Baron Pierre de Coubertin: Olimpiade Modern, Bangsawan Rasis, dan Naskah Pidato Berharga Rp 127 Miliar
- De Coubertin masih berusia 29 tahun ketika mengemukakan gagasan Olimpiade Modern. Tidak ada yang dengar.
- Dua tahun setelah itu semua orang mendengar, dan 1896 Olimpiade Modern pertama digelar di tempat asalnya, Athena.
- De Coubertin bukan tanpa kelemahan. Ia bangsawan dengan mentalitas merendahkan orang lain. Ia rasis.
- Naskah pidato De Coubertin, yang berisi gagasan Olimpiade Modern, terjual dengan harga Rp 127 Miliar di pasar lelang.
JERNIH — Hari itu, 25 November 1892, Baron Pierre de Coubertin berpidato di depan sekumpulan atlet yang menghadiri ulang tahun kelima Asosiasi Atletik Prancis di Sorbonne, Paris, menyampaikan gagasannya menghidupkan kembali Olimpiade Yunani Kuno. Tidak ada yang menanggapi.
“Penonton tidak bereaksi negatif, tapi juga tidak memperlihatkan dukungan,” kata David Wallechinsky, penulis dan anggota pendiri International Society of Olympic Historians.
De Coubertin berpidato dengan bagus, tapi di depan audiens yang salah. Mereka yang hadir pada acara itu tidak cukup simpatik dan berpikiran terbuka.
Penyebabnya bisa apa saja. Salah satunya, mungkin, De Coubertin saat itu masih berusia 29 tahun. Ia hanya anak muda dengan gagasan besar, yang bagi banyak orang sulit direalisasikan.
Yang diutarakan De Coubertin saat itu bukan sekedar membangkitkan kembali Olimpiade Yunani Kuno, tapi sebuah kompetisi olahraga untuk menyatukan bangsa agar saling belajar, mempromosikan internasionalisme dan perdamaian dunia.
“De Coubertin menyadari dia melakukannya dengan salah, tapi dia gigih,” kenang Wallechinsky. “Dia tahu idealisme saja tidak cukup. Dia harus turun ke seluk-belu dan menyelesaikan pekerjaan.”
Sekian puluh tahun setelah berdiri di depan Asosiasi Atletik Prancis, banyak orang mengenang pidato itu. De Coubertin dihormati. Bahkan naskah pidato itu menjadi barang memorabilia yang terjual di pasar lelang dengan harga 8,8 juta dolar AS, atau Rp 127,6 miliar, tahun 2019.
Gagasan di Tengah Benua Terpecah
Stephen Wassong, peneliti kehidupan De Coubertin dan kepala Institut Sejarah Olahraga Universitas Olahraga Koln, mengatakan tahun 1892 Prancis belum melihat olahraga sebaga kegiatan terorganisir.
Aktivitas fisik dan olahraga hanya bagian program militer, bukan kurikulum sekolah seperti di AS dan Inggris. Jadi, sangat masuk akal jika pidato De Coubertin tidak mendapat tanggapan.
De Coubertin seorang advokat dengan nilai sempurna untuk pendiikan olahraga. Ia percaya olahraga baik untuk perkembangan otak. Bahwa, pikiran dan tubuh dapat bekerja sama, dan saling membantu.
“Dia melakukan perjalanan ke Inggris, negara yang menjadikan olahraga sebagai bagian kehidupan sehari-hari siswa di sekolah asrama, ” kata Wassong.
Sejak tahun 1850 Inggris punya acara lokal bernama Wenlock Olympian Games, yang mempetemukan pesaing dari sejumlah disiplin ilmu.
Setelah menyaksikan Hodgson Pratt, orang Inggris yang mengusulkan pertukaran pelajar internasional untuk mempromosikan toleransi pada Konferensi Perdamaian Dunia 1891 di Roma, De Coubertin mengambil ide ini dan menghubungkannya denagn olahraga.
“Ini bukan konsep yang populer,” kata Wallechinsky. “Terutama di antara para pemimpin zaman kolonialisme dan sibuk bersaing mewujudkan ambisi kekaisaran Eropa. Namun, De Coubertin percaya gagasannya akan terwujud.”
Inovasi Ilmiah
Yang disampaikan De Coubertin dalam pidato itu sebenarnya sangat luar biasa. Ia meletakan olahraga di atas alas yang sama dengan inovasi ilmiah dan teknik saat itu.
“Jelas bahwa telegraf, kereta api, telepon, penelitian yang penuh semangat sains, kongres, dan pameran, berbuata lebih banyak untuk perdamaian daripada perjanjian atau konvensi diplomatik mana pun,” kata De Coubertin.
“Yah, saya berharap atletik akan melakukan lebih banyak lagi. Mereka yang telah melihat 30 ribu orang berlari menembus hujan untuk menghadiri petandingan sepak bola akan berpikir saya berlebihan,” lanjutnya.
Menurut Wassong, pidato itu jelas meletakan dasar-dasar pendidikan dari ide Olimpiade, dan misi membangun dunia yang lebih baik melalui olahraga.
De Coubertin mungkin gagal meyakinkan publik Prancis, tapi gagasannya untuk dunia. Ia yakin mampu meyakinkan dunia, terutama Eropa, akan pentingnya Olimpiade modern.
Dua tahun kemudian dia kembali ke Sorbonne, dan di ruangan yang sama, De Coubertin berbicara lagi. Kali ini audiens mendengar dengan serius, dan gagasan itu diformalkan menjadi rencana.
Tahun 1896, Olimpiade Modern dilahirkan kembali di tempat asalnya, yaitu Athena — ibu kota Yunani.
Warisan yang Kompleks
De Coubertin bukan tanpa kekurangan. Ia semula tidak percaya wanita harus berpartisipasi dalam Olimpiade. Ini terlihat pada Olimpiade modern pertama yang hanya diikuti laki-laki. Pada Olimpiade 1900 barulah atlet wanita ikut serta.
De Coubertin seorang baron, bangsawan dengan mentalitas kelas atas berpandangan merendahkan orang lain. “Ia punya pandangan paling buruk tentang beberapa negara. Ia juga rasis,” kata Wallechinsky.
De Coubertin mengatakan gerakan Olimpiade membutuhkan pembaruan terus-menerus, disesuaikan dengan zeitgeist — atau semangat atau suasana hati yang menentukan dari periode sejarah tertentu.
Di satu sisi gerakan Olimpiade berhutang banyak pada De Coubertin. Di sisi lain, pandangan-pandangan tertentu De Coubertin suka atau tidak harus ditinggalkan atau dipisahkan dari Olimpiade.
Pada Olimpiade Pertama 1896, hanya 12 negara ikut serta. Tahun ini, panitia Olimpiade Tokyo meng8ndang 200 negara, negara bagian, dan teritori.
Hari ini Olimpiade tidak lagi bisa dikenali dalam skala, keragaman, dan tingkat kecakapan olahraganya. Namun, semangat pidato De Coubertin tetap hidup dalam persaingan bersahabat.
“Kita akan menyaksikan 11 ribu atlet berlaga di Tokyo,” kata Wallechinsky. “Sebagian besar, atau lebih 80 persen, tidak punya peluang meraih medali. Namun, mereka akan cukup bangga saat membuat rekor pribadi, rekor nasional, dan akan melakukan yang terbaik.”
Jika De Coubertin masih hidup, mungkin dia akan menyukainya seraya menyembuyikan sentimen rasis-nya.