Di tengah-tengah suatu bangsa, ketika orang-orang kaya hidup mewah di atas penderitaan orang-orang miskin, ketika para penguasa membunuhi orang-orang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim memihak pemilik kekayaan dan memasukkan ke penjara orang-orang kecil yang tidak berdosa, Rasulullah SAW menyampaikan pesan dari Rabbul Mustadh’afin: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas, baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak…
Oleh : Jalaluddin Rakhmat*
JERNIH– Hal yang aneh terjadi. Kitab-kitab suci biasanya mengajarkan hikmah lewat para pangeran. Baghawad Gita bercerita tentang jelmaan Tuhan, Krisna, yang menasihati putra Pandu, Pangeran Madukara, Raden Arjuna.
Dalam agama Buddha, wahyu turun lewat Pangeran Sidharta Gautama yang baru meninggalkan keraton karena ingin mencari jatining urip. Pararaton dan Negara Kertagama dipenuhi dengan kisah dari istana. Folklor bercerita tentang para putri dan pangeran yang mempunyai hubungan darah dengan tuhan-tuhan di langit. Al-Ouran, kitab yang dibawa Muhammad, malah bercerita tentang kaum mustadh’afin dan menyebut-nyebut mereka tujuh belas kali lebih banyak daripada kaum pembesar (kubara).
Belum lagi dihitung dua belas kali kata faqir atau fuqara dan dua puluh tiga kali kata miskin atau masakin. Lalu berapa kali Al-Quran menyebut kata ”raja” yang mengacu kepada manusia dan bukan Tuhan? Sepuluh kali. Satu di antaranya berbunyi,”Dia berkata: Sesungguhnya raja-raja, apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina.” (QS 27:34).
Dan satu lagi berkata: “…di hadapan mereka ada seorang raja yang mengambi perahu (orang miskin yang bekerja di lautan) dengan paksa.” [QS 18:71]
Tetapi Fir’aun disebut tujuh puluh empat kali dalam Al-Ouran. Benar, tetapi berbeda dengan raja-raja dalam Mahabharata, atau cerita-cerita Buddha, Fir’aun dilukiskan sebagai tiran durhaka perusak, penindas, pembunuh orang yang tak bersalah, penipu dan fasik. Dengarkan bagaimana Al-Ouran melukiskan al-mala (para bangsawan) dan al-mutrafin (orang kaya yang hidup mewah) sebagai penentang kebenaran dan sumber kerusakan:
“Dan tidak kami utus pada setiap negeri seorang pemberi peringatan, kecuali berkata mutrafun-nya: Sesungguhnya kami kafir kepada apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya. Dan mereka berkata: kami lebih banyak harta dan anak, dan kami tidak akan tersiksa.” [QS 34:34-35].
“Dan begitulah, tidak Kami utus sebelummu di sebuah negeri seorang pemberi peringatan, kecuali mutrafun-nya berkata: “Sungguhnya kami dapati nenek moyang kami mengikuti suatu kepercayaan, dan kami akan mengikuti jejak mereka.” [QS 43:23]
“Dan bila Kami ingin membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” [QS 17:16]
“Berkata al-mala’ yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat engkau kecuali manusia juga seperti kami, dan tidak kami lihat pengikut-pengikutmu kecuali orang-orang yang hina-dina diantara kami, yang lekas percaya, dan kami tidak melihat kamu memiliki kelebihan di atas kami, bahkan kami yakin kamu semua pembohong.” [QS 11:27]
Pada saat yang sama Al-Quran berbicara tentang kewajiban membebaskan kaum mustadh’afin, menyantuni anak yatim, fuqara dan masakin, membela budak-budak belian, para tawanan, dan siapa saja orang malang yang ”bergelimang debu”. Dalam Islam, Tuhan muncul tidak di belakang para raja, tetapi di samping mereka yang tertindas. Dia bukan Rabbul Mustakbirin. Dia Rabbul Mustadh’afin.
Dia berfirman: “Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas seluruh timur bumi dan seluruh baratnya yang Kami berkati.” [QS 7:137]
Dia mengutus para rasul bukan semata-mata untuk amar ma’ruf nahi munkar, atau mengajak akan syariat saja, tetapi juga “melepaskan beban penderitaan dan belenggu-belenggu yang ada di atas mereka.” [QS 7:157]. Dia melukiskan sejarah manusia sebagai gerakan kaum mustadh’afin di bawah pimpinan para rasul melawan kaum mustakbirin.
Di tengah-tengah suatu bangsa, ketika orang-orang kaya hidup mewah di atas penderitaan orang-orang miskin, ketika budak-budak belian merintih dalam belenggu tuan-tuannya, ketika para penguasa membunuhi orang-orang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim memihak pemilik kekayaan dan memasukkan ke penjara orang-orang kecil yang tidak berdosa, Rasulullah SAW menyampaikan pesan dari Rabbul Mustadh’afin: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas, baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak, yang semuanya berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang zalim penduduknya ini, dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau,” [QS 4:75] [ ]
*Almarhum, cendikiawan Muslim, ulama