Dalam “The Making of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past”, Michael Laffan mengungkapkan bahwa alasan utama dari penangkapan Hassan Maolani itu bukanlah dakwaan atas penyebaran paham dan ajaran yang sesat, melainkan kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda terhadap citra Eyang Hassan di mata masyarakat yang telah tertanam dengan amat kuat.
JERNIH—Perlawanan terhadap penjajahan Belanda umumnya digerakkan para ulama. Bukan karena mereka memandang kafir para penjajah yang awalnya datang sebagai pedagang tersebut, melainkan karena sifat dzalim yang memang wajib dilawan oleh kaum Muslim yang masih memelihara iman di dada mereka.
Di wilayah Kuningan, Jawa Barat, misalnya, tampil Ajengan Hassan Maolani, seorang ulama kharismatik penyebar ajaran tauhid Islam dari wilayah Lengkong, Kuningan. Hassan bahkan merupakan ulama yang memiliki peran amat penting dalam perkembangan Islam di wilayah Kuningan dan sekitarnya pada abad ke-19. Hassan dikenal memiliki cakrawala pengetahuan dan pergaulan yang sangat luas di dalam dan luar negeri, terutama para ulama Timur-Tengah saat itu. Hal itu membuatnya menjadi sosok yang sangat disegani dan dihormati seluruh lapisan masyarakat.
Pengaruh besar Hassan Maolani terlihat dari jumlah santri yang datang belajar di pesantren yang ia dirikan. Tidak hanya datang dari wilayah yang berdekatan, seperti Majalengka, Cirebon, dan Indramayu, murid-murid Hassan datang dari seantero wilayah Tanah Air. Banyak muridnya berasal dari Sumatera, Kalimantan, juga Lombok. Kalau hanya dari wilayah lain di Jawa, itu sudah dianggap biasa.
Dalam “The significance of the pesantren as the most important center for Islamic learing peaked in the 19th century through the roles of Kiyai Hasan Maolani or Kiyai Mas Daka (born in 1781) and his disciples,” tulisan Didin Nurul Rosidin dalam “Pesantren and Modernity in Indonesia: Ma’had Aly of Kuningan”, digambarkan bahwa pesantren yang didirikan Ajengan Hasan Maolani merupakan lembaga pendidikan Islam yang terbesar di zamannya, minimal di wilayah Kuningan dan sekitarnya.
Tentang Hassan Maolani, Gerardus Willebrordus Joannes Drewes dalam bukunya,” Drie Javaans Goeroes: Hun Leven, Onderricht en Messiasprediking”, menyatakan bahwa Hassan Maolani merupakan sosok yang sangat berpengaruh di Tanah Jawa pada abad ke-19. Bukan hanya sebagai tokoh keagamaan, melainkan dianggap ratu adil penyelamat masyarakat.
“Bersama Mas Malangyuda dan Nurhakim, Hassan Maolani merupakan tiga guru Jawa yang dianggap sebagai ratu adil oleh masyarakat sekitarnya. Dalam konteks ini, Hasan Maolani merupakan guru Jawa pertama dan terpenting, yang menjadi pembimbing bagi dua guru lainnya,” tulis Drewes dalam karyanya itu.
Penyematan gelar ratu adil oleh masyarakat tentu tidak dilakukan secara sembarangan. Orang yang terpilih tersebut pasti memiliki pengaruh yang amat besar, selain memiliki sejumlah kelebihan yang menjadikannya lebih tersohor dan dihormati ketimbang tokoh-tokoh lain.
“Kelebihan-kelebihan mendasar yang dimaksud, di antaranya adalah kemampuan yang mumpuni dalam penyampaian doktrin sufistik, kehebatan diri dalam hal-hal yang sifatnya ajaib dan mistis, serta kemampuan dalam mengkoordinasi individu dalam suatu kesatuan yang bersifat tunggal,” tulis Merle Calvin Ricklefs, dalam “Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions (c.1830-1930)”.
Secara luas orang-orang mempercayai bahwa Hasan Maolani adalah sosok ratu adil yang diramalkan akan menyelamatkan mereka dari tangan-tangan besi penjajah dan membawa keadilan serta kesejahteraan bagi semua masyarakat. Hal itu terjadi secara alamiah, menyusul penderitaan masyarakat Jawa yang disebabkan pemberlakuan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) sejak tahun 1830 Masehi.
Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan di daerah-daerah, memang memperlihatkan hasil dan dampak yang berbeda-beda, namun tetap menunjukkan gejala yang kurang baik, terutama terhadap penduduk pribumi. Mereka tidak hanya tersiksa secara kasar oleh intruksi-intruksi pemerintah kolonial dalam menjalankan kegiatan kerja rodi tersebut, namun juga menderita oleh gencarnya pengaruh ekonomi Barat yang telah merambah hingga ke tingkat desa.
“Dilihat dari aspek pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, abad ke-19 merupakan periode masuknya sistem ekonomi uang di desa-desa, dan hal itu sangat terasa di Pulau Jawa. Sistem ekonomi uang asal Barat itu membuat para petani menjadi semakin tergantung pada dunia luar. Kehidupan ekonomi subsistens masyarakat tradisional pun menjadi terus melemah akibat agresivitas sistem ekonomi global tersebut,”ujar Suyatno Kartodirdjo, dosen UNS Solo yang telah meninggal, dalam “Relevansi Studi Tanam Paksa Bagi Sejarah Ekonomi Indonesia”.
Sistem yang dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam “Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi’, sebagai sistem yang bertujuan untuk mendatangkan keuntungan besar untuk pemerintah dan para pengusaha di negeri Belanda tersebut, menimbulkan banyak penderitaan bagi masyarakat. Hal itu dapat terjadi, terutama karena banyaknya penyimpangan yang ada.
“Sasaran untuk memperoleh produksi setinggi-tingginya justru menimbulkan banyak terjadi penyimpangan di lapangan yang menimbulkan tekanan berat terhadap rakyat pedesaan. Penyimpangan ini didasari pada “kejar setoran” yang dilakukan oleh para birokrat lokal. Sistem tanam paksa berjalan dengan berbagai kesukaran dan perlakuan yang menyakitkan terhadap kaum petani Jawa,”tulis Robert van Niel dalam artikel ”Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya”, yang terhimpun dalam buku Anne Booth, dkk., terbitan LP3ES, “Sejarah Ekonomi Indonesia”.
Menyadari penderitaan yang diderita oleh saudara-saudara sedaerahnya tersebut, Hassan Maolani tidak hanya berdiam diri saja, ia mulai berjuang dengan melakukan upaya-upaya edukatif melalui pesantrennya. Di lembaga pendidikan Islam yang dimilikinya itu ia menanamkan semangat anti-penjajahan terhadap murid-muridnya.
Cakrawala mereka dibukakan, bahwa pelbagai tindakan menindas yang banyak terjadi pada masa paceklik tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja dan bahkan harus dilawan. Dalam catatan singkat “”Eyang Menado” dari Kuningan”, Nina H. Lubis menyebut apa yang diajarkan Hassan Maolani sebagai ajaran “jihad” yang bersumber pada kitab Fathul Qorib.
Dalam aktivitas dakwah dan perjuangannya ini, Hassan Maolani juga memainkan peranan strategisnya di dalam tarekat Syattariyah dan Akmaliyyah yang digelutinya. Kegiatan di dalam sebuah komunitas keagamaan semacam ini merupakan kegiatan yang amat dikhawatirkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan sejak saat itu Sang Kiai Lengkong menjadi orang yang paling ditakuti oleh mereka.
Ketakutan itu bukan tanpa dasar. Pemerintahan kolonial asal negeri kincir angin pernah punya segudang pengalaman buruk berperang dengan pihak-pihak yang menggunakan ‘emosi keagamaan’ sebagai amunisi utama persenjataan mereka. Indoktrinasi kaum ulama terhadap rakyat, seperti yang terjadi dalam Perang Paderi dan Perang Diponegoro, dianggap sebagai dorongan terpenting upaya jihad yang sangat sulit untuk ditaklukkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Semangat seperti inilah yang kemudian menginspirasi lahirnya puisi perang “Hikayat Perang Sabil” saat bergulirnya Perang Aceh. Dalam “Hikayat Perang Sabil: Center of Gravity Jihad Aceh Melawan Kafir Belanda” yang termuat dalam laporan khusus Lembaga Kajian Syamina, K. Subroto mengungkapkan bahwa, “Karya sastra Perang Aceh tersebut telah berhasil mencapai sasarannya dan benar-benar telah membuat pimpinan dan serdadu-serdadu tentara penjajah Belanda ketakutan.” Dengan berkaca pada pengalaman-pengalamannya ini, pemerintah kolonial Belanda mulai menyusun rencana untuk melumpuhkan pengaruh Hassan Maolani di tengah masyarakat.
Awalnya, mereka menuduh Hassan Maolani telah menyebarkan ajaran dan paham Islam yang sesat dengan tujuan menjauhkan dia dari para pengikutnya. Namun ternyata hal itu tidak membuahkan hasil.
Akhirnya, Hasan Maolani pun ditangkap dan didakwa dengan tuduhan yang lebih berat agar ia dapat diasingkan ke tempat yang sangat jauh guna memutus tali rantai kharismanya. Tempat pembuangannya itu adalah Kampung Jawa Tondano di sebelah selatan Manado, yang terletak di bagian utara Pulau Sulawesi. Lokasi pembuangan yang ama dengan Kyai Maja dan Sentot Prawiradirja, pahlawan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Dipanegara.
Dalam “The Making of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past”, Michael Laffan mengungkapkan bahwa alasan utama dari penangkapan Hassan Maolani itu bukanlah dakwaan atas penyebaran paham dan ajaran yang sesat, melainkan kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda terhadap citra Eyang Hassan di mata masyarakat yang telah tertanam dengan amat kuat. Citra itu dapat membahayakan eksistensi mereka, karena bisa saja digunakan oleh Sang Kiai untuk membangun kekuatan anti-kolonialisme dan berupaya untuk menggulingkan pemerintahan Hindia-Belanda.
Di Tondano, tempat pembuangannya yang dihuni banyak orang non-Muslim, Hassan Maolani tetap aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan usaha pertanian. Dalam aktivitas dakwah, ia konsisten menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada khalayak luas. Sedangkan dalam bidang pertanian, ia turut mengembangkan cara bercocok tanam padi masyarakat yang saat itu belum maju seperti yang ada di Kuningan.
Usia yang semakin menua, ternyata tidak dapat menyurutkan semangatnya untuk tetap bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Rumah Hassan Maolani pun seringkali ramai oleh banyaknya orang yang hendak mendengarkan wejangan-wejangan sosial keagamaan yang ia tuturkan.
Pada 1874, Eyang Hassan meninggal di usia sangat senja. Meski meninggal jauh dari tanah kelahiran, nama besarnya tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Bahkan, makamnya pun ditempatkan secara khusus bersama dengan lasykar pejuang yang konsisten melawan para penjajah asing yang menghisap habis kekayaan alam Indonesia di masa lalu. [ ]
Sumber : Artikel Tendy Chaskey, alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand yang tengah menempuh program doktoral.