Keberanian, komitmennya kepada kebenaran, serta kedermawanannya yang nyaris fantastis, membuat figur Haji Isam laiknya Abdurrahman bin Auf di masa lalu.
JERNIH–Abaikan segala dramatisasi seperti laiknya film buatan Hollywood. Sebagai penonton, kita akan terpana dengan tokoh David “Noodles” Aaronson yang diperankan Robert de Niro di satu karya besar sutradara Sergio Leone, “Once Upon a Time in America”. Noodles, karakter protagonis fiktif dalam novel Harry Grey,”The Hoods” terbitan 1952 itu, memang sangat lelaki: tegas, pendiam, dan cinta keluarga alias ‘family man’. Ia persis gambaran pria dalam kutipan novelis Mario Puzo di “The Last Don”, “Tindakanlah yang mendefinisikan seorang pria; kata-kata sekadar—maaf– kentut yang membaur di angin.”
Warga Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, dengan segera akan menengarai karakter Noodles itu pada salah seorang warganya bila menonton film tersebut. Baru setelah nama itu banyak ditulis media massa, kemudian kita di Indonesia pun mengenalnya. Haji Isam namanya. Namun dikenal atau tidak, ia tetap seorang pendiam yang cenderung menghindari gemerlap lampu sorot dan headline media massa.
Tidak ada seorang pun di masa lalu yang menduga Andi Syamsudin Arsyad, Muslim kelahiran Januari 1977 itu, akan menjadi tokoh nasional yang sangat diperhitungkan. Bukan hanya karena kaya, sebab yang lebih tajir melintir pun banyak, tentu. Namun lebih karena bagaimana ia menjadikan keberadaannya sebagai orang kaya berguna bagi sesama. Ia adalah salah satu yang bagi banyak orang mewujudkan tokoh dermawan impian dalam tarikh Islam, Abdurrahman bin Auf, menjadi nyata dalam kehidupan kita.
Lahir dari keluarga yang sederhana, Andi Syamsuddin mendapatkan didikan bagaimana menjadi lelaki dalam idealisme Bugis. Irit kata, sarat kerja, dan terutama menjadikan keberanian dan kebenaran sebagai modal awal untuk melangkah. Banyak orang bilang ia memulai usaha sebagai sopir truk. Sebagian lain mengatakan Andi Syamduddin muda pernah menjadi tukang ojek sebagai pekerjaan untuk menafkahi keluarga. Boleh jadi pula, Haji Isam yang hingga kini tak terlihat canggung mengucurkan peluh itu pernah menjadi operator alat berat. Semua cerita itu menyimpulkan bahwa Haji Isam adalah persona yang menghargai proses, yang hormat akan perjalanan hidup serta keringat dan suka-duka yang mengucur bersamanya.
Karakter itu pula yang membuatnya tak jeri melawan bila merasa berada pada pijakan langkah yang benar. Banyak cerita beredar bagaimana Haji Isam berani melawan ketidakadilan yang berjalin-kelindan dalam dunia persaingan usaha. Konon, nama-nama taipan besar seperti Tommy Winata, Aguan, Franky Wijaya, hingga Anthony Salim, pernah ia lawan. Nama-nama yang kini disejajarkan publik dengannya, bahkan menjadi rekan dalam peta dunia usaha Indonesia.
Sikap konsisten, komit kepada kebenaran dan bersedia memperjuangkannya itulah, tampaknya, yang membuat penulis muda Fahd Pahdepie pernah menjuluki Haji Isam sebagai “saudagar petarung” dalam tulisannya.
Pintu menuju dunia taipan itu terbuka saat Andi Syamduddin bertemu Johan Maulana di awal langkahnya berkiprah di dunia usaha. Dengan kebaikannya, pengusaha Tionghoa Surabaya itu memberinya kesempatan belajar cara mengelola pertambangan, dunia usaha yang segera terbuka begitu Reformasi tiba.
Pada 2001 itu Andi Syamsuddin muda bekerja di perusahaan milik Johan, menghabiskan dua tahun di sana. Pengalaman yang mengubah jalan hidupnya. “Tahun 2003, Pak Johan meminjami saya modal untuk menyewa alat berat,”kata Haji Isam, suatu ketika. Kalimat yang mahal, tentu, karena langkanya ia bicara terbuka.
Berbekal pengalaman itu, Haji Isam pun memulai usahanya sendiri. Ia memulai dengan menjadi kontraktor pelaksana PT Arutmin Indonesia, bagian dari PT Bumi Resources Tbk, milik Aburizal Bakrie. Dengan bendera kecil CV Jhonlin Baratama, usaha awal Haji Isam itu hanyalah kontraktor semata. Yang membuatnya 21 tahun kemudian, saat ini, perusahaan komanditer (CV) itu menjadi usaha raksasa bernama PT Jhonlin Group, yang sanggup mengeruk 400 ribu ton batubara setiap bulan dengan omzet lebih dari Rp400 miliar, adalah semua modal itu tadi. Modal personal berupa keteguhan, ketegasan, sikap jujur dan pantang menyerah, itu terutama. Dan sangat mungkin pula, doa-doa malam yang terpanjat ke angkasa karena kedermawan fantastisnya yang banyak disebut-sebut orang.
Mantan Menpan RB dan Wakapolri, Komjen Polisi (Purn) Syafruddin Kambo, kapolda Kalsel pada 2010-2012, punya cerita soal kedermawanan Haji Isam. “Beliau sosok yang sangat dermawan. Jiwa penolongnya kuat sekali. Setiap tahun ia mengumrahkan dan menghajikan banyak orang. Ribuan jumlahnya,” kata Syafruddin.
Kini usaha PT Jhonlin Group tak hanya batubara. Haji Isam pun saat ini mengelola bisnis transportasi pesawat terbang di bawah PT Jhonlin Air Transport, usaha perkapalan melalui PT Jhonlin Marine, bidang agribisnis, biodiesel, energi, hingga ‘wood pallet’. PT Prima Alam Gemilang, pabrik pengolahan tebu terbesar di Indonesia yang baru-baru ini diresmikan langsung Presiden Jokowi, juga merupakan bagian dari usahanya.
Namun sosoknya tak banyak berubah dari persona seorang Andi Syamsuddn muda di masa lalu. Ia masih rendah hati, sederhana, dan tetap menjauhi gebyar media. Di keseharian, warga Batulicin tak jarang melihatnya hanya berkaos oblong, celana jeans dan sepatu ‘sneakers’. Bahkan kadang-kadang hanya bersandal. Jauh dari perilaku macak para seleb sok kaya, yang kadang terbongkar hanya bermodalkan barang-barang pinjaman semata.
Kalaupun ada isu, rumors dan aneka hus-hus kontroversial, memangnya adakah manusia yang menjalani hidup dengan sempurna? Bukankah orang yang dianggap suci dalam tradisi Kristen, Santo Augustinus pun berkata,” Tidak ada santo dan santa tanpa masa lalu. Tidak ada pendosa tanpa masa depan…”? [Tim INILAH]