Setetes Embun: Merendahkan Diri-Humility
Orang yang mempunyai kerendahan hati akan merasa memiliki kewajiban untuk berbagi dengan sesamanya, bahkan menjadi bagian dari mereka.
Penulis: P. Kimy Ndelo, CSsR
JERNIH-“Barangsiapa meninggikan diri, dia akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri, dia akan ditinggikan” (Luk 14,11)
“Merendahkan diri”: istilah bahasa Inggrisnya adalah “HUMILITY”. Humility sendiri datang dari akar kata bahasa Latin yakni “HUMUS”. Kata ini sering diterjemahkan sebagai “tanah subur”.
Jika dikaitkan dengan ungkapan “merendahkan diri”, maka bisa dipahami sebagai upaya untuk berada atau memposisikan diri seperti tanah yang selalu ada di bawah, atau bagian paling rendah.
Cara ini bisa juga berarti memahami realitas kita apa adanya, yang sesungguhnya berasal dari tanah dan akan kembali kepada tanah: “sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu” (Kej 3,19).
James Kinn mengatakan “humility equals realism”. Ini berarti bahwa kerendahan hati merupakan cara mengukur diri kita dengan kenyataan. Kenyataan macam apa? Kenyataan dalam kaitannya dengan Allah dan sesama.
Dengan Allah kita percaya dan yakin bahwa segala sesuatu yang kita capai dan kita miliki adalah karunia cuma-cuma dari Dia. Tidak perlu membanggakan diri apalagi sombong dengan segala pencapaian sebagai pribadi.
Kerendahan hati adalah suatu upaya untuk melihat diri kita sebagaimana Allah melihat kita. Kita menerima setiap talenta yang diberikan Allah dan mengembangkannya sedemikian rupa, sambil mencari tahu apa maksud Allah dengan semua pemberian ini.
Kerendahan hati juga mempunyai dimensi sosial. Ini berarti mengakui dan menerima kenyataan bahwa kita tak mungkin terlepas dari pengaruh orang lain. Di balik semua kekayaan dan kesuksesan kita, ada peran orang lain, entah terlihat atau tidak.
Karena itu orang yang mempunyai kerendahan hati akan merasa memiliki kewajiban untuk berbagi dengan sesamanya, bahkan menjadi bagian dari mereka.
Yesus menekankan tentang “living in” atau hidup solider, serta berbagi dengan mereka yang miskin dan terlantar. Hanya dengan cara itu kita sungguh menyadari diri kita, dan bersyukur atas semua karunia Allah kepada kita.
Salah satu jenis kerendahan hati adalah “self-efacement” – kebiasaan melakukan perbuatan baik, atau memang hanya melakukan pekerjaan sehari-hari, secara diam-diam dan tanpa mengharapkan ucapan terimakasih.
Contohnya demikian: Adalah seorang ibu guru, yang dalam persiapan untuk Hari Thanksgiving meminta siswa kelas satu di kelasnya untuk menggambar sesuatu yang mereka syukuri. Dia memikirkan betapa sedikitnya yang dimiliki anak-anak dari lingkungan mereka yang miskin ini. Dia membayangkan bahwa kebanyakan dari mereka akan menggambar kalkun atau meja makanan.
Tetapi guru itu terkejut dengan gambar yang diserahkan Douglas kecil – sebuah tangan yang digambar dengan cara anak-anak. Guru menunjukkannya ke kelas untuk memutuskan tangan siapa itu. “Saya pikir itu pasti tangan Tuhan yang membawakan kita makanan,” kata seorang anak. “Seorang petani,” kata yang lain, “karena dia memelihara kalkun.”
Ketika yang lain sedang bekerja, guru membungkuk di atas meja Douglas dan bertanya tangan siapa itu. “Ini adalah tanganmu, bu guru,” gumamnya.
Baru pada saat itulah dia ingat bahwa sering kali pada waktu istirahat dia menggandeng tangan Douglas, seorang anak lusuh yang malang. Dia sering melakukan itu dengan anak-anak; itu jelas sangat berarti bagi Douglas.
Untuk dirinya sendiri, dia bersyukur atas kesempatan, dalam cara kecil apa pun, untuk memberi tanpa pamrih kepada orang lain. Dan itulah KERENDAHAN HATI yang bisa terjadi setiap hari.
(SETETES EMBUN by P. Kimy Ndelo, CSsR; ditulis di Biara Novena “Maria Bunda-Nya Yang Selalu Menolong (MBSM), Kalembu Nga’a Bongga (KNB) Weetebula, Sumba tanpa Wa)