Puisi

5 PUISI FATIMA A.P.R

MBAK KUNTI JOGET VELOCITY

Kadang aku mikir
kalau kuntilanak sekarang
pasti udah pensiun dari ngisengin
orang di kebon pisang
Mungkin sekarang dia
pake ring light / crop top /
pake filter kuping kucing
buat joget “Velocity”
tangan ke depan / pundak goyang
kamera shaky tapi
vibes-nya dapet

Dulu serem
sekarang malah bisa FYP
followers-nya satu juta, verified,
collab sama dukun-dari-Cimahi
yang bisa manggil tuyul
dengan mic condenser
Aku pernah liat videonya
kuntilanak goyang
sambil nyengir
giginya tetep serem
tapi sound-nya remix
lagu Korea
Aku nggak tahu
apa aku takut
atau pengen jadi MC-nya
di collab live bareng pocong

Kadang aku
pengen nanya
apa dia masih ngikutin
orang pulang tengah malam
atau sekarang cukup scroll komen
terus baper pas baca “Ih fake. Kuntilanak
asli nggak joget.”

Tapi ya mau gimana,
zaman berubah
hantu pun harus adaptasi
Ngagetin orang mah udah basi
yang trending sekarang lighting
aesthetic & gerakan bahu sinkron
Dan jujur aja
aku udah hampir
berdamai sama dunia
yang bisa bikin hantu pun malu
kalo nggak punya akun TikTok.

2025


CATATAN REDAKSIONAL


Horor, Humor, dan Hashtag: Dunia Fatima yang Gen Z Banget

oleh IRZI Risfandi

Siapa sangka, sosok kuntilanak yang dulu mewakili horor lokal kini tampil centil dan gen Z banget di puisi karya Fatima Al Husna P.R. berjudul “Mbak Kunti Joget Velocity”. Puisi ini bukan sekadar lucu-lucuan belaka, tapi juga sindiran ringan tentang bagaimana zaman dan citra publik berubah, bahkan untuk makhluk halus. Dengan gaya bahasa remaja yang lincah dan santai, Fatima menampilkan kuntilanak bukan sebagai makhluk gaib pengganggu malam, tapi sebagai seleb TikTok yang sibuk joget Velocity, lengkap dengan ring light dan filter kuping kucing. Coba bayangkan: hantu legendaris di kebun pisang, sekarang jadi content creator dengan kamera shaky dan vibes aesthetic—ini adalah puisi horor-pop yang bikin kita ngakak sekaligus mikir.


Fatima menulis puisi ini dengan gaya yang sangat kekinian: liris, serampangan dengan sengaja, penuh potongan budaya digital. Formatnya longgar, seolah curhatan ringan, tapi sarat dengan observasi tajam tentang pergeseran budaya horor ke budaya influencer. Di bait kedua, misalnya, ia menyebut kuntilanak yang “verified” dan collab sama “dukun-dari-Cimahi”—baris-baris ini bukan cuma lucu, tapi juga memperlihatkan bagaimana media sosial mengubah status dan keaslian jadi soal branding dan engagement. Dari “gigi serem” ke remix lagu Korea, dari “ngikutin orang malam-malam” ke “scroll komen dan baper”, puisi ini menyulap horor menjadi satire lembut atas dunia yang kian absurd. Dan Fatima berhasil melakukannya dengan suara yang percaya diri tapi tetap polos khas anak remaja.

Fatima Al Husna P.R sendiri lahir di Rawamangun tahun 2009—yes, Gen Z beneran. Baru saja lulus dari SMPN 219 Jakarta, ia dikenal di sekolah sebagai gadis yang suka menggambar dan menulis. Ia sudah menunjukkan bakat sejak kecil, bahkan pernah menjuarai lomba menulis cerpen dan menggambar di classmeeting sekolahnya. Puisi ini bisa dibilang semacam debut publik yang menjanjikan: gayanya sudah terasa punya karakter, tidak takut bermain dengan tema besar lewat pendekatan ringan, dan tidak sibuk mengejar gaya “puitis” yang kaku. Ia tahu persis bagaimana menyentuh pembaca seumurannya tanpa kehilangan ketajaman pandangan.


Yang menarik dari puisi ini bukan hanya ide “kuntilanak rebranding”, tapi juga semacam kritik diam-diam pada dunia digital kita. Di baris-baris terakhir, Fatima menulis dengan jujur: “aku udah hampir berdamai sama dunia yang bisa bikin hantu pun malu kalo nggak punya akun TikTok.” Ini punchline yang satir sekaligus menyedihkan, karena menunjukkan betapa kuatnya tekanan untuk eksis dan terlihat, bahkan untuk entitas gaib. Ada ironi lembut di sana: kalau kuntilanak pun ikut joget biar FYP, apa yang tersisa dari misteri, dari ketakutan, dari ruang gelap yang dulu sunyi? Apakah kita benar-benar masih bisa takut, atau justru semua sudah jadi konten dan gimmick?


Lewat “Mbak Kunti Joget Velocity”, Fatima mengajak kita menertawakan budaya visual yang serba viral, sekaligus merenungi bagaimana sesuatu yang dulu ditakuti bisa kehilangan taringnya di era layar dan likes. Ini puisi yang renyah, centil, tapi tetap cerdas. Dengan gaya yang santai tapi muatan makna yang berlapis, Fatima menunjukkan bahwa anak muda juga bisa bicara tentang perubahan sosial—dengan cara mereka sendiri. Dan dalam dunia yang bisa membuat hantu pun insecure karena nggak trending, puisi ini adalah semacam pengingat kecil: kadang, satu bait cekikikan bisa lebih jujur daripada seluruh thread horor di Twitter.

2025


MUNGKIN LIBURAN TERBAIKKU CUMA SAMPAI MATRAMAN

Bulan Juni
beberapa hari setelah
pengumuman kelulusan SMP
aku dan adikku diantar Ibu
ke rumah Jiddah di Matraman
Bukan hotel, bukan villa
tapi rumah tua dengan
kipas angin gantung
dan lantai tegel yang dinginnya
selalu bikin ngantuk habis Zuhur

Kami bawa baju dua stel
dan satu kantong kresek
isinya cemilan
karena Ibu bilang,
liburan itu bukan
soal jauh—yang penting
niatnya santai
Apa yang lebih menyenangkan
daripada sarapan
lontong sayur depan gang
duduk di bangku
plastik warna pudar
sambil dengerin Jiddah
cerita zaman Orde Baru?

Apa yang lebih mewah
daripada jalan kaki sore
ke Gramedia Matraman
tangan lengket habis makan es krim,
lalu dikasih bebas milih dua buku?
Di rak fiksi remaja
aku baca blurbs sambil deg-degan
karena ada satu judul
yang katanya bisa bikin
nangis 3 bab pertama

Kami pulang jalan kaki,
melewati jalur sepeda,
trotoar penuh daun kering,
dan sempat foto berdua
di depan mural bertuliskan
“Jakarta Ramah Bacaan.”
Malamnya, Jiddah
masak ayam kecap
dan kami makan lesehan,
pakai piring seng, sambil
denger azan dari musholla seberang
—aku rasa, itu suara paling damai di kota ini

Kami tidur bertiga
di kamar dengan
kelambu warna gading
TV dinyalain tapi nggak ditonton
karena kami malah cerita
sampai ketiduran
Tidak ada unggahan story
tidak ada hashtag #healing

atau #familytime

tapi ada kelegaan
yang mengendap
seperti teh tubruk
di gelas kaca

Dan meski aku nggak
ke luar kota
nggak naik pesawat,
aku tahu, tubuhku pulang
dalam keadaan utuh
hatiku juga.

2025


SURAT CINTA AYAH KEPADA IBU

“Romantis” bukan bahasa cintaku.
Bahasa ibuku adalah emoji 🙄,
makan mi ayam bertiga
sambil nonton sinetron;
lelucon receh yang diulang
sampai basi.

Tapi tadi siang, pas lagi nyari flashdisk
di laci bawah lemari ayah,
aku nemu map plastik bening
isinya puisi-puisi cinta
yang ditulis pakai pulpen biru.

Untuk Ibu.
Waktu mereka masih pacaran,
tahun 2005, kalau tak salah
dari tanggal yang ditulis.

Awalnya aku baca sambil ketawa.
Baris pertama:
“Mata kamu seperti langit
sebelum hujan: basah
dan menenangkan.”

Astaga, Ayah… serius?

Lalu baris lain:
“Rambutmu wangi seperti
pagi di Salemba.”

Salemba? Wangi?

Aku bacakan ke adikku sambil ngakak.
Dia ikut nyengir sampai geli.
Kami kira itu hanya nostalgia norak.
Tapi makin lama, makin terasa hangatnya.

Di antara baris-baris konyol,
ada kalimat yang diam-diam menempel di hati:
“Kalau besok kita miskin, aku
tetap mau menua bersamamu.”

Aku berhenti ketawa.
Karena aku tahu, itu bukan gombal.
Itu ayahku yang sekarang
rela naik motor tuanya
jemput Ibu dari pasar,
meski hujan,
meski lututnya sudah sering nyeri.

Aku tutup map itu pelan-pelan.
Lalu menyelipkannya kembali,
di antara baju-baju batik dan dasi PGRI.

Dan sejak saat itu,
aku belajar bahwa cinta itu bukan
hanya soal peluk dan drama besar.
Kadang, cinta muncul
dalam tulisan yang alay,
yang dibaca ulang dengan cengengesan,
tapi ditulis dengan sungguh-sungguh.

Jadi hari ini aku tambahkan
satu bentuk cinta ke dalam daftarku:
puisi lusuh yang ditulis ayah,
dan masih disimpan Ibu
selama dua dekade.

2025


PACARAN MAH NANTI AJA DEH

Maaf, aku selalu bingung
waktu teman bilang
“Cinta itu penting banget di SMA”
Seru, katanya
Bikin semangat sekolah, katanya
Kataku sih… kok malah bikin capek?

Karena tiap kali aku bilang
suka sama seseorang
di pojokan kelas atau
waktu istirahat di koperasi
selalu ada suara Ayah di kepala:
“Boleh suka, tapi jangan
sampai bloon.”

dan suara Ibu:
“Nanti aja pacarannya, kalau
sudah jadi guru PNS.”

Dan aku percaya mereka.
Karena Ibu juga baru kenal
Ayah pas udah lulus sarjana,
dan sekarang tiap malam
mereka masih rebutan remote TV
tapi tetap masak mi instan
berdua kalau hujan deras.

Teman-teman bilang aku sok kuat,
sok mandiri, sok sibuk belajar.
Padahal aku juga pengen, kok,
dapat chat
“udah makan belum?”
jam 7 pagi.

Tapi ya gimana
aku udah janji dalam hati:
kalau cinta itu serius,
maka harus datang
bareng niat,
bukan bareng
“kapan jalan, nih?”

Jadi hari ini aku jawab aja:
Aku gak jomblo,
aku nabung niat.
Untuk nanti—
buat seseorang yang ngetik
biodata aku di buku nikah,
bukan di kolom chat.

2025


DENGAN SEDERHANA

Tadi sore, adikku yang masih kelas tiga SD
membaca puisi Sapardi dari
buku kumpulan sajak di rak ayah.
Suaranya masih cadel,
tapi ia bersikeras membacanya
dengan intonasi seperti pembaca berita.

“Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana,”
katanya,
lalu diam sejenak,
mungkin karena tak tahu arti “sederhana”
atau karena heran mengapa
orang ingin mencintai
tapi tanpa ribut-ribut.

Aku duduk di pojokan
ruang tamu, pura-pura main ponsel,
tapi kalimat itu—
itu yang sederhana tapi mengalir
seperti air wudhu di subuh pertama—
masuk ke dada tanpa izin.

Dan aku,
yang selama ini berpikir
bahwa cinta harus viral,
harus ada bunga, ada jalan-jalan,
harus disimpan dalam galeri
dengan caption puitis buatan sendiri—
mendadak malu.

Karena baris itu
yang lahir jauh sebelum aku lahir,
yang dibacakan oleh anak kecil sambil
sesekali menggaruk lututnya,
bisa membuatku diam,
lebih lama dari biasanya.

Puisi itu tidak pakai emoji.
Tidak menyebut nama.
Tidak ada kata “sayang” atau
“rindu” atau “cewek satu-satunya.”
Tapi rasanya utuh, seperti mangga
yang jatuh tepat di tangan.

Adikku lanjut membaca:
“Dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan awan kepada hujan…”

dan di situ aku benar-benar tunduk,
bukan pada cinta,
tapi pada cara kata-kata bisa
mewakili hal yang bahkan belum
pernah benar-benar kurasakan.

Mungkin aku belum pernah
benar-benar jatuh cinta.
Mungkin aku baru sering
jatuh ke ekspektasi.
Tapi Sapardi, dan adikku
yang belum ganti
seragam putihnya,
mengingatkanku
bahwa cinta bukan
perkara besar—
kadang hanya satu baris
yang dibisikkan pelan
oleh seseorang yang
bahkan belum
bisa mengeja “cinta”
dengan benar.

2025


BIODATA :


Fatima A.P.R lahir di Rawamangun, tahun 2009. Sejak kecil gemar menggambar dan menulis, kini ia tengah fokus mengasah kemampuannya dalam menulis cerpen dan puisi. Ia baru saja lulus dari SMPN 219 Jakarta, dan pernah meraih juara pertama dalam lomba menulis cerpen dan menggambar pada kegiatan classmeeting di sekolahnya.

Back to top button