SpiritusVeritas

Abudzar al-Ghiffari, Muslim Revolusioner yang Paling Jujur

Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, yang bernama al-Khizra, ia ditegur Abuzar:  “Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan “sraf (pemborosan).” Muawiyah hanya bisa terpesona dan tidak dapat menjawab.

JERNIH– Ekonomi Islam terutama didasarkan pada prinsip-prinsip egaliter.  Tujuannya untuk mempertahankan persamaan antarmanusia melalui distribusi kekayaan secara merata, sehingga menghilangkan perbedaan antara si kaya dan si miskin. Islam telah menghancurkan sampai ke akar-akarnya prinsip yang memungkinkan si kaya semakin kaya dan si miskin kian miskin, yang menjadi ciri negara-negara kapitalis dan imperialis sejak dahulu kala. Islam menghalangi terjadinya eksploitasi si kaya terhadap si miskin.

Islam telah mengembangkan prinsip ekonominya untuk mengurangi berbagai perbedaan tersebut. Melalui zakat, orang kaya dibebani pajak yang tinggi untuk membantu orang yang miskin. Sistem perpajakan ini merupakan salah satu prinsip pokok Islam yang tidak boleh dilanggar setiap Muslimin sejati. Pelarangan pemungutan “bunga uang” dan keharusan membayar zakat setiap tahun merupakan pajak wajib yang dikenakan terhadap pendapatan. Salah satu dari dasar Islam ini merupakan langkah efektif untuk menghindari penumpukan kekayaan. Salah satu ciri seorang mukmin, yang disebutkan al-Ouran ialah distribusi kekayaan seseorang kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan. Nabi menyatakan, jika kaum Muslimin benar-benar membayar zakatnya dengan jujur, akan tiba waktunya ketika tidak terdapat lagi orang miskin penerima zakat.

Pada masa awal perkembangannya, Islam telah melahirkan sejumlah eksponen yang giat memperjuangkan prinsip egaliter. Mereka mengorbankan segala yang mereka miliki demi Allah. Banyak contoh kedermawanan dan kebajikan yang tiada taranya dapat ditemui pada diri para sahabat Nabi. Tapi tokoh paling menonjol dalam pendistribusian kekayaan pribadinya adalah Abudzar al-Ghiffari.

Ia lahir dari keluarga perampok Ghiffar, yang tinggal dekat jalur kafilah Mekkah-Syria. Tadinya ia bernama Jundab, tapi kemudian dikenal sebagai Abudzar, meneruskan kariernya sebagai pemimpin besar perampok yang melakukan teror di negeri-negeri di sekitarnya.

Tapi Jundab pada dasarnya memiliki hati yang baik. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan oleh serangannya kemudian menjadi suatu titik balik dalam perjalanan hidupnya. Ia bukan saja sangat menyesali segala perbuatan jahatnya, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.

Titik balik kehidupan Abuzar ini sangat penting, karena Islam menerima anugerah, salah seorang tokoh revolusioner yang paling jujur.

Bersama ibu dan saudara lelakinya Anis, ia hijrah ke Nejed Atas. Di sini menetap salah seorang paman dari pihak ibunya. Inilah hijrah Abudzar yang pertama dalam mencari kebenaran dan kebajikan. Tapi tempat ini pun dia tidak bisa tinggal lama. Ide-idenya yang revolusioner juga menimbulkar kebencian orang-orang sesuku, yang kemudian mengadukannya kepada sang paman. Kini giliran rumah pamannya yang terpaksa ia tinggalkan mengungsi ke sebuah kampung dekat Mekkah.

Bahkan sebelum masuk agama Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata,”“Saya sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi Besar Islam.”

Saudara lelakinyalah, Anis, yang pulang dari Mekkah membawa kabar datangnya fajar baru: agama Islam. Pada waktu itu ajaran Nabi Muhammad SAW telah mulai mengguncangkan Mekkah dan membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab.

Mendengar hal itu Abudzar, yang telah lama merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasul Allah dan ingin bertemu dengan beliau. Pergi ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi Ka’bah, sebulan lebih lamanya ia mempelajari dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.

Ka’bah waktu itu masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi juga datang ke sana, untuk bersembahyang. Pada akhirnya, seperti yang diinginkannya, Abudzar mendapat kesempatan bertemu dengan Nabi. Di sana dan pada saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.

Mengenyampingkan segala risiko, Abuzar secara terbuka memimpin sembahyang dan berkhotbah tentang agama Islam di Ka’bah. Benar saja, pada suatu hari seorang penyembah berhala suku Quraisy menyerangnya dan untung ia dapat diselamatkan oleh Abbas, paman Nabi. Abbas mengingatkan si penyerang bahwa Abudzar anggota penting suku Ghiffar yang mendiami jalur perdagangan mereka ke Syria. Salah-salah lalu lintas perdagangan mereka bisa terancam. Keterangan itu sementara dapat menenangkan mereka.

Sejak saat itu Abudzar membaktikan dirinya kepada agama Islam dan kepada pendirinya. Ia segera mendapat tempat, bahkan termasuk yang terdekat dan terpercaya di antara para sahabat Nabi, yang sempat menimbulkan iri.

Abudzar ditugaskan Nabi mengajarkan agama Islam di kalangan sukunya sendiri. Dia pulang ke kampung halamannya dan sangat berhasil dalam tugasnya itu. Bukan hanya ibu dan saudara lelakinya Anis, tetapi hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diislamkannya. Dia tercatat sebagai salah seorang penyiar agama Islam yang pertama dan terkemuka.

Nabi sangat menghargainya. Ketika kemudian dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam “Perang Pakaian Compang-Camping”, dia diangkat sebagai Imam dan administrator kota itu. Pada waktu akan meninggal, Nabi memanggil Abudzar dan sambil memeluknya berkata: “Abudzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nantinya.”

Ucapan Nabi ternyata benar, Abudzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.

Abudzar dikenal gigih dalam mempertahankan prinsip egaliter Islam. Kesetiaannya pada dan penafsirannya mengenai “ayat-kanz” (tentang pemusatan kekayaan) menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga. Ayat ini dalam “Surah Taubah” dalam al-Ouran berbunyi:

“Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis: Inilah apa yang telah Engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah Engkau himpun itu”.

Ia menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Dia tidak dapat diajak berdamai berkenaan dengan tumbuhnya kapitalisme di kalangan kaum muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah. Menurut pendapatnya, adalah kewajiban orang Islam sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.

Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abudzar mengutip peristiwa semasa hidup Nabi seperti yang diceritakan berikut ini.

“Pada suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abudzar, terlihat pegunungan Ohad (Uhud), lalu beliau berkata kepada Abudzar: Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah.”

Abudzar hidup menurut cara yang dianggapnya benar dan menjalankan sendiri apa yang diajarkannya. Ia bersikap tanpa kompromi terhadap kapitalisme, terhadap orang yang berkedudukan tinggi sekali pun. Abu Hurairah adalah sahabat Nabi yang namanya masyhur yang diangkat sebagai gubernur Bahrain. Suatu hari, ia datang mengunjungi Abuzar, tapi yang dikunjungi menolak bertemu pada mulanya. Ketika ditanyakan mengapa dia begitu jengkel kepada Abu Hurairah, tercermin dalam tanya jawab ini.

“Anda telah diangkat sebagai gubernur Bahrain.”

“Benar,” jawab Abu Hurairah.

“Di sana Anda tentunya telah membangun rumah seperti istana dan membeli sebidang tanah yang luas,” tambah Abudzar.

“Tidak benar itu,” jawab Abu Hurairah lagi.

“Kalau begitu Anda adalah saudaraku,” kata Abduzar kemudian dan langsung memeluknya.

Selama pemerintahan dua khalifah pertama, ajaran Abuzar tidak pernah mendapat tantangan. Dia hidup tenteram dan dihormati semua orang. Kesulitan timbul pada masa pemerintahan khalifah ketiga.

Ketika Abudzar pindah ke Syria, ia menyaksikan Gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara melimpah ruah. Ajaran egaliter Abudzar telah membuat bangkitnya massa melawan mereka. Ia menjadi duri dalam daging bagi pemerintahan setempat. Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, yang bernama al-Khizra, ia ditegur Abuzar:

“Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan “sraf (pemborosan).” Muawiyah hanya bisa terpesona dan tidak dapat menjawab.

Muawiyah berusaha keras agar Abuzar tidak meneruskan ajarannya, tapi sang penganjur egaliterisme tetap tegar pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abudzar dan ahli-ahli agama Islam, tapi pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.

Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajarannya. Tapi ternyata rakyat berduyun-duyun meminta nasihat Abudzar. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada Khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abudzar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat serius.

Abudzar segera dipanggil menghadap khalifah di Madinah. Pergi memenuhinya, ia masih jauh di luar kota, ketika penduduk Madinah telah keluar menyongsongnya. Sahabat Nabi itu menerima ucapan selamat datang yang hangat.

Di Madinah, Abudzar juga tidak dapat hidup dengan tenteram. Sebagian orang-orang kaya kota mengkhawatirkan aktivitasnya yang menganjurkan pemerataan penyaluran harta kekayaan.

Akhirnya khalifah menyelenggarakan diskusi tentang masalah itu, yang mempertemukan Abudzar dengan Ka’ab Ahbar, seorang terpelajar. Dalam kesempatan itu, Ka’ab Ahbar mempertanyakan apa yang diinginkan dengan mempertahankan hukum warisan dalam yurisprudensi Muslim, padahal Islam tidak mengizinkan penumpukan harta. Masalah ini sesungguhnya berada di luar pokok persoalan.

Seperti yang diduga, diskusi tidak membawa hasil. Usman kemudian meminta Abuzar meninggalkan Madinah untuk tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil yang terletak di jalur jalan kafilah Iraq-Madinah. Musuh-musuh Islam, seperti Abdullah ibn Saba, mencoba memanas-manasi keadaan untuk memberontak kepada Khalifah.

Abudzar justru menjadi marah dan berkata: “Walaupun Usman menggantungku di bukit yang paling tinggi sekali pun, aku tidak akan mengangkat jariku untuk melawannya.”

Seperti layaknya Muslimin sejati Abudzar tunduk pada perintah pusat kekuasaan Islam. Dia melaksanakan perintah pindah ke Razba dan meninggal di sana pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 32 Hijrah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah, dan hanya ditunggui jandanya. Tampaknya tidak ada seorang pun yang akan membantu menguburkannya.

Tiba-tiba di kaki langit muncul sebuah kafilah haji yang sedang menuju ke Mekkah. Ketika diberitahukan itulah mayat Almarhum Abuzar, sahabat Nabi yang terpuji, mereka segera memutuskan berhenti di sana. Jenazah Abuzar mereka sembahyangkan dipimpin Abdullah ibn Mas’ud, seorang sarjana Islam yang terkenal, untuk kemudian dikuburkan.

Demikianlah akhir hidup sahabat Nabi yang terpercaya itu, yang dengan gigih mengajarkan dan melaksanakan sosialisme yang sejati, lebih dari seribu tahun sebelum Karl Marx. Hidupnya dan sampai matinya ia teguh mempertahankan prinsip yang diyakininya: menolak penumpukan harta kekayaan.

Nabi Islam menyatakannya sebagai “orang paling terpercaya”, sedang Ali telah mengatakan begini:  “Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abudzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama. Bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali.” [ ]

Dari “Hundred Great Muslims”, Kh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan, 1984

Back to top button