Spiritus

Abu Lubabah, Sahabat yang Merantai Diri dan ‘Mogok Makan’ dalam Tobat dan Penyesalannya

Tak ada kesalahan yang dilakukannya kecuali ketika ia memberikan isyarat tangannya ke arah leher. Ia memberitahukan hukuman yang disiapkan pasukan Muslimin kepada orang-orang kafir lagi pengkhianat

JERNIH—Sahabat Nabi SAW itu bernama Abu Lubabah bin Abdul-Mundzir Al-Anshari Al-Madani. Sebagaimana disebutkan dalam “al-Ishabah fii Tamyiiz as-Shahabah” karya Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 857 H), Abu Lubabah merupakan nuquba  atau salah seorang pimpinan kelompok Anshar, sahabat mulia sekaligus kesatria perang yang hidup sejak zaman Nabi SAW sampai Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Istrinya adalah Khansa binti Khandam Al-Anshariyah dari golongan Aus. Pernikahan keduanya dikaruniai seorang anak perempuan bernama Lubabah. Itulah yang membuat Abu Lubabah mendapatkan panggilannya. Ia termasuk orang pertama yang masuk Islam, ketika beberapa orang Anshar berjumpa dengan Mush’ab bin Umair di Madinah. Abu Lubabah juga merupakan salah seorang Anshar yang ikut dalam Baiat Aqabah Kedua.

Setelah Nabi SAW datang ke Madinah dan membangun ketenteraman di kota itu, terdengar kabar akan terjadinya Perang Badar. Mengetahui Nabi SAW sedang bersiap-siap untuk berangkat berperang, Abu Lubabah pun mempersiapkan diri. Dengan memakai baju zirah yang senantiasa menemaninya dalam setiap peperangan sebelumnya, dan seperangkat pedang yang terasah tajam, ia menghadap Nabi SAW untuk berangkat berperang bersama.

Sayang, takdir menggariskan lain. Karena Madinah kekurangan orang untuk menjaga, Nabi SAW meminta Abu Lubabah tidak ikut berperang. Beliau bersabda bahwa menjaga keamanan kota dan seisinya tidak kalah pentingnya dengan berperang di medan laga. Meski terharu, Abu Lubabah menuruti perintah Nabi SAW. Dijalankannya tugas itu dengan sangat baik. Bahkan bersama beberapa orang yang ada, ia mempersiapkan segala perlengkapan perang untuk cadangan.

Tepat pada 17 Ramadhan tahun kedua hijriah, Perang Badar pun pecah. Setelah bertempur habis-habisan hampir dua jam penuh, kemenangan jatuh kepada kaum Muslimin.  Kabar itu segera sampai ke telingan Abu Lubabah.

Segera Abu Lubabah dan segenap kaum Muslimin Madinah larut dalam kegembiraan. Tapi tidak untuk kaum Yahudi. Dengan terbuka kaum Yahudi menampakkan kedengkian terhadap Abu Lubabah dan segenap kaum Muslim yang tengah bergembira.

Mengetahui sebuah perjanjian telah dilanggar kaum Yahudi Madinah, Nabi SAW segera mendatangi perkampungan Yahudi dari Bani Qainuqa. Nabi bersabda,” Apa terjadi pada kaum Quraisy hendaklah dijadikan pelajaran. Aku ini adalah seorang nabi utusan Allah.”

Dengan penuh dengki, orang-orang Bani Qainuqa berkata,”Hai Muhammad! Janganlah engkau takabbur atas kemenangan yang baru saja engkau raih. Engkau hanya menang melawan orang yang tidak memiliki keahlian dalam berperang!”

Semenjak saat itu, secara terang-terangan kaum Yahudi melanggar perjanjian yang dibuatnya dengan kaum Muslim Madinah. Karena hal itu berkelanjutan, Nabi SAW dan kaum Muslim Madinah pun mengepung perkampungan mereka selama 15 hari. Kondisi sudah siap perang.

Merasa sudah tidak nyaman lagi, kaum Yahudi memutuskan keluar Madinah. Abdullah bin Abi Salul, salah seorang sahabat menghampiri Nabi SAW seraya memasukkan tangannya ke kantong Nabi SAW. “Lepaskanlah aku!” seru Nabi SAW.

“Aku tidak akan melepaskan engkau sebelum membebaskan 400 orang tanpa senjata dan 300 orang bersenjata. Mereka telah melindungiku dari peperangan yang memusnahkan segalanya dahulu,”jawab Abi Salul.

“Mereka aku serahkan kepadamu! Allah melaknat mereka,” jawab Nabi SAW.

Sekembalinya Nabi SAW beserta sahabat ke Kota Madinah, terdengar kabar kelompok Quraisy di bawah kendali Abu Sufyan bin Harb telah membakar perkebunan kurma dan sempat membunuh seorang Anshar. Nabi pun marah dan mengutus beberapa sahabat untuk mengejar Abu Sufyan, namun gagal. Karena pembakaran itu diketahui dibantu Yahudi Bani Quraizah, Nabi SAW beserta sahabat segera mempersiapkan peperangan untuk mengepung Bani Quraizhah.

Setelah 25 hari terkepung, Bani Quraizah mulai kehabisan kebutuhan sehari-hari, datanglah Ka’ab bin Asad sebagai juru penengah. “Wahai orang Yahudi! Kalian sudah mengetahui apa yang sudah menimpa kalian sebelumnya. Saya akan menawarkan tiga pilihan,” kata Ka’ab.

 “Apa itu?” sahut Bani Quraizhah.

“Kalian harus mengakui kenabian Muhammad. Sungguh Ia adalah seorang Nabi yang kalian jumpai di Taurat,” jawab Ka’ab.

“Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat dan menggantinya dengan yang lainnya”, jawab Bani Quraizhah.

“Kalau begitu bunuh anak dan istri kalian. Saat berperang dan kalian kalah tidak meninggalkan beban. Jika kalian menang, nanti cari penggantinya,” kata Ka’ab.

“Kami bisa saja melakukan itu, tapi apakah ada kehidupan setelah itu?” sahut Bani Quraizhah.

Menyadari bahwa mereka tidak mempunyai pilihan, Bani Quraizhah meminta Nabi SAW untuk mengutus Abu Lubabah menjadi penasihat. Mengetahui bahwa Abu Lubabah ikut dalam pengepungan tersebut, Nabi SAW yang merasa heran karena meminta Abu Lubabah menjaga kota, mengabulkannya.

Sebelumnya, Rasulullah menegaskan agar yang akan memberikan keputusan adalah Sa’ad bin Mu’adz. Abu Lubabah pun mendatangi perkampungan Bani Quraizhah. Namun sahabat itu sangatlah penyayang. Ia merupakan salah satu pemimpin Yatsrib dan sangat dikenal masyarakat Bani Quraizhah. Begitu memasuki benteng, Abu Lubabah pun disambut hangat oleh anak-anak dari bani tersebut. Wanita turut mengerumuninya. Para pria mendatangi dan memeluknya. Abu Lubabah diterima dengan baik di sarang musuh Islam.

Ketika seseorang bertanya kepadanya, “Apakah menurutmu kami harus tunduk dan mengikuti keputusan Muhammad?”

Abu Lubabah pun menjawab, “Ya.”

Tak ada kesalahan yang dilakukannya kecuali ketika ia memberikan isyarat tangannya ke arah leher. Ia memberitahukan hukuman yang disiapkan pasukan Muslimin kepada orang-orang kafir lagi pengkhianat, yakni dengan memenggal mereka. Padahal saat itu, pasukan muslimin merahasiakannya dan Bani Quraizhah pun tak mengetahuinya.

Setelah Abu Lubabah mengisyaratkan hal tersebut, sontak ia terdiam. Ia tahu, ia baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Abu Lubabah merasakan penyesalan yang teramat sangat hingga merasa malu kepada Rasulullah. Ia pun memilih pulang ke Madinah dan tak kembali ke barisan pasukan.

Segera setibanya di Madinah, Abu Lubabah meminta rantai besi, lalu meminta seseorang untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid. Sang shahabat Anshar itu pun diikat dengan rantai besi dalam kondisi berdiri di atas kedua kakinya.

“Demi Allah, aku tidak akan melepaskan diriku. Aku tidak akan membebaskan diriku. Aku tidak akan menjamah makanan. Tidak pula aku akan menyentuh minuman hingga Allah menerima taubatku…. atau hingga aku mati,”ujarnya.

Singkat cerita, ketika Rasulullah kembali ke Madinah, betapa terkejutnya beliau menyaksikan Abu Lubabah terikat di tiang masjid dengan rantai dari besi. Seseorang sahabat lain pun kemudian mengisahkan apa yang terjadi pada Abu Lubabah. Nabi SAW bersabda,“Ketahuilah, sesungguhnya kalau saja tadi ia (Abu Lubabah) mendatangiku, maka aku benar-benar akan memintakan ampun untuknya. Namun sayang, ia terlanjur melakukannya. Jadi aku tak akan membebaskannya sampai Allah sendiri yang akan membebaskannya.”

Rasulullah dan para shahabat lain pun merasa kasihan pada Abu Lubabah. Namun tak juga turun ayat tentangnya. Putri kecilnya selalu datang tiap waktu shalat dengan deraian air mata. Ia akan melepaskan rantai besi agar ayahnya shalat, lalu merantainya kembali saat shalat usai.

Satu hari, dua hari, tiga hari, belum ada firman-Nya yang menyatakan pembebasan Abu Lubabah. Hingga Abu Lubabah mulai lemas, tak lagi bertenaga. Pandangan dan pendengarannya kabur. Otot-ototnya melemas. Ia terikat selama enam hari enam malam.

Hingga kemudian kasih sayang Allah datang. Jalan keluar datang di waktu sahur pada malam ketujuh. Rasulullah tiba-tiba tertawa mendapat firman-Nya. Ummu Salamah yang ada di sisi beliau pun lantas bertanya penasaran, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda tertawa? Semoga Allah membuat Anda tertawa di sepanjang usia Anda.”

Nabi SAW bersabda, “Allah telah menerima taubat Abu Lubabah.” Ayat itu adalah,”Dan (ada pula) orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha-Pengampun lagi maha penyayang.”(QS. at-Taubah [9]:102)

Ummu Salamah pun begitu girang mendengarnya. “Bolehkah aku memberitahukan kabar gembira ini kepadanya, wahai Rasulullah?”

“Tentu saja boleh, jika engkau mau,” ujar nabi.

Ummu Salamah pun segera bangkit. Sang Ummul Mukminin berdiri dari pintu rumahnya lalu berkata, “Wahai Abu Lubabah, bergembiralah… Allah telah menerima taubatmu.”

Para sahabat lain pun mendengarnya dan segera mengerumuni Abu Lubabah. Mereka ingin segera melepaskan rantai besi yang mengikatnya. Namun ternyata Abu Lubabah menolak. “Tidak, demi Allah, sampai Rasulullah sendiri yang melepaskan diriku dengan tangan beliau.”

Rasulullah pun lalu keluar dan melekaskan rantai yang membelenggu tubuh Abu Lubabah di tiang masjid. Betapa bahagia sang shahabat. Penyesalannya sirna sudah. Taubatnya benar-benar telah diterima Allah dan Rasul-Nya.

Abu Lubabah berkata,”Kiranya akan sempurna tobatku kalau aku meninggalkan kampung halaman kaumku tempat aku melakukan dosa di sana, dan aku sumbangkan seluruh hartaku?”

Rasulullah SAW menjawab, “Kau hanya dibenarkan menyumbangkan sepertiganya saja.”

Demikianlah tobat Abu Lubabah, yang hingga kini dikenang sebagai salah satu pertobatan sejati. [  ]

Back to top button