Setetes Embun: Vayikra
Kesucian dan kemurnian tidak selalu diperoleh dalam dunia steril, menghindari apa yang kotor, jahat atau najis. Kesucian dan kemurnian diperoleh dengan sebuah tindakan kasih terutama bagi mereka yang ditelantarkan, dihindari dan menderita macam-macam penyakit dan kesulitan.
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
JERNIH-Seorang pastor bekerja di sebuah paroki yang banyak orang kustanya. Dia selalu ketakutan jangan sampai kena penyakit kusta. Ciri penyakit kusta yang selalu diingatnya adalah mati rasa pada kaki.
Suatu malam diundang sebuah keluarga muda untuk makan malam. Sambil makan pun dia tetap terpikir penyakit kusta. Setelah makan dan minum wine agak banyak, tiba-tiba dia berkata:
“Maaf kupikir aku mulai kena penyakit kusta”. Semua kaget. Ibu muda itu bertanya, “Bagaimana pastor tahu sudah kena penyakit kusta”. Pastor jawab dengan wajah ketakutan: “Ketika aku pijit kakiku di bawah meja, tak terasa apa-apa. Kakiku mulai mati rasa. Itu tanda penyakit kusta”. Ibu muda itu tersenyum: “Pastor salah pijit, itu kakiku yang dipijit”.
Bacaan pertama dalam minggu ini berasal dari Kitab Imamat. Nama kitab Imamat adalah Vayikra, artinya “Allah Memanggil.” Seperti biasanya judul atau nama kitab suci dalam bahasa Ibrani diambil dari kata pertama dalam kitab tersebut. Contoh lainnya Kitab Kejadian dengan nama “Bereshit” yang artinya “Pada awal mula”.
Panggilan kepada Musa jelas, yakni untuk kesucian dan kemurnian. Salahsatu cara menyucikan diri atau menjaga kesucian adalah dengan menghindari mereka yang najis atau kotor, khususnya mereka yang menderita penyakit lepra atau kusta.
Yang memutuskan apakah seorang menderita penyakit kusta adalah Imam Harun atau keturunannya yang juga Imam. Jika dipastikan kusta maka harus dinyatakan najis. Orang tidak boleh dekat apalagi bersentuhan dengan dia. Jika hanya kudis atau panu, dia perlu dikarantina tujuh hari. Setelah tujuh hari kalau belum sembuh maka dikarantina lagi selama tujuh hari.
Tidak ada pengobatan untuk mereka yang sakit seperti ini. Mereka disingkirkan dan berharap sembuh sendiri jika sudah diampuni oleh Allah karena penyakit macam ini sebagai bentuk hukuman Allah atas dosa mereka.
Apa yang dibuat Yesus dalam bacaan Injil hari ini merupakan sebuah lompatan besar. Kesucian versi Yesus diperoleh bukan dengan menghindari orang kusta tetapi dengan mendatangi, menyentuh dan menyembuhkan mereka.
“Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu, dan berkata kepadanya, “Aku mau, jadilah engkau tahir” (Mrk 1,41).
Tiga tindakan Yesus yang penuh makna. “Mengulurkan tangan” sering dianggap sebagai murah hati atau dermawan. Itu merupakan gambaran orang yang suka menolong orang lain. Ini memang baik tapi bagi Yesus hal ini tidak cukup. Mengapa?
Orang bisa menolong tanpa melihat atau mengenal apalagi menyentuh orang yang ditolong. Sumbangan ‘anonim’ adalah contohnya. Yesus ingin lebih dari itu. Dia “menyentuh” orang kusta itu.
Sentuhan selalu mempunyai nilai kasih sekaligus penghargaan. Menyentuh berarti membangun hubungan batin atau hubungan emosional antara dua orang. Menyentuh dalam tindakan menolong berarti mengatakan: “engkau saudaraku, engkau berarti bagiku”.
Ekspresi ketiga Yesus adalah dengan berkata, “Aku mau, jadilah engkau tahir”. Ungkapan ini adalah jawaban atas permohonan orang kusta ini. Menjawab permohonannya dengan kata-kata yang jelas dan tepat merupakan bentuk ketulusan dan keikhlasan. Perbuatan Yesus menyembuhkan bukan sekedar kemurahan hati tetapi sebagai bentuk penghargaan atas martabat orang ini. Yesus menyapa orang kusta ini dan meletakkannya pada status sebagai pribadi lagi, bukan sekedar orang sakit.
Kesucian dan kemurnian tidak selalu diperoleh dalam dunia steril, menghindari apa yang kotor, jahat atau najis. Kesucian dan kemurnian diperoleh dengan sebuah tindakan kasih terutama bagi mereka yang ditelantarkan, dihindari dan menderita macam-macam penyakit dan kesulitan.
Tindakan kasih ini menjadi sempurna jika didasari ketulusan, keikhlasan, serta dalam semangat menghargai pribadi yang lain.
(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Weetebula, Sumba tanpa Wa)