Veritas

Dunia yang ‘Ambyar’: Para Mahasiswa Asing di Rantau Pandemi

Pada menit-menit terakhir, ibu pacarnya membelikan tiket untuk pulang bersama ke Orange County, California. “Saya tidak tahu di mana saya akan berada dalam dua pekan atau sebulan-dua bulan ke depan,” kata Scarlato. “Rasanya saya sudah jadi parasit.”

NEW YORK CITY– Ketika berbagai universitas ditutup tiba-tiba bulan lalu karena pandemi virus corona, banyak mahasiswa kembali ke rumah orang tua mereka dalam kondisi putus asa. Mereka harus meninggalkan kehidupan sosial dan jaringan kehidupan kampus yang menjanjikan kesempatan. Para senior mereka yang baru lulus pun segera kehilangan kesempatan untuk masuk ke jenjang social baru.

Tetapi ditutupnya kampus AS dari kegiatan belajar telah menciptakan bencana yang jauh lebih besar dalam kehidupan lebih dari satu juta mahasiswa rantau yang datang dari berbagai negara. Mereka telah meninggalkan negara asal mereka untuk belajar di Amerika Serikat. Banyak di antara mereka tinggal di asrama kampus, sementara ada pula yang mencoba mencari tempat tinggal baru, jauh dari rumah di sebuah negara yang mengalami lockdown.

Kampus yang sepi…

Kehidupan finansial sejumlah besar mahasiswa rantau itu segera berantakan: pembatasan visa mencegah mereka bekerja di kampus, yang sekarang ditutup. Dan sementara beberapa mahasiswa rantau yang berasal dari keluarga kaya di negerinya dengan mudah membayar sewa rumah atau langsung pulang sebelum persoalan lebih runyam karena pembatasan penerbangan, banyak yang lain harus berjuang menutup biaya kuliah yang jauh lebih tinggi daripada yang dibayar warga Amerika.

Ketika rekening bank mereka dengan cepat menyusut, beberapa mahasiswa rantau mengaku bahwa mereka mulai meminta bantuan dari food banks. Yang lain mungkin masih diterima duduk berleha-leha di sofa di rumah keluarga teman-teman mereka, tetapi entah sampai berapa lama mereka akan diterima. Mereka yang bergegas terbang pulang sebelum perbatasan internasional ditutup pun tidak yakin apakah bisa segera kembali.

“Dunia saya ambyar,” kata Elina Mariutsa, mahasiswa Rusia yang mempelajari hubungan internasional dan ilmu politik di Northeastern University, yang orang tuanya menjual rumah dan meminjam uang dari keluarga besar mereka untuk membayar uang semester sebelumnya. Dia sangat yakin, dengan cepatnya devaluasi rubel Rusia di tengah keruntuhan ekonomi global yang sedang berlangsung, keluarganya tidak akan mampu membayar tagihan 27.000 dolar AS untuk semester terakhir kuliahnya—apalagi membantunya untuk biaya hidupnya saat ini.

“Aku tidak yakin apakah aku akan bisa lulus. Saat ini kami benar-benar tidak dapat membayar untuk semester terakhir, dan secara harfiah hanya empat mata kuliah yang tersisa, “kata Mariutsa.

Universitas, yang sering mendapatkan sebagian besar anggaran mereka dari mahasiswa asing, mengatakan mereka telah bergerak cepat untuk membantu para mahasiswa rantau itu dengan membuka sejumlah asrama bila memungkinkan. Atau dalam beberapa kasus segera menerbangkan para mahasiswanya pulang; selain juga melobi pemerintah federal untuk mendapatkan bantuan. New York University, yang memiliki lebih banyak mahasiswa asing daripada perguruan tinggi mana pun di AS, menciptakan hibah darurat bagi para mahasiswa rantau itu.

“Sulit dan kian sulit,“ kata Jigisha B. Patel, kepala penasihat untuk mahasiswa internasional di Northeastern University. “Semua orang telah benar-benar berupaya untuk melakukan segala yang mereka bisa buat bertahan.”

Pemerintah federal telah melangkah untuk membantu mahasiswa yang terkena dampak pandemi virus corona. Tetapi sesuai dengan agenda utama Amerika, pemerintah Trump mengumumkan pada Rabu lalu bahwa mahasiswa internasional dan mereka yang tidak berdokumen akan dikeluarkan dari sekitar 6 miliar dolar bantuan pemerintah. Padahal bantuan itu ditargetkan untuk menolong para mahasiswa membayar biaya makanan dan tempat tinggal.

Banyak mahasiswa mengatakan, bantuan yang diberikan universitas mereka itu tidak cukup. “Saya sibuk mencari solusi karena tidak tahu ke mana harus pergi,” kata Anna Scarlato, seorang mahasiswa Italia yang sejak Maret lalu tahu dirinya harus keluar dari asramanya di Universitas Chicago dalam beberapa hari ke depan.

Tak punya tempat lain untuk pergi, Scarlato pindah ke asrama pacarnya di kampus berbeda. Hanya sehari, karena esoknya mereka baru tahu bahwa asrama kampus pun akan ditutup juga.

Scarlato sempat bersepakat dengan pemiliknya, untuk menyewa sebuah apartemen di Chicago. Tetapi kemudian dia dikabari bahwa orang tuanya, yang terkurung pandemi di Italia, tidak akan bisa sampai ke bank untuk mentransfer uang sewa untuknya.

Pada menit-menit terakhir, ibu pacarnya membelikan Scarlato tiket untuk pulang bersamanya ke Orange County, California. “Saya tidak tahu di mana saya akan berada dalam dua pekan atau sebulan-dua bulan ke depan,” kata dia. “Rasanya aku sudah jadi parasit.”

Ketika semua kelas di Universitas Yale dibatalkan, Sam Brakarsh, seorang siswa dari Zimbabwe, takut membawa virus untuk pulang ke orang tuanya yang sudah lanjut usia,  atau terdampar karena larangan penerbangan.  Sementara internet di rumah orang tuanya hanya berfungsi tiga jam sehari.

Bangku di kampus yang sepi, menanti mahasiswi

Sebaliknya, ia memutuskan untuk tidur sementara dengan teman sekelasnya dari Amherst, Massachusetts, yang pindah rumah bersama orang tua dan adik laki-lakinya.

Sekarang, berharap tak terlalu terlambat dan fakta bahwa asuransi kesehatannya hanya berlaku di sekitar kampus, Brakarsh berencana untuk pindah ke kamar tidur tambahan di rumah seorang profesor. Tetapi ia masih galau, karena,”Tidak ada yang pasti,” katanya.

Beberapa mahasiswa enggan untuk berbagi masalah mereka dengan keluarga mereka di negeri kelahiran yang sudah berjuang untuk membayar sekolah mereka. Stephany da Silva Triska mengatakan, ibunya di Brasil tak lagi makan di restoran, tidak mengganti mobilnya yang tua dan bobrok, dan mengurangi liburan, sehingga putrinya bisa belajar politik di California State University, Long Beach.

Pada gilirannya, Triska bekerja keras untuk membalas pengorbanan ibunya. Dia dipilih oleh para profesor sebagai senior yang luar biasa di bidangnya, dan memenangkan beasiswa kebijakan internasional yang bergengsi.

Namun upacara untuk mengakui prestasinya telah dibatalkan dan fellowship-nya ditunda. Tetapi dia memiliki masalah yang lebih besar, termasuk bahkan apakah dia akan mampu menyelesaikan kuliah atau tidak. Bisnis desain interior ibunya, yang mendanai pendidikannya yang tidak ditanggung beasiswa, telah surut.

Triska, yang tinggal di sebuah apartemen yang ia bayar dengan pekerjaan part-time-nya, masih berhutang 600 dolar AS untuk biaya kuliah selama semester terakhir ini. “Setiap kali saya masuk ke akun mahasiswa saya, saya melihat ada tagihan 600 dolar. Saya bahkan tidak tahu kepada siapa saya harus minta tolong. Andai saja mereka terbuka untuk menegosiasikan sisa utang,” kata Triska.

Para mahasiswa ‘kaya’ yang bergegas ke bandara untuk melawan waktu penutupan perbatasan, dan menunggu pandemi di rumah mereka di tanah kelahiran, juga khawatir mereka akan menghadapi rintangan hukum ketika mereka mencoba untuk kembali ke Amerika Serikat untuk menyelesaikan sekolah.

Mercy Idindili, mahasiswa tahun kedua di Yale yang mempelajari statistik, mengatakan dirinya kembali ke Tanzania setelah merasa tertekan dalam serangkaian balas-membalas email dengan administrator perguruan tingginya yang menjelaskan bahwa lembaga itu hanya akan membuat “sangat sedikit pengecualian” untuk siswa internasional yang ingin tinggal di Amerika Serikat.

Pada awalnya, Idindili membuat rencana untuk tinggal bersama seorang teman di Georgia. Tetapi ketika sesama mahasiswa rantau itu memperingatkannya bahwa pengaturan tersebut dapat menjadi tidak nyaman jika berlangsung terlalu lama, Idindili memutuskan untuk pulang pada menit terakhir.

Sebelum berangkat dengan tiket yang dibayar kampus, ia memastikan untuk memperingatkan profesornya bahwa sekitar 15 jam jam ke depan akses internetnya akan tidak konsisten karena seringnya pemadaman. “Jujur, sepanjang minggu itu sangat sulit,” katanya, “Aku banyak menangis karena sangat bingung dan sangat kecewa dengan segala yang terjadi.”

Pada awalnya, dia bangun jam 3 pagi untuk menghadiri kuliah virtual di kelas aljabar linier yang memberinya masalah. Sejak itu profesornya mulai merekam ceramah untuknya, yang membantunya terlibat.

Tetapi visa Idindili untuk masuk kembali ke Amerika Serikat berakhir Juli, dan konsulat Amerika di luar negeri semuanya ditutup tanpa batas waktu. Departemen Luar Negeri juga telah menangguhkan pemrosesan visa sampai pemberitahuan lebih lanjut.

“Saya benar-benar takut dengan apa yang terjadi jika Tanzania tidak menyelesaikan masalah ini segera, dan konsulat AS memilih untuk tetap tutup untuk waktu yang lama, sehingga saya tidak dapat memperbarui visa dan kembali ke kampus,” kata dia.

Status hukum semua mahasiswa internasional menjadi kurang pasti karena pandemi. Biasanya, visa mereka mengharuskan mereka mengambil kelas langsung, bukan online. Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk sementara mengendurkan aturan itu  karena krisis, tetapi pengecualian dapat dibatalkan kapan saja.

Beberapa siswa mengatakan mereka tidak bisa menunggu solusi yang lebih permanen untuk masalah visa mereka. Emma Tran, yang mempelajari seni studio dan psikologi di California State University, Long Beach, menangis menjelaskan bahwa uang di rekening banknya hanya cukup untuk satu setengah bulan biaya hidup, dan kemungkinan harus kembali ke Vietnam. .

Tran kehilangan kedua pekerjaannya di kampus karena pandemi corona. Penghasilan orang tuanya dari apartemen yang mereka miliki, yang setengahnya biasanya mereka sewakan untuk turis, kini kosong. Tak ada turis datang dari negeri mana pun.

Mencoba mengumpulkan uang, Tran pada awalnya pergi ke dapur umum di kampus. Tetapi orang tuanya di Vietnam melarangnya mengambil barang sumbangan yang mungkin lebih dibutuhkan orang lain daripada dia. Sejak itu, perempuan muda itu memilih makan nasi lebih banuak, dan membatasi lauk pauk yang dia konsumsi untuk menghemat uang.

“Ibuku berkata, jika hal ini tidak bisa dikendalikan dalam dua atau tiga bulan, aku harus pulang,” katanya, “Ini benar-benar menyedihkan.”

Mariutsa, mahasiswa Rusia di Universitas Northeastern, bulan lalu telah berada di luar negeri untuk magang di Jenewa, ketika dia mengetahui datangnya krisis tersebut. Dia terbangun suatu pagi gara-gara berita peringatan yang mengumumkan bahwa perbatasan Amerika akan ditutup malam itu, serta lusinan panggilan tak terjawab dari teman dan keluarga yang mengkhawatirkannya.

Di kotak emailnya ada pula email dari Northeastern yang mengatakan kepadanya untuk mengepak barang-barangnya dan segera kembali ke Amerika Serikat. Bandara di Jenewa tutup lebih awal, dan penerbangan terakhir dijadwalkan lepas landas hanya sekitar empat jam kemudian.

“Itu mungkin hari yang paling menegangkan dalam hidupku,” katanya.

Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tinggal di Swiss, setelah bosnya melarangnya terbang ke New York; sebuah titik panas coronavirus di mana dia tidak punya tempat tinggal.

Sekarang, dia hidup tanpa asuransi kesehatan dan tak berpenghasilan. Ketika uang tabungannya dari magang sebelumnya habis, dia berencana untuk pindah ke tempat rekan-rekan yang menawarkan sofa mereka.

Pada hari Jumat, dia mengetahui bahwa dia telah dipilih oleh Northeastern sebagai salah satu dari 100 senior paling berpengaruh di kelas kelulusannya tahun ini. “Ketika saya masih mahasiswa baru, saya merasa itu sebuah prestasi terbesar yang pernah ada, karena mahasiswa internasional biasanya tidak mendapatkan penghargaan itu, karena perbedaan bahasa dan budaya. Sangat sulit untuk bersinar di Amerika Serikat, “katanya.

“Tapi sekarang,” kata dia, “Saya bahkan tidak tahu apakah akan lulus. Rasanya, saat ini  apakah itu masih penting?”    [Caitlin Dickerson/ The New York Times]

*Caitlin Dickerson adalah wartawan penerima Peabody Award yang berbasis di New York dan meliput persoalan-persoalan imigrasi.

Back to top button