Spiritus

Puasaku, Menyelamatkan Kehidupan

Puasa memang seharusnya dimaknai sebagai dua sisi tugas. Sisi pertama adalah apa yang sudah menjadi pemahaman umum selama ini, yakni mengendalikan diri. Berpuasa bermakna mengendalikan diri dalam mengeksploitasi sumber daya — namun, tidak makan, tidak minum, tidak bergunjing, tidak bersetubuh, barulah sekadar latihan. Berpuasa ialah pengendalian diri yang lebih besar dari itu. Berpuasa adalah mengendalikan diri dari segala hal yang bersifat eksploitatif.

Oleh : Agus Kurniawan

JERNIH—Syahdan, seorang guru sufi pernah berwasiat bahwa bangsa yang tidak memiliki tradisi berpuasa akan punah. Sebaliknya suatu kaum yang mampu berpuasa akan dikaruniai kodrat Tuhan: mencipta, memelihara, melindungi, dan mengembangkan.

Puasa memang seharusnya dimaknai sebagai dua sisi tugas. Sisi pertama adalah apa yang sudah menjadi pemahaman umum selama ini, yakni mengendalikan diri. Berpuasa bermakna mengendalikan diri dalam mengeksploitasi sumber daya — namun, tidak makan, tidak minum, tidak bergunjing, tidak bersetubuh, barulah sekadar latihan. Berpuasa ialah pengendalian diri yang lebih besar dari itu. Berpuasa adalah mengendalikan diri dari segala hal yang bersifat eksploitatif.

Baca Juga: Dukung Kebebasan Aspirasi, Ketua Syarikat Islam Hamdan Zoelva Bantah Jadi Kontributor Aksi 114

Tapi, itu tidak cukup ternyata. Puasa juga memiliki tugas kedua, yakni memberi sebanyak mungkin yang kita bisa. Kata Nabi Muhammad, bersedekahlah pada saat engkau berpuasa. Pada saat lapar, kita justru dipaksa memberi makan kepada orang lain.

Pada saat kita mengendalikan diri untuk tidak mengeksploitasi, kita justru dipaksa untuk menyantuni. Dengan kata lain, berpuasa bermakna juga memaksa diri kita untuk memberi. Memberi memiliki kadar bertingkat-tingkat. Memberi pada tingkat yang lebih rendah adalah memberi dengan hal-hal yang kita miliki: harta benda atau kesempatan. Memberikan harta benda tanpa pretensi disebut sebagai ikhlas.

Tapi pemberian yang lebih tinggi tingkatnya ialah memberikan “diri” kita sendiri. Contohnya seorang ibu pada anaknya. Bukan hanya harta benda yang diberikan sang ibu pada anaknya, tapi juga dedikasi sepanjang umur, bahkan bila perlu nyawanya dikorbankan demi sang anak. Itulah cinta tanpa pamrih.

Mencintai dengan “segenap diri,” bukan hanya dengan sesuatu yang dimiliki. Bila seseorang telah mampu memberikan dirinya, dia disebut “ridha.” Maka tepatlah ungkapan bahwa yang dicari orang beriman adalah ridha Tuhan, bukan ikhlas Tuhan.

Jadi, puasa adalah mekanisme kerja Tuhan, bukan? Mengambil atau meminta sesedikit mungkin, tapi pada saat bersamaan memberi sebanyak-banyaknya. Tuhan menjadi tidak bergantung pada yang lain karena Dia tidak membutuhkan apa pun dari yang lain. Tetapi Dia menjadi tempat bergantung karena memberikan segala sesuatu kepada yang lain.

Itulah kodrat Tuhan, dan bila kita mampu mengeksploitasi sesedikit mungkin tetapi pada saat yang sama memberikan sebanyak mungkin, insya Allah kita akan diberkahi kodrat Tuhan: mencipta, memelihara, melindungi, dan mengembangkan. Menyelamatkan kehidupan dari kepunahan.

Pertanyaannya adalah lebih kepada diri saya sendiri: sudahkah kita berpuasa? Selamat menjalankan ibadah puasa. [ ]

*”Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas.”

Back to top button