Menyusul Uighur, Kini Giliran Muslim Hui Dijebloskan ke Kamp Tahanan
Ada pula korban lain, Ma Zhongbao, seorang dermawan Hui berusia sekitar 80 tahun. Ia ditahan karena membangun sebuah masjid
ALMATY- Sebagaimana banyak yang memprediksi sebelumnya, setelah Uighur, kini Suku Hui yang mayoritas Muslim juga mengalami perlakuan yang sama dengan Uighur: pemerintah Cina menjebloskan mereka ke dalam kamp tahanan dengan dalih reedukasi.
Penegasan hal itu ditulis dalam sebuah artikel oleh Gene A Bunin, seorang penulis dan penerjemah yang melakukan riset tentang Bahasa kaum Uighur di Xinjiang sejak 2008 lalu. Menurut Bunin dalam artikel panjang yang dimuat Foreign Policy, kini tak sedikit orang Hui yang ditahan bersama warga Uighur di Xinjiang.
Terbukanya kasus Hui tersebut bermula dari seorang pemuda Hui, Ma Like, yang meninggalkan Beijing pada 2010 untuk pergi ke ujung lain negara itu, Kashgar, kota yang baru saja menjadi daerah ekonomi khusus di Xinjiang. Di sana, Ma, yang berasal dari provinsi tetangga Gansu, memulai sebuah usaha, bergabung dengan Asosiasi Komersial Kashgar-Gansu, dan membuka hostel bagi para turis muda. Pada Juli 2016, hostel dan pemiliknya yang kian membesar itu diliput media nasional.
Namun pada awal 2017, kehidupan Ma yang mulai membaik itu berubah drastis. Ditangkap pemerintah Cina dan didakwa karena “menyebarkan ekstremisme”. Ternyata, hal itu datang dari unggahan ulang akun media sosial Weibo Ma, tiga tahun sebelumnya. Ma saat itu mengkritik kebijakan pemerintah daerah. Segera ma menjadi korban awal dari penindasan berupa penahanan massal.
Akun Weibo itu tidak aktif sejak 12 Januari 2017. Sekitar sepertiga dari 2.000 unggahan dan repost-nya hilang, dan terblokir sejak September 2016. Tak hanya itu, hostel Ma pun lenyap tanpa bekas. Foto-foto satelit mengonfirmasi bangunan itu dihancurkan pada musim semi tahun lalu.
Ma hanyalah satu dari jutaan orang yang berpotensi ditahan sebagai bagian dari penindasan massal pemerintah Cina di wilayah tersebut. Mayoritas tahanan jelas adalah warga Uighur, etnis Muslim di Xinjiang. Namun kasus Ma menonjol karena ia berasal dari etnis Hui, kelompok tradisional Muslim lainnya yang dengan populasi lebih dari 10 juta orang di Cina.
Seringkali dengan gampang disebut sebagai ‘Muslim China”, sebagai sebuah etnis Hui memiliki spektrum luas sebagai etnis campuran sekian banyak pernikahan campuran berusia ribuan tahun antara ras Cina dengan Turki, Arab dan Persia. Sementara sebagian besar Muslim berbasis di pedalaman Cina, dengan masjid-masjid yang indah, Hui yang deranggotakan lebih dari satu juta orang di Xinjiang, membentuk etnis minoritas bersama sebagian orang Turk di wilayah tersebut.
Namun, berbeda dengan tetangga Turk mereka seperti Uighur, Kazakh, dan Kirgistan, etnis Hui–sambil mempertahankan identitas mereka sebagai Muslim, secara tradisional lebih dekat dengan mayoritas etnis Han di Cina dalam bahasa, budaya, dan bahkan seringkali fisik. Itulah mungin, yang membuat suku Hui tak menonjol sebagai korban penindasan di Cina. Hal itu pula yang dengan segera membuat orang berpikir bahwa di Xinjiang kasus Ma Like cenderung menjadi pengecualian.
Namun, menurut artikel Foreign Policy, yang terjadi kini sebaliknya. Seperti yang sering terjadi, beberapa indikasi paling awal tentang penangkapan dan penghilangan paksa berasal dari mahasiswa asing dan lulusan baru yang dilahirkan di wilayah tersebut tetapi kemudian pergi ke luar negeri untuk belajar.
Hanya beberapa bulan setelah hilangnya Ma Like, pasangan muda Hui yang lulus dari Universitas Islam Internasional Islamabad dan mengelola sebuah restoran di kota itu, Ma Xuexian dan Ma Yuanlan, melakukan perjalanan dari Pakistan ke Cina, untuk kemudian menghilang. Wang Yali, wanita Hui yang lulusan jurusan pendidikan dari universitas yang sama dan bekerja di Citibank cabang Pakistan, kembali ke Cina setahun kemudian, juga untuk kemudian menghilang. Menurut seorang teman, Ma Xuexian dan Wang Yali muncul kembali secara online pada musim semi 2019, kemungkinan setelah dibebaskan.
Pada akhir 2017, Zhou Yueming, mahasiswa Muslim Hui dari Amerika Serikat kembali ke Cina. Ia datang hanya untuk mengalami pemenjaraan selama beberapa bulan. Kesalahannya karena menggunakan VPN untuk mengakses akun Gmail miliknya. Beberapa bulan setelah itu, seorang siswa Hui dari Eropa juga menjalani masalah serupa, hanya karena WhatsApp yang terpasang di telepon selulernya.
Kisah-kisah lain terungkap dengan cara yang lebih serampangan. Pada 2018, organisasi Atajurt Kazakh Human Rights di Almaty, kelompok yang telah mendokumentasikan ribuan korban (kebanyakan orang Kazakh) mengunggah video Ma Zhengxiu, etnis Hui yang diduga ditahan karena menonton konten keagamaan di internet. Ada pula korban lain, Ma Zhongbao, seorang dermawan Hui berusia sekitar 80 tahun. Ia ditahan karena membangun sebuah masjid.
Pada waktu yang sama, poster buronan berisikan perintah penangkapan Mou Guojian, lelaki Hui yang diduga melarikan diri dari penahanan, menyebar di Xinjiang. Sementara The National Public Radio memuat berita pada September 2019, yang menyebutkan ada dua Hui dengan domisili di Xinjiang yang dilaporkan dikirim ke kamp reedukasi karena telah melakukan ibadah haji.
Lebih lanjut, berbagai laporan beredar di media sosial dan kanal aktivis kebebasan beragama, melaporkan penahanan massal orang-orang Hui. Dalam salah satu laporan, seorang lelaki Hui digambarkan telah meninggal setelah dipaksa menghabiskan 78 jam di sarana penyiksaan ‘kursi harimau’.
Pada Juni 2018, organisasi Bantuan Kristen Cina melaporkan bahwa orang-orang Hui didaftar bersama orang-orang Uighur dan Kazakh, sebagai bagian dari warga yang akan menempati pusat-pusat penahanan pra-sidang di Xinjiang. Tak hanya itu, Bitter Winter, majalah tentang kebebasan beragama, mengutip sumber-sumber mereka di Xinjiang, menerbitkan sejumlah laporan tentang perlakuan yang dialami orang-orang Hui.
Disebutkan,43 orang penduduk sebuah desa yang terdiri atas lebih dari 60 rumah tangga Hui di Prefektur Tacheng, telah ditahan. Dengan menggunakan sampel lebih dari 400 rumah tangga dengan rata-rata tiga atau empat anggota, akan menunjukkan tingkat penahanan 17 hingga 24 persen, sama dengan persentasi mereka yang ditahan di wilayah Uighur tertentu.
Menurut Bai Huzhou—sebut saja begitu, lulusan Universitas Islam Internasional Islamabad dan penduduk asli Prefektur Otonomi Changji Hui Xinjiang, penahanan kini seoah nasib yang tak bisa dilawan. Bekerja pada sebuah perusahaan Cina di Pakistan, Bai berkewajiban untuk kembali ke Cina pada 2018 untuk mendapatkan visa kerja baru.
Sadar akan situasi di Xinjiang, pada 2017 ia berpura-pura kehilangan paspor Cina dan memperoleh paspor baru yang tidak memiliki begitu banyak visa Pakistan. Asal tahu saja, Pakistan adalah salah satu dari 26 “negara sensitif” yang menyebabkan orang-orang di Xinjiang sah untuk ditahan karena berkunjung.
Seorang Kazakh yang pernah setahun menghuni kamp tahanan di Kota Tacheng, memperkirakan jumlah Hui yang ditahan bersamanya berjumlah ratusan. Menurut dia, Hui umumnya ditahan di sel yang berbeda, sedangkan Uighur dan Kazakh seringkali disatukan.
Menurut Nurlan Kokteubai, yang menghabiskan tujuh bulan di sebuah kamp di County Chapchal, banyak orang Hui ditahan di sana. Ketika ditanya apakah ada perbedaan dalam penanganan atau penahanan berdasarkan etnis, dia mengaku tidak ada. “Tidak masalah jika Anda Uighur, Kazakh, Kirgistan, atau Hui. Semua sama. Jika Anda pernah ke masjid sebelumnya, Anda ada di sana.”
Yang menjadi pertanyaan, jika orang-orang Hui benar-benar menjadi sasaran penahanan massal, mengapa kita tidak mendengar lebih banyak tentang hal itu mengingat kehadiran mereka yang signifikan di Xinjiang? Kazakh, yang memiliki populasi serupa, telah mengajukan lebih dari 2.000 nama korban. Diaspora Uighur juga telah melaporkan beberapa ribu. Bahkan Kirgistan, yang populasi resminya di Xinjiang hanya sekitar 200.000, telah melaporkan hampir 200 orang hilang. Pada Hui, jumlah korban yang ditahan yang dilaporkan nyaris tidak mencapai puluhan.
Foreign Policy memeprkirakan, penjelasannyaada pada sifat dasar pelaporan berorientasi korban untuk Xinjiang. Laporan itu umumnya berasal dari teman dan kerabat di luar Cina. Sementara, etnis Kazakh dan Kirgistan, yang sama-sama merupakan tetangga Xinjiang dan Uighur, tidak memiliki negara selain diaspora yang tersebar dan berpengaruh, Hui tidak memiliki keduanya. Dengan demikian, pelaporan Hui yang sangat sporadis sebagian besar mengandalkan wartawan asing, organisasi aktivis, dan kelompok etnis lain.
Bahkan Husei Daurov, kepala Asosiasi Dungan (Hui) Kazakhstan, penerbit Silk Road Today–surat kabar yang menggaungkan retorika pemerintah Cina tentang Xinjiang, tidak menghindar dari membahas masalah tersebut. Ia mengakui bahwa kebijakan terbaru di Xinjiang telah berjalan. Daurov mengakui,dalam perjalannya ke Xinjiang, dia berbicara tentang seorang teman berusia 70 tahun dan putra teman itu, seorang pengusaha. Keduanya menghabiskan satu tahun di kamp tawanan karena pergi haji tanpa izin pemerintah.
Namun, barangkali karena ia memang propagandis pemerintah Cina, menurutnya para tahanan diwajibkan untuk belajar selama 6 jam sehari, tetapi memiliki uang saku harian 80 RMB (11 dolar AS). Uang itu sebagai uang makan (dengan standar harga makanan di Xinjiang hanya berharga 10 hingga 20 RMB). Pertolongan kesehatan pun disebutnya segera dilakukan, bahkan untuk penyakit pilek. Putra temannya itu, kata dia, belajar perdagangan, dan sang ayah yang 70 tahun itu belajar bahasa Cina.
Bagi Daurov, heningnya diaspora Hui tentang nasib saudara-saudara mereka menunjukkan bahwa jumlah Hui yang ditahan tidak terlalu banyak. [foreignpolicy]