SpiritusVeritas

Hak-hak Anak di Dalam Islam [2]

“Pertama, janganlah mempunyai anak bila Anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika Anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang Anda setujui dari tingkah laku anak-anak Anda. Jauh lebih baik lagi bila Anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.”

Oleh  : Jalaluddin Rakhmat*

JERNIH–Apa yang terjadi bila anak kekurangan atau tidak pernah merasakan kasih sayang orangtuanya? Sebelum menjawab pertanyaan itu secara psikologis dan sebelum kita menghayati perintah Islam untuk mengungkapkan kasih sayang ini, marilah kita simak puisi Dorothy Law Nolte, berjudul “Children Learn What They Live.” Saya terjemahkan di bawah ini:

Anak-Anak Belajar dari Kehidupannya

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.  

“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan; ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan,”ujar Dorothy Law Nolte. Nabi Muhammad SAW, ketika ditegur orang mengapa mencium putranya, berkata, “Man la yarham la yurham (Siapa yang tak menyayangi, ia tak akan disayangi).” Bila orangtua gagal mengungkapkan rasa sayang kepada anak-anaknya, mereka tak akan mampu mencintai orangtua mereka. Dalam pergaulan sosial, mereka pun tak akan mampu mencintai atau menyayangi orang lain.

Pada tahun 1960-an, para psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow. Dia memisahkan anak-anak monyet dari ibunya. Kemudian, dia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan: selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri, dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh kepada anak-anaknya, dan seringkali melukai mereka.

Para psikolog menyebut situasi tanpa ibu itu sebagai maternal deprivation. Tentu saja kita tidak dapat melakukan eksperimen yang sama kepada manusia. Tetapi para peneliti menemukan gejala yang sama pada perilaku anak-anak manusia yang mengalami maternal deprivation pada awal kehidupan mereka. Pada manusia, pemisahan anak dari orangtua itu dapat secara fisik (misalnya, karena perceraian atau orangtuanya meninggal) dan dapat juga secara psikologis (yakni, ia tidak terpisah dari orangtuanya secara fisik, tetapi ia tidak mendapat kasih sayang yang memadai). Yang kedua biasanya disebut sebagai masked deprivation (deprivasi terselubung).

“Deprivasi terselubung’’ ini dapat terjadi, misalnya, kedua orangtua–ayah dan ibu– bekerja dan pulang pada sore hari dalam keadaan lelah. Mereka tak sempat bercanda dengan anak-anak mereka, atau berkumpul mengobrol dengan hangat, atau memeluk dan mencium mereka dalam keakraban. Anak-anak yang mengalami deprivasi ternyata cenderung menderita kecemasan (anxiety), rasa tidak tenteram, rendah diri, kesepian, agresivitas, negativisme (cenderung melawan orangtua), dan pertumbuhan kepribadian yang lambat. Kekurangan kasih sayang menghambat aktualisasi potensi kecerdasan yang dimilikinya, sehingga anak menjadi sukar belajar. Seperti juga pada monyet (yang secara biologis satu keluarga dengan kita), anak-anak yang kekurangan kasih sayang cenderung berkembang menjadi bapak atau ibu yang tidak mampu menyayangi anak-anaknya.

James Coleman, dalam “Abnormal Psychology and Modern Life”, menyebut kekurangan kasih sayang sebagai communicable disease (penyakit menular).

Karena itu, Islam sebagal agama yang membawa misi “rahmatan lil ‘alamin” (menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam), mewajibkan orangtua untuk mengeks-presikan kasih sayang mereka kepada keluarganya. “Orang yang paling baik di antara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya,” kata Rasulullah SAW sekali lagi. Dalam Al-Quran, memelihara kasih sayang dalam keluarga adalah perintah kedua setelah taqwa: “Bertakwalah kamu kepada Allah, tempat kamu saling bermohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga,” (QS 4:1). Kasih sayang adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh orangtuanya.

Peter Adamson, dalam buku yang diterbitkan oleh WHO, UNICEF, UNESCO (dan terjemahannya diterbitkan oleh BKS PENFIN) berjudul “Menuju Hidup Sehat dan Sejahtera”, memberikan petunjuk praktis untuk mengkomunikasikan kasih sayang kepada anak-anak kita:

“Pikiran seorang anak, demikian pula fisiknya, memerlukan bantuan untuk pertumbuhannya. Ada tiga macam ’’makanan” yang penting untuk pertumbuhan pikirannya yaitu bahasa, bermain, dan kasih sayang.

“Sejak bulan pertama kehidupannya, seorang anak perlu diajak bercakap-cakap, didekap, dan diasuh dengan penuh kasih sayang, diberi senyuman, didengarkan dan dirangsang untuk memberikan reaksi dengan bunyi-bunyian atau gerakan. Mereka perlu sentuhan, teman bicara, teman tertawa, memberikan respons dan menerima respons.

”Kurangnya perhatian akan membuat mereka tidak bahagia. Anak yang kurang perhatian akan kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, sehingga pikiran dan badannya tidak tumbuh dengan baik.

”Anak-anak belajar dengan melakukan banyak hal. Dengan demikian dalam masa pertumbuhannya, mereka perlu kebebasan untuk mencari dan bermain. Bermain-main bukanlah kegiatan yang tidak berarti, tetapi sangat penting untuk pertumbuhan anak dan dapat membantu mengembangkan mental, sosial, dan keterampilan fisiknya, termasuk berbicara dan berjalan. Bermain dapat merangsang rasa ingin tahu, kecakapan, serta percaya diri seorang anak. Bermain juga merupakan landasan sebagai dasar untuk mampu melakukan pekerjaan sekolahnya, mempelajari beberapa keterampilan yang perlu untuk kehidupannya di kemudian hari.

“Bermain tidak selalu berarti menyelesaikan masalah atau mencapai apa yang direncanakan oleh orangtua. Permainan anak, anak itu sendiri sangatlah penting.

“Merangsang anak-anak bermain dengan menyediakan barang-barang dan bermacam ide serta bahan, adalah cara yang baik untuk membesarkan anak. Alat permainan tidak selalu harus mahal. Dus-dus kosong atau alat rumah tangga sama bermanfaatnya dergan mainan-mainan yang mahal. Permainan yang imajinatif, misalnya, yang dapat berperan sebagai orangtua, sangat penting untuk perkembangan anak.

“Anak perlu bantuan untuk mengembangkan daya cipta, mereka perlu tantangan untuk dapat memecahkan masalah dan memutuskan apa yang terbaik. Anak perlu menyatakan keinginannya dan keputusannya dan melihat apa yang akan terjadi.

“Bernyanyi dan belajar irama, menggambar, membaca cerita dengan suara keras dapat membantu perkembangan pikiran anak dan mempersiapkan anak untuk belajar menulis dan membaca.

“Agar dapat tumbuh sehat, semua anak harus diberi pujian dan sanjungan atas semua hasil karyanya.”

Ketika Rasulullah menggelari putrinya “ummu abiha” (ibu yang merawat ayahnya), dia memberikan sanjungan atas perkhidmatan Fathimah. Ketika Nabi bermain dengan Hasan dan Husayn, dia sedang memberikan contoh permainan yang imajinatif. Ketika dia memeluk Hasan dan Husayn sambil berkata ”Ya Allah, aku mencintai mereka,’’ dan ketika ia mencium Fathimah seraya berkata, “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah,” dia sedang mengkomunikasikan kasih sayangnya.

Lima belas abad sesudah itu, Garry Martin dan Grayson Osborne, membenarkan sunnah Rasulullah itu. Dalam “Psychology Adjustment and Everyday Living” (1989) mereka menulis, “Semua orang dapat didukung untuk melakukan apa saja, dan tidak terkecuali anak-anak. Secara istilah, tindakan mendukung itu adalah kata halus dari peneguhan positif. Peneguh (reinforcer) yang paling berarti untuk manusia, terutama anak-anak, adalah peneguh sosial. Hal ini biasanya berbentuk pujian atau boleh juga apa saja yang mengungkapkan perhatian, senyuman, lirikan, pelukan, kecupan, dekapan, perhatian yang mendalam, dan mendengarkan yang baik. Masalah utama orangtua ialah ketika mereka harus bergaul dengan anak-anaknya pada saat mereka kurang menyukainya. Tetapi seperti kata orang, “Itulah kehidupan.” Bila ayah pulang larut malam, ia lelah. Bila ibu pun pulang, ia kecapaian. Dan mereka harus melakukan banyak hal, bekerja sebagai panitia, menjalankan fungsi sosial, edukatif, dan lain-lain. Lalu apa yang sebaiknya mereka lakukan?

“Manfaatkanlah waktu yang ada. Pertama, janganlah mempunyai anak bila Anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika Anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang Anda setujui dari tingkah laku anak-anak Anda. Jauh lebih baik lagi bila Anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.”

Penutup

Kita baru saja menunjukkan dua hak anak terhadap orangtuanya: pemberian nama yang baik dan kasih sayang. Dari hadis-hadis Nabi, kita tahu bahwa anak juga berhak mendapat makanan, pakaian, olahraga yang membantu pertumbuhan fisiknya, pendidikan yang baik untuk membantu perkembangan jiwanya, dan bimbingan agama untuk menyucikan ruhaninya.

Tidak cukup ruang untuk membicarakan semua hak itu di sini. Cukuplah kita mengunci tulisan ini dengan ucapan Ali bin Abi Thalib:

“Wahai manusia, seseorang tidak dapat melepaskan dirinya dari anak-anaknya, walaupun ia mempunyai kekayaan. Ia harus membela mereka dengan tangan dan lidahnya. Merekalah yang paling penting untuk diperhatikan dan paling utama untuk di dukung, dan paling patut disayangi ketika musibah menimpa mereka…Janganlah orang berpaling dari keluarganya yang harus ia lepaskan dari kesusahannya dengan sesuatu yang tidak akan menambahnya jika ia menahannya, tidak akan menguranginya jika ia memberikannya. Jika kamu menahan tanganmu dari anak-anakmu, mereka hanya kehilangan satu tangan, tetapi kamu kehilangan tangan yang banyak. Siapa yang dicintai keluarganya ia akan dicintai kaumnya.” (Nahj Al-Balaghah, Khutbah ke-23). [  ]

*Almarhum, penceramah terkemuka dan cendikiawan Muslim

Dari “Islam Aktual”, Mizan, Bandung, Mei 1991

Back to top button