
Ramdansyah menampilkan bukti kerugian publik melalui foto-foto yang memperlihatkan dampak kemacetan terhadap layanan darurat, termasuk pasien yang harus didorong di ranjang oleh tenaga medis melintasi jalan macet menuju RSUD Koja. “Kalau ini diabaikan, maka mereka yang terdampak dapat bersama-sama melakukan class action,” ujarnya.
JERNIH– Kemacetan selama 24 jam yang terus terjadi di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, kembali menjadi sorotan tajam masyarakat. Masalah yang telah berlangsung lama itu dibahas dalam diskusi publik daring yang digagas Masjid Al-Mukarromah, Rumah Demokrasi, dan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (FH Untag) Jakarta pada Ahad (20/4/2025).
Diskusi yang dipandu oleh Ramdansyah dari Rumah Demokrasi itu menghadirkan para pembicara dari wilayah Tanjung Priok, termasuk Ketua Umum Serikat Pekerja Tenaga Kerja Bongkar Muat (SP TKBM) Indonesia, Subhan Hadil. Subhan menilai kemacetan ini sebagai bentuk kegagalan sinkronisasi antarinstansi.
“Kemacetan ini sudah berlangsung lama, dan dampaknya sangat nyata bagi kami pekerja harian. Tidak ada kompensasi untuk hari kerja yang hilang. Sopir logistik pun kehilangan waktu karena hanya bisa menunggu,” kata Subhan.
Subhan menyebut dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga sosial dan immaterial. “Alur ekspor-impor terhambat, biaya logistik melonjak drastis, efisiensi industri menurun, bahkan bisa menggerus kepercayaan global atas sistem pelabuhan nasional,” ujarnya.
Subhan juga menyoroti minimnya perlindungan bagi sopir dan pekerja harian. “Banyak sopir tidur di truk berhari-hari tanpa fasilitas mendasar. Tidak ada dukungan moril, finansial, atau asuransi sosial dari pengusaha atau asosiasi,” katanya.
Pimpinan Media Sosial Network Nawala, Yamin El Rust, menyoroti lemahnya sistem manajemen antrean truk. “Sistemnya masih manual atau semi digital. Real-time tracking tidak jalan, dan petugas tidak tahu kondisi di lapangan,” kata Yamin.
Ia mengusulkan tiga solusi utama: penjadwalan slot truk yang ketat dan digital, penerapan traffic marshal gabungan yang mengandalkan teknologi pemantau lalu lintas, serta penyediaan buffer zone darurat untuk parkir truk sementara.
Mantan anggota DPRD DKI Jakarta dua periode, Maman Firmansyah, juga angkat suara. Ia menilai keuntungan besar Pelindo tidak berbanding lurus dengan kondisi warga sekitar.
“Infrastruktur memang dibangun, seperti jalan tol, tapi nyatanya tak berdampak signifikan di kawasan pelabuhan. Tolnya mahal, tapi macet tetap parah,” kata Maman. Ia bahkan mempertanyakan kontribusi nyata Pelindo terhadap Pemkot Jakarta Utara. “Kalau memang Pelabuhan Tanjung Priok tidak lagi layak untuk ekspor-impor, mungkin sudah saatnya difungsikan sebagai pelabuhan penumpang saja,” ujarnya.
Ramdansyah, pimpinan Rumah Demokrasi, menyebut bahwa warga terdampak dapat menempuh jalur hukum melalui gugatan class action sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002.
“Class action dapat diajukan karena ada pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak terhadap orang banyak. Ini akan tidak efektif jika diselesaikan sendiri-sendiri,” kata Ramdansyah.
Ia menampilkan bukti kerugian publik melalui foto-foto yang memperlihatkan dampak kemacetan terhadap layanan darurat, termasuk pasien yang harus didorong di ranjang oleh tenaga medis melintasi jalan macet menuju RSUD Koja.
“Kalau ini diabaikan, maka mereka yang terdampak dapat bersama-sama melakukan class action,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan seruan agar pemerintah dan semua pemangku kepentingan segera bertindak menyelesaikan masalah kronis ini sebelum makin banyak korban dari warga sipil dan pekerja logistik yang terdampak langsung. []