Spiritus

Setetes Embun: Sakrilegi

Yesus marah karena Bait Allah dijadikan tempat berdagang. Tapi bukan perdagangan yang menjadi soal utama melainkan penipuan yang terjadi di sekitar Bait Allah.  Yesus marah karena sakrilegi di tempat kudus.

Penulis: P. Kimy Ndelo

JERNIH-Seorang pastor sedang berjalan sendirian malam hari pulang dari memberikan sakramen minyak suci kepada umat yang sakit. Tiba-tiba di di sudut yang gelap dia ditarik dan seorang menodongkan pistol di kepalanya. “Uang atau nyawamu”, gertak perampok itu. Dalam kagetnya pastor ini membuka jakenya untuk mengambil dompet di saku baju. Seketika terlihat “white collar” yang dipakai pastor di leher bajunya. “Oh anda pastor? Maaf, silahkan jalan terus”.

Pastor itu mulai jatuh hati dengan perampok itu lalu mau mengajaknya ngobrol sambil menawarkan rokok. Perampok itu menjawab: “Maaf pastor, saya tidak merokok di masa pra paskah”. Perampok pun mengenal puasa.

**

Yesus marah kepada orang-orang di Bait Allah (Yoh 2,13-35). Yesus marah karena Bait Allah dijadikan tempat berdagang. Tapi bukan perdagangan yang menjadi soal utama melainkan penipuan yang terjadi di sekitar Bait Allah.  Yesus marah karena sakrilegi di tempat kudus.

Uang yang dibawa oleh para peziarah adalah uang romawi dan haram dipakai di Bait Allah untuk memberi persembahan atau membeli binatang korban. Karena itu mereka harus menukarnya dengan uang shekel. Nilai tukar uang dimainkan sesuka hati oleh para penukar uang.

Binatang persembahan yang dibawa oleh orang-orang miskin sering ditolak karena dianggap tidak layak sehingga mereka harus membeli binatang di tempat itu dengan harga sampai 20 kali lipat harga normal. Dalam hal ini terjadi kolusi antara pemimpin-pemimpin Bait Allah dengan berbagi hasil penipuan mereka.

Yesus melihat ketidak-adilan atas nama agama atau sejenis abuse of power oleh para pemimpin agama. Dan korbannya adalah orang-orang kecil yang tulus hendak beribadah. Karena itu Yesus marah dan mengusir para pedagang dari lingkungan Bait Allah. “Ambil semuanya ini dari sini. Jangan kamu menjadikan rumah BapaKu sebagai tempat berjualan”. (ay 16).

Kemarahan Yesus nampaknya bertujuan untuk membersihkan Bait Allah. Tapi sebetulnya lebih dari itu. Dia ingin menunjukkan bahwa “rumah BapaKu” bukan lagi gedung atau bangunan dari batu dan kayu tapi sebagai Pribadi, yakni diri-Nya sendiri. Karena itu dia menantang mereka untuk merombaknya dan Dia akan membangunkannya dalam tiga hari.

Kemarahan Yesus mengingatkan setiap orang beriman agar tidak beriman secara transaksional: saya beriman atau melakukan tindakan iman dengan prinsip untung-rugi. Semangat pelayanan dalam gereja tidak boleh berciri bisnis dimana ada yang membayar dan ada yang dibayar.

Iman harus dilandasi “cinta untuk rumah-Mu”. Artinya iman karena mencintai seperti cinta timbal balik antara anak dan bapak. Cinta yang tulus tidak mengharapkan apa-apa karena mencintai saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri.

Itulah yang membedakan orang yang setia dengan iman walaupun mengalami banyak kekecewaan bahkan penderitaan dengan orang yang mudah berganti haluan karena tawaran duniawi yang memberikan kenikmatan. Tapi justru inilah bagian yang paling sulit yang tidak mudah dilewati orang beriman.

Seorang ahli Teologi Karl Rahner berkata: “Penyebab pertama ateisme adalah orang-orang Kristen sendiri. Mereka yang mewartakan Allah dengan mulutnya tapi menyangkal Dia dengan cara hidupnya, adalah sesuatu yang menurut orang-orang tak beriman tidak bisa dipercaya”.

(SETETES EMBUN by P. Kimy Ndelo; ditulis di Biara Redemptoris, Bangalore India).

Back to top button