Setetes Embun: Mengasihi Ala Kristen
Kematian dan kebangkitan Yesus berfungsi, bukan hanya sebagai contoh bagaimana mencintai, tetapi sebagai sarana yang benar-benar membebaskan kita dari cinta egois kita; melalui kehadiran-Nya yang tinggal di dalam diri kita.
JERNIH-Santo Hironimus bercerita tentang rasul Yohanes bahwa ketika ia menjadi tua, ia biasa dibawa ke tempat jemaat berkumpul (gereja), di mana dia mengulangi kata-kata, “Anak-anakku, kasihilah satu sama lain.” Terus menerus demikian dia berkata.
Murid-muridnya, yang lelah dengan pengulangan yang terus-menerus, bertanya kepadanya mengapa dia selalu mengatakan ini. “Karena,” jawabnya, “itu adalah perintah Tuhan, dan sekalipun hanya itu yang dipenuhi, itu sudah cukup.”
Yohanes tahu bahwa kebenaran terbesar paling mudah dilupakan karena diterima begitu saja. Ini adalah salah satu bencana terbesar di Gereja Kristen dan yang menyebabkan perpecahan di masa mendatang. Sejarah membuktikan nasihatnya benar adanya.
Pada bagian kedua dari khotbah perpisahan, dalam Injil hari ini, (Yoh 13,33-35) Yesus memberikan perintah baru kepada para pengikut-Nya. Tiga kali Yesus mengulangi perintah untuk saling mengasihi.
Dia menjelaskan apa itu (“perintah baru”), bagaimana hal itu diterapkan (“seperti Aku telah mengasihi kamu”), dan akhirnya dicatat bahwa kasih macam ini akan menjadi semaca “trade mark” (merek dagang) murid-muridNya. Ini bukan hanya perintah baru, tetapi juga, Yesus mengajarkan, bahwa kasih ini adalah yang terbesar.
“Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”. Mereka harus saling mengasihi seperti Dia telah mengasihi mereka. Mereka akan dikenal, bukan dengan simbol-simbol rohani, misalnya ikan atau bahkan salib, tetapi karena cinta timbal balik di antara mereka. Dunia dapat mengidentifikasi murid-murid Yesus yang sejati melalui cinta mereka satu sama lain.
Perintah Yesus adalah sekaligus baru dan lama. Ini mengulangi ajaran dari Imamat 19,18 untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Yang baru adalah bahwa kasih ini mencirikan kehidupan baru yang diprakarsai oleh Yesus dan merupakan bukti kasih seseorang kepada Allah (1 Yoh. 4:7).
Perintah baru Yesus menuntut kasih tanpa batas, kondisi, atau prasyarat. Cinta ini membuka mata kita pada fakta-fakta yang mungkin kita abaikan — bahwa orang miskin di dunia adalah bagian dari keluarga kita; bahwa mereka yang hidup dalam keputusasaan dapat diselamatkan oleh Tuhan melalui pemeliharaan kita terhadap mereka; bahwa kedamaian Tuhan dapat datang ke dunia melalui upaya kita saat kita berdoa dan bekerja dengan-Nya. Bahwa segala yang baik dapat dihadirkan Allah ke dunia ini melalui kita.
Yesus berbicara tentang agápe, kasih yang membutuhkan komitmen dan kepercayaan total. Ini adalah jenis kasih yang dengannya Tuhan mencintai kita, cinta yang seharusnya menjadi model cinta yang kita miliki untuk orang lain.
Kasih ini lebih dari sekedar perasaan hangat atau ramah, terhadap orang lain. Kasih itu adalah hadiah cuma-cuma dari diri kita sendiri untuk memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani saudara-saudari kita.
Seorang tokoh Gereja abad pertama, Tertullianus menyatakan alasan mengapa orang-orang kafir menjunjung tinggi jemat-jemaat Kristen:”Lihat, betapa orang-orang Kristen ini saling mengasihi!”.
Kematian dan kebangkitan Yesus berfungsi, bukan hanya sebagai contoh bagaimana mencintai, tetapi sebagai sarana yang benar-benar membebaskan kita dari cinta egois kita; melalui kehadiran-Nya yang tinggal di dalam diri kita.
Yesus tidak berdiri di luar dan memberi contoh. Yesus yang bangkit hidup “di dalam diri kita” dan mentransformasi kita murid-muridNya. Kasih jenis baru inilah yang dimanifestasikan oleh murid-murid Yesus yang pertama dulu di Yerusalem dan selanjutnya dalam seluruh sejarah kekristenan.
Kita sendiri bagaimana? Apakah orang lain masih bisa melihat ciri kekristenan kita dari cara hidup kita atau dari simbol-simbol yang kita gunakan?
Suatu hari Minggu seorang imam baru saja menyelesaikan upacara pernikahan beberapa pasangan. Di akhir misa, dia membagikan salib kayu kecil kepada setiap pasangan yang sudah menikah. Dia berkata,
“Tempatkan salib ini di ruangan dimana Anda paling sering bertengkar atau berkelahi dan Anda akan diingatkan akan perintah baru Yesus, dan Anda akan berhenti berdebat.” Seorang pengantin wanita tiba-tiba angkat tangan dan berkata; “Sebaiknya Anda memberi saya lima salib.”
(Setetes Embun, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Novena “Maria Bunda-Nya Yang Selalu Menolong” (MBSM), Kalembu Ngga Bongga, Weetebula Sumba tanpa Wa).