Solilokui

Parpol No, Akal Sehat, Yes!

Sebab parpol tidak melahirkan politikus dan negarawan andal. Malah cuma melahirkan koruptor-koruptor bermasalah, yang menimbulkan kekecewaan rakyat

Oleh :  Usep Romli HM

Menjelang pemilihan umum tahun 1971, muncul slogan kampanye  “Parpol No, Pembangunan, Yes”. Partai politik waktu itu dianggap ikut berdosa atas keterpurukan ekonomi dan politik nasional di bawah Presiden Sukarno (1945-1966), yang berujung pada pemberontakan “G-30-S/PKI”.

Kelompok “pembaharuan” pendukung pemerintah Orde Baru, di bawah  Presiden Suharto, menginginkan perubahan di segala bidang. Dimulai dari perubahan sistem politik yang semula “ideological oriented” (orientasi ideologi) menjadi “program oriented” (orientasi program).

Usep Romli HM

Maka pemilu 1971, yang dikuti delapan parpol eks-pemilu 1955 (NU, PNI, PSII, Perti, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba), tambah satu parpol produk Orde Baru (Parmusi), dan Sekber Golkar, merupakan saat-saat terakhir kehidupan parpol. Tahun 1973, mereka dipaksa mengikuti program penyederhanaan parpol.  NU, PSII, Perti, Parmusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba, mejadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sehingga kekuatan politik nasional tinggal dua parpol (PPP dan PDI) serta satu Golkar yang tidak mau disebut parpol.   

Peran dan fungsi kedua parpol tersebut di DPR/MPR, sangat kecil. Karena mayoritas kursi di kedua lembaga legislatif  itu, dikuasai Golkar (260 kursi) dan ABRI, yang mendapat 100 kursi gratis.

Setelah rezim Orde Baru tumbang 21 Mei 1998, mulailah parpol bernafas lega. Semua sibuk membuat parpol. Bahkan Golkar pun segera menjadi parpol.

Peristiwa pahit selama rezim Orde Baru, seharusnya menjadi cermin bagi parpol-parpol di masa reformasi. Kebebasan mengembangkan ideologi, merupakan kesempatan emas bagi parpol-parpol yang memiliki ideologi “mapan”, seperti Islam dan nasionalis, melahirkan kader-kader bermutu tinggi, baik sebagai negarawan, maupun sebagai politikus tulen. Kader-kader yang mampu membawa bangsa dan negara dari berbagai keterpurukan di segala bidang.   

Tapi tampaknya, para elit parpol terlena dalam menghirup udara kebebasan reformasi. Mereka tidak mampu mewujudkan tuntutan masa kini dan masa depan bangsa dan negara. Sebab parpol tidak melahirkan politikus dan negarawan andal. Malah cuma melahirkan koruptor-koruptor bermasalah. Sehingga menimbulkan kekecewaan rakyat. 

Yang lebih memprihatinkan, di tengah krisis kepercayaan terhadap parpol, para elit parpol yang duduk di DPR, nampak  tenang-tenang saja. Bolos rapat, atau hanya sekadar menandatangani absensi, lalu pergi. Ada yang ikut rapat, namun “ngorok” saja di tempat duduk seharga jutaan rupiah dengan mengatasnamakan rakyat itu.

Apalagi jika meneliti berbagai produk UU yang dihasilkan DPR. Seperti UU No.23 Th.2006, yang telah diamandemen menjadi UU No.24 Th. 2013,  tentang Administrasi Kependudukan. Nyaris tak pernah disosialisasikan. Maka ketika akan dilaksanakan sekarang, muncul keresahan akibat isu penghapusan kolom status agama. Muncul perdebatan “ngalor ngidul” di tingkat akar rumput. Sehingga tak mustahil akan mengundang konflik horisontal.

Bahkan, membuat UU untuk dirinya sendiri, DPR amat tak mampu. Contoh nyata, UU MD3 yang  menimbulkan pertengkaran dan perpecahan berlarut-larut  di kalangan internal DPR.

Apakah para anggota  DPR, dalam hal ini parpol, tidak belajar kepada sejarah 55 tahun lalu? Ketika parpol dan DPRGR, dituding andil dalam kehancuran bangsa dan negara, akibat pertarungan ideologi dan kepentingan kelompok sendiri?

Bahkan, di tengah serangan pandemi Corona, peran serta  parpol nyaris tak tampak. Malah mereka tampak bernafsu untuk melakukan pembahasan RUU Omnibus Law yang penuh kontroversi itu. Seolah-olah mereka menggunakan kesempatan ketakutan masyarakat oleh Corona Covid-19 , untuk meloloskan RUU Omnibus Law secara tergesa-gesa. Persis seperti meloloskan UU KPK baru yang impoten itu.

Ketakberdayaan parpol di tingkat pusat, merembet ke daerah-daerah. Kegiatan pencegahan Corona dan dampaknya, mulai dari penyemprotan hingga pembagian sembako untuk warga yang “stay at home”, sebagian besar dilaksanakan oleh komunitas-komunitas relawan  independent non parpol.  

Karena itu, jangan heran, jika esok lusa muncul lagi slogan “Parpol No !” seperti tahun 1971. Masa suram parpol, lambat atau cepat, mulai menjelma.[  ]

Back to top button