5 PUISI TOTO ST RADIK

Biji yang Hilang
Biji yang Tumbuh
: Wiji Thukul
sorogenen surakarta
1963
widji widodo
lahir dari rahim becak
dan
ayam bumbu
yang berputar
putar
mengatasi dunia
berputar
putar
di antara perut kosong
dan perih nasib
aku ingin menari saja,
katamu
menarilah
menari
biji yang tumbuh
di jagat batu
thukul wiji
wiji thukul
puisi!
puisi!
puisi!
teriakmu
dijepit mesin pabrik
kerja!
kerja!
kerja!
jiwa yang bebas
menari bersama puisi
mencari tanah lapang
hidup yang sesak
rumput ilalang berontak
kedungombo
sritex
aku berkelana di udara,
ujarmu
dengan satu peringatan
: lawan!
jalan panjang berlari
berlari
di antara derap sepatu lars
dan
rumah yang ditinggalkan
26 tahun lampau
mei 1998
dia hilang,
kisah sipon
mengenang suaminya
biji yang tumbuh
di jagat batu
biji yang menjadi
roh pohon hayat
juga tekateki
di dalam sejarah
dia belum pulang
dia belum pulang
…
2024
*
CATATAN REDAKTURIAL
Menari di Antara Mesin, Ayam Bumbu, dan Sejarah yang Tak Pulang
Oleh Irzi Risfandi
Kalau ada puisi yang bisa bikin kita ikut joget di antara luka sejarah dan bau minyak goreng ayam bumbu—ya ini dia! Toto ST Radik tahu betul cara mengolah biografi menjadi balada, protes menjadi pertunjukan, dan kehilangan menjadi mantra yang tak henti-henti diteriakkan. “Biji yang Hilang, Biji yang Tumbuh” bukan sekadar puisi tentang Wiji Thukul—ini seperti misa puisi, ziarah liris, atau bahkan pentas dadakan di tengah kawasan industri, tempat mesin-mesin meraung dan penyair lenyap di antara suara lars. Tapi hei, ini bukan obituari. Ini pesta jiwa bagi biji yang tak bisa dipendam tanah.
Dibuka dengan lokasi dan tanggal lahir, puisi ini seperti akta kelahiran yang ditulis dengan tangan gemetar oleh sejarah alternatif. “Lahir dari rahim becak dan ayam bumbu”—apa lagi ini? Satire? Komedi? Atau metafora brutal tentang kelas pekerja yang jadi titik pangkal kelahiran suara lantang? Semuanya benar. Toto, yang lahir di Serang pada 1965 dan pernah jadi abdi negara sebelum akhirnya pensiun dan menobatkan diri sebagai “Penyair Nan Sipil,” paham betul bahwa puisi harus menyentuh tanah sebelum bisa menyentuh langit. Ia menyusun puisi ini dengan irama patah-patah, seperti nafas orang yang terlalu lama berlari—atau terlalu lama menunggu suami yang tak kunjung pulang.
Dan di sinilah kekuatan puisinya: permainan visual dan ritme dibikin semrawut seperti hidup buruh pabrik itu sendiri. “Kerja! kerja! kerja!” bukan sekadar slogan industri; ia berubah menjadi todongan, cambukan, bahkan kutukan. Namun di antara itu semua, tetap saja ada satu kata yang bergema keras: menari. Wiji Thukul bukan sekadar penyair yang menulis puisi, ia menari dengan puisi—di antara batu, sepatu lars, dan peluh rakyat. Di tangan Toto, tarian itu dilanjutkan. Bahkan mungkin, dipentaskan ulang dengan koreografi kemarahan yang lebih rapi tapi tetap liar.
Toto tidak menutup puisinya dengan kesimpulan. Ia menutupnya dengan gaung yang sengaja dibuka: “dia belum pulang, dia belum pulang…” Ini bukan klausa, ini lonceng. Sebuah pengingat bahwa tubuh Thukul mungkin hilang, tapi bijinya tumbuh jadi pohon-pohon gaduh di kepala banyak orang. Ia bukan hanya roh pohon hayat, seperti yang disebut Toto, tapi juga gulma sejarah yang tak bisa disemprot diam. Penyair ini tidak menawarkan pelipur lara. Ia justru menolak lupa dengan gaya centil—bermain-main di ladang sejarah sambil membawa pemantik puisi.
Dari seorang mantan PNS yang kini “berkhidmat” sebagai penyair sipil, Biji yang Hilang, Biji yang Tumbuh adalah contoh bagaimana puisi politik tak harus datar, tak harus jadi pamflet. Toto ST Radik membuat elegi yang tak sedih-sedih amat, justru getir dan enerjik. Sebab kalau Wiji Thukul pernah bilang “hanya satu kata: lawan!”, maka Toto mungkin menyelipkan satu tambahan: jangan diam, tapi nari dulu dong!.
2025
*
Tanah Air
: Agam Wispi
aku akan pulang dengan segera
ke tanah air,
katamu
kepada ajal
yang menunggu
di tepi ranjang
pada sebuah rumah jompo
yang suram
di amsterdam
tetapi aku
tak punya tanah air,
katamu lagi
seraya menghitung usia
kesendirian
di pengasingan
kini aku 72
betapa jauh
dari pangkalan susu,
matamu menerawang
segala yang telah lewat
menggenang
menggenang
dalam kenanganmu
sementara ajal mengulurkan tangan
sebentar,
cegatmu
aku ingin menulis sekali lagi
tentang matinya seorang petani
di tanjung morawa,
tapi tangan ajal itu
terus meluncur
waktu melancar
memasuki 1 januari 2003
aku telah komunis
sejak sebelum aku ada,
katamu
tanah airku ide
yang berjalan
dalam pengasingan,
wajahmu yang memucat
menyimpan medan
pematang siantar
jakarta
berlin
hanoi
beijing
nanking
moskwa
leipzig
dan sebuah rumah susun
di amsterdam
aku pernah pulang
pada 1998,
kisahmu
tetapi hanya sekejap
dan dua tahun kemudian
aku bercerai dari istriku
setelah 35 tahun terpisah,
mata ajal itu
mata ajal itu
telah di hadapan
sepasang matamu
memutih
pukul 01.00
dini hari dingin
lengang
yang lengkap
inilah kronologi in memoriam
1953-1994,
bisikmu
sebagai penyair
aku
tidak mau
mati…
2024
*
Aku Sudah Prancis
: Sobron Aidit
tubuhku sudah prancis,
kau berkata
dalam sedu
sedu
yang pejal
setelah serangan mendadak
pada jantungmu
dua hari aku terbaring
bagai buku yang dipenjarakan
rumah sakit seperti jurang
dikepung angin tanjung pandan
dan bayangan
perahuperahu nelayan
di kejauhan
bibirmu
memutih kapas
kapas
yang mengambang
pada ruang ingatan
usiaku 73
tua dan sendiri
aku jadi terkenang chairil
di jakarta
dan ajip di jatiwangi
tetapi di paris
kota terakhirmu
kau menulis indonesia
dengan 25 nama samaran
dari rumah penampungan pengungsi
juga sebuah rumah makan
di rue de vaugirard
18 tahun
aku terjebak di tiongkok
dalam derap revolusi
tiga tahun sebagai guru besar
sepuluh tahun petani
tiga tahun penyiar radio
dan dua tahun kemudian
aku memilih ke paris
menumpang trans siberia
aku tak mau ekstradisi
aku tak melakukan kejahatan
kali ini kau berkata
dalam geram
geram
yang terik
seterik matahari pengasingan
orang terbuang yang dilupakan
aku mencari langit
dan menulis
surat kepada tuhan
tentang cara memasak sop buntut
suaramu
kembali pelan
keheningan menyergap
kami saling diam
tak ada kudengar
detak jantungmu
namun tiga detik kemudian
tepat pukul 09.00
dalam puncak sedu
kau berkata:
aku simon
aku sudah prancis
2024
*
Usu Si Pengelana
: Sitor Situmorang
angin danau
angin danau
santer di kedalaman
sepasang matamu
yang sayu
merindu harian boho
kelak aku
akan jadi pengarang,
gumammu
seraya menutup lembar terakhir
max havellar
langit sibolga seketika
bolong
batavia memenuhi pikiranmu
berputar
putar
seperti puting beliung
yang menyedot dan
menghempaskan dirimu
pada peta perjalanan
singapura
amsterdam
paris
berlompatan
pada surat kertas hijau
mari, dik, tak lama hidup ini,
katamu
mengimbau dari seberang dunia
o, raja usu
si pengelana
pada dahinya ditulisi tapol
dalam dingin dinding
penjara orba
tujuh tahun lamanya
tapi peta membentang
pada tubuhmu
pada uraturat syarafmu
pada kenangan pengembaraanmu
yang enggan padam
melampaui leiden
islamabad
dan
paris
sebelum akhirnya tiba
dan berakhir di apeldoorn
tubuhmu,
o tubuhmu
dalam bilangan
sembilan puluh satu putaran tahun
menjelma jadi
bunga di atas batu
dalam peluk harian boho
yang sepi
angin danau
angin danau
terus santer
di kedalaman sajak
sajakmu
2024
*
Blues Jagat Alit
: Godi Suwarna
god
godi
god
bukan tuhan
bukan tuan
sejatinya konglomerat kere lauk
di wollongong
ribuan kilometer dari cirikip
gor gar
gor gar
menjelma burung hitam
burungnya burung
burung godi
god
godi
god
hari lain bernama ujang
mendongeng
dongeng
jadi raja lear
berkuasa penuh di enonesa
blues! blues! blues!
pekiknya
pekik memekik
memanggil rindu kere lauk
mengguncang jagat alit
kalangkang wayang
jungkir balik
murang maring
gor gar
gor gar
nyiar lumar
keramat galuh
astana gede
dunia gelap gulita
mencari cahaya
o, cahaya
hingga ke gigil subuh
lumar
lumar
lumar
teranglah terang
wahai
sandekala
enyahlah
jin dan siluman
penghuni waktu
enyahlah!
enyahlah!
kehed sia!
2024
*
Toto ST Radik lahir 30 Juni 1965 di desa Singarajan, Serang, Banten. Puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai media massa dan telah terbit dalam sejumlah buku, baik tunggal maupun bersama. Kumpulan puisi terbarunya berjudul Apakah Negara? (Gong Publishing, 2022) dan kumpulan ceritanya Satu Kisah Dua Pencerita (Epigraf, 2025). Pertengahan 2023 pensiun dari Pegawai Negeri Sipil dan berkhidmat sebagai Penyair Nan Sipil. Saat ini (masih) tinggal di Kota Serang dan sedang menyiapkan manuskrip puisi terbaru. ***