Persona

Haji Hasan Mustopa, Ulama Nyeleneh, Sufi Tanah Sunda

Di waktu lain, ketika magrib tiba, Hasan Mustapa didatangi Opas kabupaten yang disuruh Kanjeng Dalem (bupati) untuk menanyakan jumlah setan. “Ada dua,” jawab beliau. Opas kemudian pergi kembali ke Bupati. Namun tak lama berselang ia datang lagi dengan pertanyaan baru. “Yang dua itu, mana?” tanyanya. Hasan Mustapa langsung menjawab,”Pertama, setan Kanjeng Dalem. Kedua, setan Opas.”

JERNIH—Soal tingginya maqam keilmuan serta luasnya cakrawala pengetahuan Kiai Haji Hasan Mustopa, tentu sudah banyak yang mengulas. Kini kita akan mencoba mengungkap apa saja hal-hal yang membuat dunia pesantren Tatar Sunda saat itu menilai Hasan Mustopa kiyai yang mahiwal alias nyeleneh.  

Haji Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1852 di Cikajang, Garut. Ayahnya, Mas Sastramanggala, adalah seorang camat kontrakan teh di Cikajang. Ibunya bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari wilayah Suci, Garut. Sebagian masyarakat berspekulasi, bahwa penamaan “Suci: untuk ruas Jalan PHH Mustopa, juga dikaitkan dengan daerah “Suci” asal Dalem Sunan Pagerjaya.

Hasan Mustapa adalah hoofd penghulu (kepala penghulu) Bandung yang paling terkenal. Beliau dikenal sebagai ulama mahiwal (nyeleneh) karena beberapa sikapnya dianggap tidak lazim oleh masyarakat umum saat itu.

Misalnya sebagaimana ditulis alm Ajip Rosidi dalam “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-karyana”. Ketika jenazah Toha Firdaus, anaknya yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Nagreg pada 1921, hendak dibawa ke kuburan, Hasan Mustapa menyuruh grup keroncong “Sangkuriang” untuk memainkan musik mengiringi rombongan pembawa jenazah.

Sangkuriang adalah grup keroncong pimpinan Toha Firdaus semasa hidup almarhum yang memang terkenal sebagai “buaya keroncong”.  Terang saja kelakuan ini mengundang pertanyaan banyak orang. Dalam suasana duka, rombongan pengiring jenazah yang lazim melantunkan tahlil (La ilaha ilallah) sepanjang jalan, ini malah ditingkahi musik keroncong.

Sikap dan cara berdakwah Hasan Mustapa yang dianggap aneh sekaligus lucu itu banyak dikumpulkan oleh para pengagumnya yang tergabung dalam Galih Pakoean dalam bentuk anekdot. Ajip sendiri, dalam buku itu jelas menyatakan rasa kurang simpatik terhadap para anggota Galih Pakoean. Menurutnya, meski rata-rata jauh lebih tua dari usia Ajip yang saat itu baru 21 tahun, malah didominasi pensiunan, anggota Galih Pakoean dinilai Ajip kurang wawasan. Baik wawasan ilmu, seni budaya, maupun pengetahuan tasawuf. Ajip mengatakan, sering dalam pertemuan berbeda, setiap orang Galih Pakoean selalu bicara hal-hal yang sama. Diulang dari waktu ke waktu.

Mereka juga dinilai Ajip sangat tidak kritis. Tak ada prakarsa untuk mengungkap makna-makna tersembunyi dalam dangding ciptaan Hasan Mustapa. Mereka, kata Ajip, cenderung seperti membeo. Apalagi belakangan Ajip melihat rata-rata para anggota Galih Pakoean itu tidak melaksanakan kewajiban shalat!

Sementara, menurut Ajip, anekdot-anekdot tersebut menggambarkan kebesaran pribadi Hasan Mustapa, yang tajam melihat jiwa manusia, dan memperlihatkan luasnya pengetahuan beliau tentang agama dan kehidupan.

“Mempunyai bakat untuk cepat menjawab pertanyaan orang lain, bisa mematahkan pendapat-pendapat orang lain secara mudah, dan sebaliknya kalau beliau bertanya kepada orang lain, tidak pernah mudah mencari jawabannya,” ujar Daeng Kanduruan Ardiwinata, ketua Paguyuban Pasundan pertama, seperti dikutip Ajip dalam buku itu.

Sekali waktu seseorang datang kepada Hasan Mustapa, menanyakan rupa Allah.

“Allah itu seperti siapa?”

Beliau kemudian dengan cepat balik bertanya,”Pernah melihat Kanjeng Dalem (bupati)?”

Orang tersebut mengiyakan.

Lalu beliau bertanya lagi,”Sudah pernah melihat Kanjeng Tuan Besar?”

Orang tersebut kembali mengiyakan. “Nah, (Allah) sedikit dari itu (Kanjeng Tuan Besar).”

Sekilas jawaban Hasan Mustapa seperti merendahkan Allah, dengan membandingkannya dengan manusia. Apalagi ia pun menyebut “sedikit dari itu”. Padahal beliau hanya menyesuaikan alam pikiran orang yang bertanya, yang mempunyai anggapan bahwa Allah bisa diperkirakan wajahnya.

Di waktu lain, ketika magrib tiba, Hasan Mustapa didatangi Opas kabupaten yang disuruh Kanjeng Dalem (bupati) untuk menanyakan jumlah setan.

“Ada dua,” jawab beliau. Opas kemudian pergi kembali ke Bupati. Namun tak lama berselang ia datang lagi dengan pertanyaan baru.

“Yang dua itu, mana?” tanyanya. Hasan Mustapa langsung menjawab,”Pertama, setan Kanjeng Dalem. Kedua, setan Opas.”

Mustahil saat itu ada orang yang berani lancang dengan mengatakan Kanjeng Dalem sebagai setan. Namun bagi Hasan Mustapa, bukan halangan untuk mengatakan demikian. Terlebih ia berkata seperti itu karena Opas yang bolak-balik bertanya tersebut datang ketika ia bersiap hendak shalat. Terkait sikapnya yang kerap nyeleneh dalam berdakwah, mungkin ada sedikit ‘apologia’ darinya.

Ari mapatahan téh kudu luyu jeung alamna jalma anu dipapatahan. Lamun alamna budak, papatahan cara ka budak. Lamun alamna pidunya, tuduhkeun jalan kauntungan keur manéhna. Kalau memberitahu orang harus sesuai dengan alam pikiran orang yang diberitahu. Kalau alamnya anak-anak, kasih tahu dengan jalan seperti kepada anak-anak. Kalau alam pikirnya haus dunia, tunjukkan jalan keuntungan untuk dirinya,” tulis Hasan Mustapa dalam “Patakonan Jeung Jawabna”. Buku yang disusun Ajip Rosidi itu sebelumnya diberi judul oleh Wangsaatmadja, juru tulis Hasan Mustapa, “Syeh Nur Jaman”.

Karier kepenghuluan

Sejak kecil Hasan Mustapa sudah giat belajar Al-Quran, dibimbing kedua orang tuanya. Setelah berusia tujuh tahun, ia mulai berguru kepada Kyai Hasan Basri dari Kiarakoneng, Garut. Di usianya yang ke-8, Hasan Mustapa sempat dimasukkan ke sekolah kabupaten (konon) oleh Karel Frederik Holle, ilmuwan Belanda yang banyak meneliti budaya dan peninggalan Sunda.

Namun ayahnya meminta agar Hasan Mustapa tidak bersekolah di sana, sebab akan dibawa pergi ke Mekkah. Pada kesempatan pertama ke Mekkah, Hasan bermukim selama delapan tahun. Pada kesempatan kedua, ketika usianya  masuk 17 tahun, Hasan Mustapa bermukim selama tiga sampai empat tahun di Tanah Suci. Pada kesempatan ketiga, ketika berusia 29 tahun, ia tinggal di sana selama lima tahun, dan baru pulang ke Tanah Air pada 1882.

Dalam buku “Aji Wiwitan Istilah”, Hasan Mustapa mengemukakan, ketika di Mekkah ia memperdalam ilmu kepada Syeh Muhamad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Sayid Abdullah Janawi, dll. Sekembalinya dari Tanah Suci pada kali pertama, Hasan Mustapa berganti-ganti guru dan tempat mengaji.

Mula-mula ia mempelajari dasar-dasar nahwu dan shorof  kepada Rd. H. Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Lalu pindah ke Tanjungsari, Sumedang, berguru kepada Kyai Abdul Hasan dan memperoleh pelajaran nahwu, shorof, fikih, dan tafsir. Setelah itu ia kembali lagi ke Garut dan berguru kepada Kyai Muhamad dan Muhamad Ijrai.

Menurut Tini Kartini, dkk., dalam “Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa” yang banyak mengutip Wangsaatmadja, kepulangan Hasan Mustapa ke Tanah Air pada 1882 karena dipanggil oleh Muhamad Musa, Hoofd Penghulu Garut pada masa itu. Hasan Mustapa diberi tugas untuk meredakan ketegangan di antara para ulama Garut yang tengah bertentangan paham.

Pergaulan Hasan Mustapa sangat luas. Ia kenal dengan para orientalis Belanda seperti KF. Holle, Dr. DA. Rinkes, Dr. JLA. Brandes, serta dedengkotnya yang paling masyhur: Snouck Hurgronje

Pada 1889, Hasan Mustapa diminta Snouck Hurgronje mendampinginya keliling Jawa dan Madura,  melakukan penelitian tentang folklore dan kehidupan pemeluk agama Islam di Jawa. Snouck sebetulnya telah mengenal Hasan Mustapa sejak ia masih bermukim di Mekkah sebagai konsul Belanda. Bahkan ia pernah ditolong Hasan Mustapa ketika hendak dibunuh orang-orang Arab.

Tahun 1893, atas usul dari Snouck Hurgronje, pemerintah kolonial Belanda mengangkat Hasan Mustapa untuk menjadi Hoofd Penghulu di Aceh. Berdasarkan informasi dari orang-orang Galih Pakoean yang dikutip Tini Kartini, dkk, pada waktu itu tidak mudah menjadi Hoofd Penghulu di Aceh. Sebab si pejabat sering dalam posisi terancam manakala dianggap tidak adil dalam menyelesaikan suatu masalah atau persengketaan di masyarakat.

Tugas seorang Hoofd Penghulu pada masa itu selain menjadi pemuka agama, juga ikut memberikan keputusan dalam masalah hukum. Kadang kala mereka biasa disebut Kadi. Di Aceh pada waktu itu, apabila seseorang kalah dalam suatu perkara, maka orang tersebut akan memberondong Kadi dengan berbagai pertanyaan, seperti: Ia kalah berdasarkan hukum apa? Ayat berapa? Mengapa ia dianggap salah? Jika Kadi tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, maka ia akan dianggap berat sebelah, dan tak jarang Sang Kadi bisa terancam. Sikap keras orang Aceh, termasuk dalam berbicara dan berargumen, menjadi tantangan tersendiri bagi para Kadi.

Snouck Hurgronje, dengan melihat beberapa syarat dari pemerintah kolonial Belanda yang mengisyaratkan bahwa Hoofd Penghulu Aceh harus seorang yang cerdas, pandai dalam ilmu hukum di samping juga menguasai ilmu agama secara mendalam, menilai Hasan Mustapa adalah orang yang tepat untuk mengisi jabatan tersebut.

Menurut “Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa”, Hasan bersedia menjalankan tugas tersebut dengan mengajukan dua syarat. Pertama, ia harus dipercayai sepenuhnya: segala perkataan, perbuatan, dan tulisan-tulisannya janganlah diganggu. Kesanggupan pemerintah kolonial Belanda memenuhi syarat pertama ini harus dinyatakan secara tertulis.

Kedua, apabila ia telah berhasil dengan tugasnya di Aceh, dan apabila nanti ada lowongan jabatan Hoofd Penghulu di Bandung, Hasan Mustapa minta agar ia dapat ditempatkan di Bandung.

Selama dua tahun (1893-1895) Hasan menjalankan tugasnya sebagai Hoofd Penghulu Aceh dengan baik. Masyarakat Aceh merasa puas dengan kinerja dan segala keputusannya. Sebagai ungkapan terima kasih, rakyat Aceh memberinya sebidang tanah yang oleh Hasan Mustapa dipakai untuk mendirikan sebuah masjid.  Setelah itu beliau kembali ke tanah Priangan dan menjabat sebagai Hoofd Penghulu Bandung selama 23 tahun.

Pada tahun 1918, atas permintaan sendiri, Hasan Mustapa diberhentikan secara terhormat dan memperoleh hak pensiun. Hasan Mustapa wafat pada 1930 di Bandung, dan dimakamkan di komplek permakaman para bupati Bandung di Jalan Karang Anyar. [ ]

Dari berbagai sumber, terutama “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-karyana”, Ajip Rosidi, Pustaka Salman, 1989.

Back to top button