CrispyVeritas

Cicadas, Kampung Padat di Bandung yang Ternyata ‘Paling Pancasilais’

Nama Cicadas tiba-tiba muncul sebagai perbincangan hangat di media sosial, terutama setelah unggahan seorang pegiat digital menunjukkan deretan gang di kawasan itu yang dinamai dengan simbol-simbol dari lima sila Pancasila: Gang Banteng, Rantai, Padi Kapas, Beringin, Perisai, Bintang, Garuda, hingga Gang Proklamasi.

JERNIH– Siapa sangka, di tengah rapatnya hunian dan sempitnya gang-gang di Kelurahan Cicadas, Kecamatan Cibeunying Kidul, Kota Bandung, justru berdenyut kehidupan ideologi bangsa. Kawasan seluas 55 hektare ini bukan hanya tercatat sebagai salah satu daerah dengan kepadatan tertinggi di dunia—lebih dari 13.000 jiwa per kilometer persegi—tetapi juga menyimpan jejak panjang internalisasi nilai-nilai Pancasila secara nyata.

Fakta ini kembali mencuat ke permukaan pada Juni 2025, saat momentum peringatan Hari Lahir Pancasila menyorot daerah-daerah yang dianggap berhasil menghidupkan ideologi bangsa melalui praktik sosial dan kebijakan publik. Nama Cicadas tiba-tiba muncul sebagai perbincangan hangat di media sosial, terutama setelah unggahan seorang pegiat digital menunjukkan deretan gang di kawasan itu yang dinamai dengan simbol-simbol dari lima sila Pancasila: Gang Banteng, Rantai, Padi Kapas, Beringin, Perisai, Bintang, Garuda, hingga Gang Proklamasi.

Lurah Cicadas, Tjakra Irawan, menyebut fenomena ini bukan sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Dia mengatakan penamaan gang-gang tersebut sudah berlangsung sejak akhir 1960-an hingga awal 1970-an, sebagai bentuk peneguhan nilai ideologi Pancasila dan perlawanan terhadap pengaruh Partai Komunis Indonesia yang sempat mendominasi di wilayah itu.

“Para sesepuh bersama tokoh agama dan unsur militer, waktu itu berembuk. Salah satu yang aktif adalah Sugeng Sumarsono, pensiunan Kavaleri yang menjadi ketua Rukun Kampung. Dari sana muncul inisiatif mengganti nama-nama gang dengan simbol-simbol Pancasila,” kata Tjakra.

Menurutnya, langkah itu tidak hanya menghapus pengaruh ideologi lama, tetapi juga memberikan arah baru bagi masyarakat Cicadas untuk tumbuh dengan semangat nasionalisme. Ia menambahkan bahwa penamaan gang tersebut diharapkan mampu menjadi refleksi nilai dalam kehidupan sehari-hari.

Kini, Cicadas justru dikenal sebagai kawasan yang kreatif dan inovatif. Salah satu contohnya adalah “Gang Sarebu Punten”, gang sempit yang disulap menjadi kampung lukisan tiga dimensi. Jalanan dihias dengan gambar ular tangga, jebakan Batman, hingga permainan tradisional lain yang disambut hangat warga dan viral di media sosial.

“Kami punya semangat Rembug Warga, jadi semua inovasi lahir dari aspirasi masyarakat sendiri,” ujar Tjakra. Dia juga mengungkapkan, program seperti “Desa Hantu” di Gang Benteng yang sempat viral dengan ribuan pengunjung adalah bukti partisipasi aktif masyarakat, terutama anak-anak muda.

“Penonton membludak kamana-mana! Ini bukti bahwa Pancasila tidak hanya bisa dihafalkan, tapi bisa dihidupkan dalam kegiatan masyarakat,” ujarnya penuh semangat.

Tak hanya soal seni dan kreativitas, Cicadas juga mempraktikkan nilai gotong royong dalam bentuk program-program sosial. Untuk pencegahan stunting, warga diedukasi soal kebersihan lingkungan. Mereka juga menjalankan program anti-rokok dalam rumah dengan pendekatan yang tak memaksa, yakni menyediakan tempat khusus seperti JOKO (Pojok Roko) dan ZORO (Zona Roko).

Tong ngaroko di imah—jangan merokok di rumah. Tapi kami sediakan spot khusus biar tetap manusiawi,” kata Tjakra.

Pemerintah Kota Bandung sendiri, melalui Wali Kota Muhammad Farhan, menegaskan bahwa pengamalan Pancasila tak boleh hanya berhenti di hafalan dan simbolisme. Ia mengusung pendekatan Living Ideology yang menekankan Pancasila sebagai “ruh spiritual dan moral” bangsa. Farhan menyebut, birokrasi yang legalistik tanpa moralitas hanya akan menciptakan ketimpangan. Ia mendorong penerapan prinsip keadilan berbasis kepatutan dan keseimbangan sosial.

“Pancasila bukan dekorasi dalam upacara. Ia harus menjadi laku, menjadi denyut nadi masyarakat,” kata Farhan, saat memberikan sambutan dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025 lalu.

Kota Bandung, bersama Magelang dan Kuningan, dinilai oleh sejumlah lembaga pengamat sebagai kota yang berhasil merepresentasikan nilai-nilai Pancasila secara dinamis. Selain karena inovasi warganya, Bandung memiliki warisan sejarah seperti Penjara Banceuy—tempat Soekarno merumuskan Pancasila—dan Konferensi Asia Afrika 1955, yang memperkuat posisi Bandung dalam jejak ideologis bangsa.

Di Cicadas, segala yang rumit dari kehidupan urban—kemiskinan, kepadatan, gang sempit, dan stigma lama sebagai “Negara Beling”—berhasil diretas melalui semangat kebersamaan, kreativitas, dan penghargaan terhadap nilai dasar bangsa.

“Cicadas bukan hanya padat, tapi juga Pancasilais,” ujar Tjakra.

Sebagaimana pernah diungkapkan Imam Ali bin Abi Thalib: “Kebenaran tidak diukur dari banyaknya pengikut, tetapi dari nilai yang ia perjuangkan.” Maka di gang-gang sempit Cicadas yang dipenuhi coretan permainan anak dan nama-nama sakral sila negara, Pancasila mungkin sedang hidup dan bernapas—jauh lebih nyata dari pidato seremonial di mimbar kekuasaan. [anto Ramadhan]

Back to top button