Veritas

Dari Sinuhun yang Kebanyakan Minum Air Heksagon Sampai Klaim Keturunan Alexander yang Untung tak Disebut The Greed

Veritas-1

Mereka mengaku memiliki pohon silsilah yang berawal dari Alexander de Griev, alih-alih Alexander The Great. Untung tidak ditulis Alexander The Greed alias Alex Si Rakus  

JAKARTA— Bila saja dua anak muda milenial saling bertanya, mana yang lebih keren antara raja Keraton Agung Sejagat (KAS) dengan imam Negara Islam Indonesia (NII), boleh jadi mereka akan sepakat kalau Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo sih lewat.

Saat deklarasi NII, 7 Agustus 1949 di Cisampah, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya,  almarhum Kartosoewirjo hanya memakai kemeja dan celana drill dengan penutup kepala songkok alias kopiah biasa. Sementara Raja Totok Santoso Hadiningrat, yang sempat membuat prasasti ‘Ibu Bumi Mataram II’, pada deklarasi keraton 29 Desember 2019 lalu tak hanya memakai pakaian kebesaran merah meriah, namun juga lengkap dengan epaulet dengan segala macam bintang di bahunya. Belum jelas, apakah ia juga menyebut diri ‘Sri Maharaja Yang Bertahta di Pogung, Kademakan Purwokerto’, pada prasasti itu, atau tidak.  

Yang membedakan keduanya, yang satu serius, didasarkan keyakinan pada epistemologi yang–paling tidak menurut kalangannya, diambil dari agama. Sementara satunya terlihat lebih cenderung pada usaha menarik lembaran rupiah dari warga melalui upaya ‘tipu-tipu siapa tahu’.

Setidaknya itu yang dirilis polisi setelah menangkap dan memeriksa kedua pasangan raja dan ratu tersebut. Menurut keterangan Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel, untuk menjadi pengikut raja dan ratu serta punya hak ikut iring-iringan keliling kampung dengan seragam, pataka dan aneka perabot bling-bling itu, warga harus membayar mahal. Tak jarang hingga puluhan juta rupiah per orang.

“Sudah hampir 150 orang yang menjadi pengikut dia. Para pengikutnya itu, yang dijanjikan jadi ponggawa kerajaan, diwajibkan bayar iuran sampai puluhan juta rupiah,” kata Rycko.

Sebagaimana biasa, ada urusan wahyu keprabon disebut-sebut dalam urusan semi ludruk itu. Kepada polisi Totok mengaku mendapat wangsit dari seseorang yang disebutnya keturunan raja Mataram, untuk mendirikan istana di Pogung dan menjadi raja dari keraton baru itu. Bahkan sebelum mendirikan keraton yang pada saat deklarasi pun belum kelar dibangun itu, Totok segera melengkapi diri dengan berbagai dokumen yang menurutnya didapatkan dari PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Tak jelas, boleh jadi dokumen itu memang terkait dengan PBB, alias dibuat di kantor tempat pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atawa kantor kelurahan.

Mungkin biar gagah, Sinuhun Totok Santoso Hadiningrat juga mengklaim bahwa Pentagon berada di bawah kekuasaan kerajaannya. Mungkin saja ia yakin akan hal itu karena seringnya minum air heksagonal yang jelas berpoligon lebih banyak dibanding Pentagon.

Belum pulih kulit perut dari terpingkal-pingkal melihat fenomena Raja Totok dan Kanjeng Ratu Dyah Gitarja, dua atau malah lebih berita sejenis segera beruntun menerjang kita. Di Bandung, ternyata sudah berdiri Kekaisaran Sunda alias Sunda Empire. Sementara di Tasikmalaya—pusat kota DI/TII di masa lalu, sudah lebih lama lagi—2004, berdiri Kesultanan Selacau Tunggul Rahayu yang mengklaim sebagai penerus Kerajaan Padjajaran. Bedanya, alih-alih raja, kelompok penerusnya ini dipimpin seseorang sultan, Rohidin alias Sultan Patra Kusumah VIII.  

Di Sunda Empire, pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan seorang kaisar agung atau Grand Prime Minister (GPH) bernama Nasri Banks, yang dipanggil ‘Rama’. Gubernur Jenderalnya bernama HRH Rangga. Entah apa HRH yang disematkan pria berkumis asal Brebes yang bernama asli Edi Raharjo itu. Rangga lebih sering muncul ke public via Youtube dan Twitter dengan namaPangeran Ranggajati II atau Dr Syaikh Ki Ageng Ranggasasana Al Mursyid, LLM. Sekusut nama alias yang ia pilih itu, Rangga punya logika yang bisa bikin pusing kepala mereka yang cukup banyak membaca.

Misalnya, dalam penamaan kekaisarannya saja ia mencampuradukkan berbagai terma yang sering orang temukan di khasanah kekaisaran. Ia sering bolak-balik menyebut Kekaisaran Sunda alias Sunda Empire itu juga sebagai Earth Empire. Sesekali juga disebutnya Kekaisaran Matahari, nama yang bagi publik bermakna Kekaisaran Jepang.

Sementara sang Bos Besar, Nasri, dalam beberapa konten Youtube kelompok itu selalu mengulang-ulang bahwa kekuasaan dunia yang saat ini berada di tangan Vatikan Roma di Italia, akan berakhir pada 15 Agustus 2020. Setelah itu kekuasaan itu akan kembali ke tangan Sunda Empire yang berpusat di Bandung sebagai ‘Korps Diplomatik Dunia’. Karena itu kelompok ini mengklaim agar semua negara di dunia segera menata ulang sistem pemerintahan agar “…tak terpuruk dan selalu mengutang sampai kiamat.”

“Mereka hanya bisa menggunakan aset-aset di bumi ini asal mereka datang ke Bandung, mendaftarkan diri pada sistem imperium dunia, Kekaisaran Sunda, Kekaisaran Matahari,”kata Nasri dalam salah satu video YouTube yang mereka unggah.

Agar terkesan sah, Sunda Empire yang mengklaim meliputi wilayah Sunda Atlantik yang berpusat di Bandung, Sunda Nusantara, Sunda Eropa, Sunda Pasifik, Sunda Archipelago dan Sunda Mainland itu mendaku sebagai pewaris kekuasaan Alexander de Griev dan Ratu Cleopatra VII. Tak jelas siapa mereka. Mungkin yang dimaksud adalah Alexander The Great. Untung saja tak menuliskannya sebagai Alexander The Greed alias Aleks Si Rakus!

Wajar bila Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebut kelompok itu sebagai kumpulan orang-orang stress. “Ini banyak orang stres di republik ini. Banyak menciptakan ilusi-ilusi yang sering kali berasal dari romantisme sejarah. Ternyata ada orang yang percaya juga jadi pengikutnya,”ujar Emil.

Pun Kementerian Dalam Negeri melalui  Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bachtiar. Ia menyebut kelompok-kelompok sejenis, khususnya Sunda Empire, sebagai kelompok orang tak waras. Bachtiar juga meminta polisi memeriksa kemungkinan adanya pelanggaran di dalam kerajaan-kerajaan abal-abal itu.

Budayawan asal Jawa Barat dan mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menilai, kemunculan kelompok yang mengaku punya kerajaan dan bangga dengan seragam ala militer itu merupakan penyakit sosial yang sudah lama akut. Di Indonesia, kata Dedi, alih-alih bekerja wajar dengan tekun, banyak kelompok masyarakat yang setiap hari mencari harta karun, emas batangan, uang Brazil dan sejenisnya. Perilaku itu berlangsung lama dan tak pernah berhenti hingga kini. “Banyak orang yang kaya raya jatuh miskin karena obsesi itu,” kata Dedi. Setelah kelompoknya dicokok polisi pun, kata Dedi, belum tentu mereka itu sadar.

Lebih spesifik lagi adalah penialian dari pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Sunu Wasono dan sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Ari Ganjar Herdiansah. Menurut Sunu, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kerajaan-kerajaan baru itu dilantarankan tekanan hidup, khususnya tekanan ekonomi yang keras. “Dalam kondisi seperti itu muncul ide atau bahkan khayalan yang aneh-aneh,” ujar Sunu. Di tengah himpitan hidup dan peluang bertahan yang kian sempit, wajar bila muncul tindakan yang tak kurang ganjil. “Masyarakat jadinya hanya berpikir atau terbayang-bayang akan keuntungan dan kehilangan daya kritis. Itu membuat mereka mau saja dikelabui.”

Sementara Ari menilai kehadiran Keraton Agung Sejagat dan sejenisnya adalah bukti fenomena masyarakat mencari alternatif di tengah ketidakpastian hidup.

“Fenomena saat masyarakat merasa bahwa dunia modern tidak memenuhi ekspektasi mereka, sehingga mereka membuat suatu pola kehidupan alternatif. Kerajaan baru itu mereka anggap sebagai sebuah solusi,” kata dia.

Sosiolog lain dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, pun berkata serupa. Ia melihat hal itu sebagai bukti adanya rasa kekecewaan terhadap negara dan pemerintahan yang tidak mampu memberikan ketenangan. “Ada kemungkinan juga karena kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia yang bertahun-tahun isinya kok berantem terus. Seolah-olah negara tidak bisa membawa kedamaian ketenteraman dan keadilan,” kata Drajat.

Di kalangan akademisi, hal seperti itu seringkali dihubungkan dengan mitos Ratu Adil dan memang bukan fenomena baru. Prof Sartono Kartodirdjo bahkan mendunia karena telaahnya yang jeli tentang hal yang berkembang terus di Tanah air, terutama Jawa, tersebut.  Sartono mengulas secara mendalam Gerakan Ratu Adil (millenarianisme) atau sering juga disebut gerakan Juru Selamat (mesianisme), sebagai gerakan ‘keagamaan’ yang menantikan datangnya seorang Juru Selamat, Imam Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran seperti pada masa lampau.

Sartono melihat seringkali Gerakan sejenis itu mengikatkan diri pada ramalan Jayabaya (untuk menyebut Ramalan Jayabaya), tentang datangnya Ratu Adil. Sartono mencatat banyak Gerakan di Indonesia berkembang dalam modus sejenis. Ia mencontohkan antara lain,

– Peristiwa Mangkuwijaya di Klaten pada1865

– Peristiwa Nyi Aciah, di Malangbong (1870)

– Peristiwa Nurhakim (1870)

– Gerakan Amat Ngaisa dan/atau Gerakan Kobra (1871)

– Gerakan Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul (1877)

– Kasus Nanggulan oleh Sukradana (1878)

– Peristiwa Imam Sujana (1886)

– Pemberontakan Srikaton di Cilegon (1888)

– Peristiwa Jasmani (1888)

– Peristiwa Tegalreja oleh Dulmadjid (1889)

– Kasus Pulung, Srikaton & Jalegong (1904)

– Gerakan Imam Buntaran (1907)

– Peristiwa Tangerang (1924)

– Peristiwa Srandakan oleh Kramaseja (1924)

– Peristiwa Tambakmerang oleh Wirasenjaya (1935), dan banyak lagi.

Gerakan Keraton Agung Sedunia, Sunda Empire dan sejenisnya, tampaknya hanya modus baru dari aneka ragam gerakan sejenis. Bedanya, kali ini urusan ‘tipu-tipu’ para penggagasnya lebih mengemuka.  

Beberapa tahun sebelum berpulang, budayawan W.S. Rendra dalam banyak forum perbincangan pernah menyinggung persoalan Ratu Adil tersebut. “Sudahlah,” kata Rendra selalu. “Ratu Adil itu tak ada. Dia tak akan datang. Lagipula kita tidak butuh Ratu Adil, kita hanya butuh hukum yang adil!” [ ]

Back to top button