Human Rights Watch: Kejahatan Kemanusiaan Cina Kepada Warga Uighur Sistematis
Laporan HRW berjudul “Kejahatan Cina Terhadap Kemanusiaan yang Menargetkan Uighur dan Muslim Turki Lainnya: Putus Garis Keturunan Mereka, Musnahkan Asal Mereka” menyimpulkan bahwa Beijing melakukan kebijakan sistematis dan meluas dengan penahanan massal, penyiksaan, kekerasan budaya dan pelanggaran lainnya.
JERNIH–Sebuah laporan terbaru yang dirilis pada Senin (19/4) lalu oleh Human Rights Watch (HRW) dan Klinik Penyelesaian Konflik dan Hak Asasi Manusia Sekolah Hukum Stanford, menyebutkan bahwa pemerintah Cina telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim Uighur dan minoritas Turki lainnya di wilayah Xinjiang.
Laporan berjudul “Kejahatan Cina Terhadap Kemanusiaan yang Menargetkan Uighur dan Muslim Turki Lainnya: Putus Garis Keturunan Mereka, Musnahkan Asal Mereka” membandingkan laporan terdahulu, laporan media, dokumen pemerintah, dan data yang ada dari Cina, dan menyimpulkan bahwa Beijing melakukan kebijakan sistematis dan meluas atas penahanan massal, penyiksaan, kekerasan budaya dan pelanggaran lainnya.
“Otoritas Cina telah secara sistematis menganiaya Muslim Turki–hidup mereka, agama dan budaya mereka,” kata Sophie Richardson, direktur HRW Cina, dalam laporan itu. “Beijing mengatakan pihaknya menyediakan ‘pelatihan kejuruan’ dan ‘deradikalisasi’ tetapi retorika itu tidak dapat mengaburkan realitas suram kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional dalam laporan tersebut mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran serius yang “dilakukan dengan sengaja” sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil.
Bentuk komisi penyelidikan
Kejahatan yang disebutkan dalam laporan tersebut antara lain penahanan, perampasan kemerdekaan yang melanggar hukum internasional, penganiayaan terhadap kelompok etnis atau agama yang dapat diidentifikasi, penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan, dugaan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan hebat atau cedera serius pada kesehatan mental atau fisik, kerja paksa dan kekerasan seksual.
Laporan mendesak Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) untuk membentuk komisi penyelidikan (COI) untuk menyelidiki kejahatan tersebut.
“COI harus memiliki mandat untuk menetapkan fakta, mengidentifikasi pelakunya, dan membuat rekomendasi untuk memberikan pertanggungjawaban,” kata laporan itu. “COI harus terdiri dari orang-orang terkemuka, termasuk ahli hukum hak asasi manusia internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan, hak etnis dan agama minoritas, dan masalah gender.”
Meluas dan sistematis
HRW memperkirakan satu juta orang telah ditahan di 300 hingga 400 fasilitas penahanan di seluruh Xinjiang sejak tahun 2017, dengan pengadilan di wilayah tersebut diduga menjatuhkan “hukuman penjara yang berat” tanpa adanya proses hukum.
“Menurut statistik resmi, penangkapan di Xinjiang menyumbang hampir 21 persen dari semua penangkapan di Cina pada tahun 2017, meskipun orang-orang di Xinjiang hanya 1,5 persen dari total populasi,” kata laporan itu.
Selain itu, bukti menunjukkan bahwa otoritas di Xinjiang telah menggunakan berbagai cara untuk merusak atau menghancurkan setidaknya dua pertiga masjid di Xinjiang. Otoritas lokal juga menerapkan jaringan pengawasan yang luas di seluruh wilayah dengan mengumpulkan sampel DNA, sidik jari, pemindaian mata, dan golongan darah penduduk Xinjiang yang berusia antara 12 dan 65 tahun.
Kepada Deutsche Welle, aktivis HRW Richardson mengatakan bahwa laporan tersebut menyoroti kebijakan pemerintah Cina yang telah menyasar warga Uighur dan minoritas Turki lainnya dalam beberapa tahun terakhir. “Kami sampai pada kesimpulan bahwa pelanggaran ini sesuai dengan definisi meluas dan sistematis,” tutur Richardson.
Para ahli mengatakan bukti-bukti yang ada memungkinkan komunitas internasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
“Saya pikir sangat penting (bagi negara-negara) untuk meminta PBB membentuk komisi penyelidikan tidak hanya kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi juga genosida,” kata Yonah Diamond, penasihat hukum untuk Pusat Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg kepada DW.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan sangat penting bagi PBB untuk memasukkan masalah hak asasi manusia Xinjiang ke dalam agenda UNHRC. “Komisaris tinggi harus mencoba mencari jalan ke depan, apakah itu melalui resolusi atau melalui cara lain seperti debat yang mendesak,” kata Richardson.
“Saya pikir penting juga untuk diingat bahwa ada pilihan yang tersedia bagi pemerintah di luar sistem PBB. Ada rekomendasi di mana jaksa nasional atau federal mulai mengumpulkan bukti dan ada juga prospek kasus yurisdiksi universal,” tambahnya.
Sementara Diamond mengatakan ini adalah tanggung jawab negara-negara dan ahli independen untuk menindak Cina. “Ada konsensus nyata dalam komunitas hukum internasional bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida sedang terjadi di Xinjiang,” kata Diamond. “Pemerintah harus terus menggunakan Global Magnitsky Act atau sanksi hak asasi manusia untuk menargetkan individu dan entitas yang paling bertanggung jawab atas (krisis hak asasi manusia di Xinjiang).”
Para ahli yakin keputusan hukum ini juga dapat menawarkan dukungan kepada warga Uighur di luar negeri dan etnis minoritas lainnya. “Kami ingin Uighur, Kazakh dan komunitas Turki lainnya di dalam dan di luar Xinjiang tahu bahwa kami pasti menyadari ini adalah mimpi buruk yang sedang berlangsung dan kami ingin melakukan segala yang kami bisa untuk mendorong gagasan pertanggungjawaban,” kata Richardson. [Deutsche Welle]