Kelenteng Hok Tek Bio, Bukti Eksistensi Pecinan di Ciamis
CIAMIS – Hari ini adalah hari ketiga di tahun baru Imlek 2571. Salah satu tempat untuk merayakan Imlek bagi warga keturunan Tionghoa di Ciamis adalah Kelenteng Hok Tek Bio. Kelenteng ini merupakan salah satu mata rantai sejarah tentang keberadaan dan eksistensi Warga keturunan Tionghoa di Kabupaten Ciamis.
Walaupun Kelenteng Hok Tek Bio merupakan kelenteng yang dibangun pada masa penjajahan Jepang, namun riwayat keberadaan kelenteng di Ciamis yang berdiri seiring terbentuknya kawasan Pecinan diperkirakan telah ada sejak abad 18 M. Lebih muda dari masa itu, hadirnya kelenteng di Ciamis setidaknya terlacak tahun 1867. Hal tersebut berdasarkan petunjuk ukiran hurup Mandarin pada papan lambang kebesaran Kongco di Hok Tek Bio yang sudah terhapus ketika di cat ulang.
Di papan tersebut tertulis : Jaman Mancu pada masa pemerintahan Kaisar Tung Che tahun ketiga. Diketahui bahwa Kaisar Tung Che atau Tung Chih (Tong Zhi) lahir tahun 1856 dan naik takhta tahun 1861, yaitu saat berusia 5 tahun. Setelah berkuasa 14 tahun, Ia wafat tahun 1875. Bila keterangan pada papan tersebut yang menyebutkan tahun ketiga dari masa pemerintahan Kaisar Tung Che, maka diperkirakan kelenteng yang dibangun di Ciamis terjadi pada tahun 1864 Masehi.
Berdasarkan catatan terbitan kelenteng tahun 2008, disebutkan bahwa pembangunan di tahun 1867 diperkirakan merupakan renovasi kelenteng yang disumbang oleh dua orang marga Oey. Kisah tersebut sejalan dengan cerita turun temurun dari para sesepuh keturunan Tionghoa dan pengurus kelenteng bahwa sebelum berdiri Kelenteng Hok Tek Bio di Jalan Ampera II, telah ada kelenteng sebelumnya yang altar utamanya Kongco Hok Tik Ceng Sien.
Kelenteng pertama tersebut diperkirakan berlokasi di tempat yang sekarang menjadi Gedung Puspita Ciamis. Sejauh ini belum diketahui kapan tahun dibangunnya kelenteng generasi pertama itu. Namun tahun 1742 diberitakan ada seorang bermarga Oey membawa Toapekong (Kongco Hok Tek Ceng Sien) dari Provinsi Hokian Tiongkok ke Ciamis. Maka dari berita tersebut dapat diperkirakan kelenteng pertama di Ciamis telah ada di pertengahan abad 18 Masehi.
Eksistensi warga keturunan Tionghoa di Ciamis setidaknya sudah mencuat pada masa pemerintahan R.A.A. Kusumadiningrat, Bupati Galuh Ciamis ke tiga yang memerintah tahun 1839 sampai 1886. Bupati yang terkenal dengan sebutan Kanjeng Prebu ini memiliki delapan istri. Salah seorang istrinya adalah keturunan Tionghoa bernama Pit Nio, putri Babah Tehek (De Kek). Setelah dinikahi Kanjeng Prebu, Pit Nio memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Ni. R.A. Juwita Ningrat. Ia wafat dimakamkan di Situs Jambansari, satu komplek dengan makam Kanjeng Prebu.
Baca juga : Cahaya Lampion dan Malam Imlek 2571 di Kelenteng Hok Tek Bio Ciamis
Adanya warga keturunan Tionghoa yang menikah dengan bupati secara tidak langsung menggambarkan adanya kedekatan hubungan keturunan Tionghoa di Galuh Ciamis dengan kalangan ningrat saat itu. Namun dari latar belakang kisah pernikahan Kanjeng Prebu dan Pit Nio, menunjukan bahwa dalam hal tradisi pernikahan, warga keturunan Tionghoa pada saat itu pengkuh mempertahankan tradisinya.
Hal itu diperlihatkan oleh sikap Babah Tehek yang menolak mentah-mentah lamaran Kanjeng Prebu, karena dianggap tidak lajim orang sunda menikah dengan orang Cina. Sang Bupati Galuh baru bisa menikahi Pit Nio setelah Babah Tehek meninggal karena jatuh setelah ‘digadil’ tanduk uncal kesayangan Kanjeng Prebu yang bernama Si Bujang di tepi Sungai Cileueur.
Kematian Babah Tehek cukup menghebohkan dan disebut sebagai rajapati di Ciamis. Bahkan Kanjeng Prebu, karena ulah Si Bujang, dituduh menganiaya orang Cina sampai meninggal gara-gara ditolak lamarannya. Bahkan kasus tersebut sampai mendatangkan pemeriksa dari Batavia. Dari hasil pemeriksaan ternyata tidak ditemukan bukti kuat kalau Kanjeng Prebu bertanggungjawab atas terbunuhnya Babah Tehek. Si Bujang sebagai tertuduh, menunjukan hewan jinak, yang tidak mungkin ‘ngagadil’ manusia.
Sedangkan kisah berdirinya Kelenteng Hok Tek Bio sebagai kelanjutan dari kelenteng pertama di Pecinan dimulai menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu dijaman penjajahan Jepang. Lokasi yang dulunya merupakan bangunan kelenteng, seiring perubahan jaman kemudian menjadi gedung Chung Hoa Chung Hwee, yaitu organisasi yang pro Koumintang atau Partai Nasionalis Tiongkok yang didirikan oleh Sun Yat Sen.
Gedung itu digunakan pula sebagai sekolah Tionghoa (Chung Hoa Sie Siauw). Di dalam gedung tersebut terdapat altar Kongco Hok Tek Ceng Sien yang kemungkinan memiliki hubungan dengan keberadaan kelenteng sebelumnya. Ketika Jepang menjajah Indonesia, seorang serdadu sekaligus pengusaha Jepang bernama Fukuyama datang ke Ciamis awal tahun 1943. Fukuyama sebetulnya adalah orang Tionghoa dari suku Hokian yang menjadi serdadu jepang karena sejak remaja tinggal di Jepang.
Ia adalah serdadu Jepang yang memuliakan Kongco Hok Tek Ceng Sien. Oleh karena itu, ketika datang ke Ciamis, Fukuyama sering bersembahyang di Gedung Chung Hoa Chung Hwee di depan altar Kongco Hok Tek Ceng Sien. Namun karena situasi dan kondisi membuat Fukyama tidak nyaman untuk sembahyang, Ia kemudian menganjurkan membuat kelenteng di tempat lain. Maka dibangunlah Kelenteng Hok Tek Bio di tanah seluas 448 meter2 yang terletak di jalan Ampera II no. 17. Lokasinya tidak jauh dari gedung Chung Hoa Chung Hwee atau yang sekarang menjadi Gedung Puspita Ciamis.
Catatan Kelenteng menuliskan bahwa Kelenteng tersebut memiliki 4 buah Altar, yaitu : Altar Nabi Khong Cu (sebelah barat) dan sekarang dipakai tempat Joli yang baru, Altar Khongco Hok Tik Ceng Sien pada tempatnya yangsekarang, Altar Kongco Kwan Kong, di tempat yang sekarang ditempati Altar Wu Lu Cai Sen, sedang Altar Maco Kuan Im, pada tempat yang sekarang ditempati Altar Hian Thian Siang Tee.
Pengurus kelenteng Hok Tek Bio saat pertama kali didirikan dipercayakan kepada Ong Hok Djoe (Ong Hardjadinata). Sejak saat itu, setiap tanggal 1 sampai 15 Imlek atau yang disebut Ce Iet Cap Go banyak warga keturunan Tionghoa yang bersembahyang di Kelenteng Hok Tek Bio tersebut. Hok Tek Bio bermakna : Hok artinya dewa, Tek artinya kebijakan dan Bio artinya tempat. Sedangkan nama kelenteng merupakan istilah yang diambil dari bunyi lonceng. Dalam bahasa kunonya, kelenteng disebut bio atau miao sebagai istilah untuk tempat kebaktian dan penghormatan terhadap Nabi Khong Cu.
Di tahun 1953, pertama kalinya diusulkan untuk mengundang penceramah dari daerah lain yang sudah berdiri perkumpulan Khong Kauw Hwee untuk mengisi kegiatan Ce Iet –Cap Go. Khong Kauw Hwee merupakan perkumpulan agama Kong Hu Cu yang didirikan di Sala tahun 1918. Lembaga ini sempat vacum saat Jepang masuk ke Indonesia. Namun rupanya berkembang kembali di tahun 1950-an.
Maka tahun 1953, pada Cap GweeCe Iet 2504, diselenggarakan kebaktian pertama di Kelenteng Kok Tek Bio dengan penceramah dari Khong Kauw Hwee Bandung yaitu Tjan Hwat Kiet. Setahun kemudian, yaitu pada Rabu 27 Oktober 1954, pada Cap Gwee Ce Iet ke 2505 berdiri perkumpulan Agama Khonghucu (Khong Kauw Hwee ) Ciamis yang diketuai oleh Ong Hok Djoe (Ong Hardjadinata) dan kepengurusannya dilantik oleh Dr. Kwee Tjie Tiok (Alm), tokoh Khong Kauw Hwee Solo.
Setelah adaanya kepengurusan Kelenteng Hok Tek Bio, kegiatan keagamaan, sosial dan budaya berkembang dengan baik. Kegiatan religi yang saat itu rutin dilakukan di kelenteng adalah Sembahyang akhir tahun (Imlek), Sembahyang King Thi Kong, perayaan Cap Go Me (Gotong Toa Pek Kong), Upacara Che Tiong (dilaksanakan di Bong pada 7 hari atau 10 hari sesudah Ceng Beng sebagai upacara penutup Ceng Beng), Sembahyang Kong Hoo Ping (setiap Cit Gwee 25), Sembahyang Tiong Chiu, Ji Si Siang Ang, memandikan Kongco dll.
Dalam seni budaya, berkembang pula kesenian Barongsay serta diselenggarakannya Kirab Kongcu (Gotong Toapekong) pada puncak Cap Go Meh. Pertunjukan Wayang Potehi juga pernah ditampilkan dalam acara tersebut. Dalam bakti sosial diselenggarakan penyebaran bibit ikan di Situ Lengkong Panjalu. Setiap acara-acara religi tersebut dihadiri oleh umat dari Ciamis dan daerah lainhya seperti Tasikmalaya dan Banjar. Periode menggeliatnya acara-acara religi dan semaraknya budaya Tionghoa di Kelenteng Hok Tek Bio Ciamis berlangsung sebelum Orde Baru berkuasa.
Ketika rezim Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto berkuasa, kehidupan etnis Cina berada dalam tekanan. Munculnya Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967 membuat semua yang berbau Cina, baik itu kegiatan keagamaan, adat istiadat, kepercayaan, budaya dilarang untuk dilakukan dan ditampilkan. Setelah itu muncul Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang menginstruksikan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia.
Akhirnya, Warga Keturunan Tionghoa dapat berbafas lega setelah mendapatkan kebebasan untuk mendenyutkan religi dan budayanya secara terbuka, yaitu pada saat Gus Dur menjadi Presiden RI. (Pd)