim al-Asham ditanya sahabatnya yang juga seorang sufi, Syaqiq al-Balkhi. Syaqiq memang mendatangi Hatim untuk meminta nasihat.
“Kau telah bersahabat denganku selama 30 tahun, apa yang kau dapatkan selama ini?” tanya Syaqiq.
“Aku telah mendapatkan delapan pelajaran yang kuharapkan dapat menye-lamatkanku,” jawab Hatim.
“Apa saja pelajaran itu?” tanya Syaqiq antusias.
“Pertama, kuamati kehidupan manusia, kudapati setiap manusia memiliki kecintaan dan kesayangan. Dari beberapa kecintaannya itu, ada yang menemaninya sampai pada sakit yang menyebabkan kematiannya, dan ada yang mengantarnya sampai ke pekuburan, setelah itu mereka semua pergi meninggalkannya seorang diri. Tidak ada satu pun sahabat yang bersedia masuk ke dalam kubur menemaninya.”
“Kurenungkan hal ini, lalu kukatakan: sebaik-baik kecintaan adalah yang mau menemani seseorang di dalam kubur dan menghiburnya. Aku tidak mendapatkan yang demikian itu kecuali amal saleh.Oleh karena itu, kujadikan amal saleh sebagai kecintaanku agar dapat menjadi pelita kuburku, menghiburku di dalamnya, dan tidak akan meninggalkanku seorang diri.”
“Kedua, kuperhatikan bahwa manusia selalu memperturutkan hawa nafsunya, dan bersegera dalam memenuhi keinginan nafsunya itu. Lalu kurenungkan wahyu Allah SWT: “Dan ada pun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya). (an-Nazi’at/79:40-41).
“Aku yakin bahwa Qur’an adalah haq dan benar, maka aku bersegera menentang hawa nafsuku dan menyiapkan diri untuk memeranginya. Tidak sekali pun aku ikuti kehendaknya sampai akhirnya ia tunduk dan taat kepada Allah.”
“Ketiga, aku lihat setiap orang berusaha mencari harta dan kesenangan duniawi, kemudian menggenggamnya erat-erat. Lalu kurenungkan wahyu Allah: “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah kekal…” (an-Nahl/16:96). Karena itu, kubagi-bagikan dengan ikhlas penghasilanku kepada kaum fakir miskin agar menjadi simpananku kelak di sisi-Nya.”
“Keempat, kuperhatikan sebagian manusia beranggapan bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pengikut dan famili, lalu mereka berbangga-bangga dengannya. Yang lain mengatakan terletak pada harta yang melimpah dan anak yang banyak, lalu mereka bermegah-megah dengannya. Sebagian yang lain mengira terletak dalam merampok harta orang lain, menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Dan sebagian lagi menyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak dalam menghambur-hamburkan dan memboroskan harta. Aku lalu merenungkan wahyu Allah:
“….sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian….(al-Hujurat/49:13). Lalu kupilih takwa karena aku yakin bahwa Qur’an itu haq dan benar, sedang pemikiran dan pendapat mereka keliru dan tidak langgeng.”
“Kelima, kuperhatikan manusia sering saling menghina dan bergunjing. Perbuatan buruk itu ditimbulkan perasaan dengki (hasad) sehubungan dengan harta, kedudukan, dan ilmu. Kemudian kurenungkan wahyu Allah : “….Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia….(az-Zukhruf/43:32). Maka tahulah aku bahwa pembagian itu telah ditentukan Allah sejak di alam azali. Oleh karena itu aku tidak boleh mendengki siapa pun dan harus rela dengan pembagian yang telah diatur Allah.”
“Keenam, kuperhatikan manusia saling bermusuhan satu dengan lainnya karena berbagai sebab dan tujuan. Lalu kurenungkan wahyu Allah : “Sesungguhnya setan itu adalah musuhbagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian)….(Al-Fathir/35:6). Maka sadarlah aku, bahwa aku tidak boleh memusuhi siapa pun kecuali setan.”
“Ketujuh, kuperhatikan setiap orang berusaha keras dan berlebihan dalam mencari makan dan nafkah hidup dengan cara yang menyebabkan mereka terjerumus dalam perkara yang syubhat dan haram, juga dengan cara yang dapat menghinakan diri dan mengurangi kehormatannya. Lalu kurenungkan wahyu Allah : “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya. (Hud/11:6).
Maka sadarlah aku, bahwa sesungguhnya rezeki ada di tangan Allah dan Ia telah memberikan jaminan. Oleh karena itu, aku lalu menyibukkan diri dengan ibadah dan tidak meletakkan harapan pada selain-Nya.”
“Kedelapan, kuperhatikan sebagian orang yang menyandarkan diri pada benda-benda buatan manusia, sebagian orang bergantung pada dinar dan dirham, sebagian pada harta dan kekuasaan, sebagian pada kerajinan dan industri, dan sebagian lagi pada sesama makhluk. Lalu kurenungkan wahyu Allah: “…dan barang siapa bertawakal kepadaALLAH niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (at-Thalaq/65:3). Maka aku pun lalu bertawakal kepadaALLAH Ta’ala dan mencukupkan diri dengan-Nya, karena Ia adalah sebaik-baik Dzat yang bisa kupercaya untuk mengurus dan melindungi semua kepentinganku.”
Setelah mendengar uraian Hatim, Syaqiq berkata, “Semoga Allah memberimu taufik. Aku telah membaca Taurat, Injil, Zabur dan Furqan (Qur’an) ternyata semua kitab itu membahas kedelapan persoalan ini. Karena itu, barang siapa mengamalkannya, maka ia telah mengamalkan keempat kitab tersebut.” [dsy/Sumber : “Tazkirat al-Auliya” karya Fariduddin al-Atthar