Veritas

Pertempuran-pertempuran Paling Dramatis di 5 Januari

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Ketamakan Belanda yang ingin menjajah kembali seluruh wilayah bekas Hindia Belanda  terus menggebu. Melalui tentara sekutu, Belanda menyusup ke Indonesia. Setelah Sekutu pulang pada November 1946, kedudukannya digantikan tentara Belanda dan NICA-nya.  Meskipun Perjanjian Linggajati yang ditanda tangani tanggal  25 Maret 1947 dan perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948  isinya menguntungkan Belanda, namun belum memuaskan Belanda. Kedua perjanjian itu dilanggar dengan melancarkan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948.

Gugurnya Lettu. Samadikun dalam pertempuran laut di teluk Cirebon

Sebelum maupun sesudah Agresi Militer I dan II, Pertempuran-pertempuran kerap terjadi di berbagai wilayah.  Tercatat, pertempuran heroik terjadi tanggal 5 Januari di Teluk Cirebon antara Angkatan Laut Republik Indonesia dengan Kapal HR MS Kortenaer milik Belanda. Kronologis pertempuran itu terjadi ketika Angkatan Laut Republik Indonesia-ALRI Pangkalan III  sedang mengadakan latihan perang gabungan bersama Angkatan Darat, Polisi dan laskar-laskar di Keresidenan Cirebon pada  4 hingga 6 Januari 1947.

Dalam latihan tersebut, Angkatan Laut Republik Indonesia-ALRI Pangkalan III  mengerahkan lima buah kapal dibawah pimpinan Letnan Satu Samadikun yang berada di KRI Gajah Mada. Empat kapal lainnya yaitu Kapal Patroli P-8 yang dipimpin Letnan I Sukamto, Kapal Patroli P-9 yang dipimpin Letnan Satu Supomo, Kapal Tunda Antareja serta Kapal Tunda Semar yang dipimpin Letnan I Toto PS.  

Setelah kapal-kapal ALRI bertolak dari pelabuhan Cirebon pukul 06.00 WIB menuju lokasi latihan di arah utara,  terlihat kapal HR MS Kortenaer didampingi kapal pemburunya dalam jarak 6  mil. Ketika semakin mendekat, yaitu pada jarak 4 mil, HR MS Kortenaer segera mengirim isyarat agar kapal ALRI berhenti. Namun isyarat itu tidak dihiraukan oleh Letnan Satu Samadikun.

Dari KRI Gajah Mada yang merupakan kapal perang modifikasi dari kapal coaster berukuran 150 ton asal Singapura, Lettu Samadikun malah menginstruksikan merubah formasi lini, yaitu dari formasi empat kapal yang bergerak sejajar ke formasi Diamond yang menempatkan KRI Gajah Mada sebagai ujung paling depan dan empat kapal lainnya bergerak belakang  kiri dan kanan. Manuver ini untuk melindungi  dan menyelamatkan eskadernya karena kapal HR MS Kortenaer yang dihadapinya adalah kapal perang yang memiliki torpedo sebagai senjata utamanya.

Ketika eskader ALRI sedang melakukan manuver merubah  formasi, HR MS Kortenaer menembak  Kapal Patroli P-8 namun meleset. Tembakan itu tak membuat Lettu Samadikun menjadi gentar. Walau persenjataan KRI Gajah Mada masih kalah karena hanya dilengkapi senjata kaliber 12,7 mm yang berfungsi debagai  senjata pertahanan diri, Ia  segera mengatur kapalnya dalam  posisi serang dan memerintahkan eskadernya untuk menghindar.

Maka terjadilah pertempuran laut yang tak seimbang. HR MS Kortenaer segera mengarahkan moncong senjatanya ke KRI Gajah Mada. Tembakan kedua dilepaskan dan tepat menghantam lambung KRI Gajah Mada sehingga bocor. Lettu Samadikun segera memerintahkan anak buahnya untuk menyelamatkan diri, dan Ia mengambil senjata kaliber 12,7 mm untuk melakukan serangan balik dengan tembakan balasan.

Tembakan Lettu Samadikun  langsung dibalas dengan tembakan meriam bertubi-tubi oleh HR MS Kortenaer. Setelah 12 kali meriam HR MS Kortenaer berdentum,  akhirnya KRI Gajah Mada tenggelam bersama Lettu Samdikun dan beberapa periwra lainnya yang gugur dalam pertempuran itu.  Jasad Lettu Samadikun kemudian ditemukan dua hari berikutnya dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kesenden Cirebon. Pangkatnya dinaikan menjadi kapten dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di Cirebon.

Tragedi Rengat, Ribuan jiwa rakyat gugur korban kekejian Tentara Belanda

Menjelang akhir Agresi Militer II dan Belanda masih intensif melakukan berbagai serangan untuk menguasai wilayah-wilyah di Indonesia. Termasuk penyerangan terhadap Kota Rengat.  Peristiwa serangan dimulai Rabu pagi, tanggal 5 Januari 1949, Masyarakat Rengat di Kabupaten Indragiri yang akan beraktivitas dikejutkan oleh munculnya dua pesawat mustang dengan cocor warna merah yang terbang rendah di atas kota. Tiba-tiba dua pesawat yang terbang dari  Tanjungpinang Kepri itu menjatuhkan bom di wilayah kota Rengat.

Serangan bom yang bertubi-tubi berlangsung sampai pukul 09.45 WIB. Akibatnya, ribuan korban yang kebanyakan adalah masyarakat sipil tewas bergelimpangan. Beberapa tentara Indonesia berusaha  menjatuhkan kedua pesawat tersebut dengan tembakan mortir, namun upaya tersebut  gagal, malah markas tentara Indonesia balik di bombardir Si Congor Merah. 

Buku Lagu Sunyi Dari Indragiri yang ditulis oleh HM Wasmad Rads, Mantan Komandan Markas Bataliyon III, Resimen IV, Banteng Sumatera yang berpangkat Letnan Muda TNI AD adalah kesaksian akan kekejaman serangan Belanda. Bahwa hari itu seperti mimpi buruk. Ribuan orang tewas. Sungai Indragiri berwarna merah karena darah. Akibatnya, dalam jangka waktu lama warga tak mau makan ikan dari sungai karena ada ikan yang ketika dibelah dalam perutnya ditemukan jari mayat.

Setelah dua pesawat tersebut puas menebar kematian, kemudian kabur dan digantikan oleh kemunculan  tujuh pesawat Dakota yang menerjunkan pasukan Korp Spesialie Tropen (KST) Korps Pasukan Khusus Belanda dibawah komando Letnan Rudy de Mey  yang dilatih Kapten Raymond Westerling. Pasukan tersebut diterjunkan di daerah Kampung Sekip yang berawa-rawa untuk melakukan serangan dengan sandi Oprasi Lumpur (Mud Opration).  

Tentara KST Belanda dengan segera menguasai kota dan pusat-pusat pemerintahan. Malapetaka pun berlanjut. Penduduk kota baik sipil maupun tentara Indonesia banyak yang ditangkap kemudian dibariskan di bantaran sungai Indragiri dan dari belakang  ditembak mati sehingga mayatnya jatuh kesungai.   Kekejaman tentara besutan Westerling itu memang sudah terkenal dimana-mana.

Pembunuhan sewenang-wenang yang mereka lakukan merupakan pembenaran bagi KST yang menganut strategi Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri. Akibat aksinya itu, jumlah korban dari warga sipil yang gugur akibat pembantaian Tentara KST Belanda mencapai 2000 jiwa. 

Menurut Buku Sejarah Riau yang dikutip oleh Martin Sitompul dalam tulisan Pembantaian Kilat di Rengat  menuliskan bahwa motif serangan militer Belanda ke Rengat dikarenakan intelejen Belanda (Nefis) memperkirakan bahwa Indragiri merupakan pusat kekuatan tentara Indonesia di Riau.

Alasan lain dari serangan belanda tersebut terkait dengan  keberadaan pabrik senjata di daerah Air Molek yang terletak sebelah barat Rengat.  Belanda  telah beberapa kali menyita pasokan senjata dari kawasan itu yang diselundupkan melalui kapal motor Indonesia. Selain itu, Di Desa Lirik yang berada di utara Rengat terdapat kilang minyak yang dibutuhkan oleh mesin-mesin perang Belanda untuk melakukan serangan ke pedalaman Sumatera.

Pertempuran 5 hari 5 malam di Semarang

Tentara NICA yang mendompleng Pasukan sekutu mendarat di Palembang pada 12 Oktober 1945 dan diizinkan oleh pemrintah Indonesia menmpati daerah Talang Semut. Namun Pendaratan dimanfaatkan NICA untuk menguasai Palembang. Pertempuran antara laskar TRI dan tentara Belanda kemudian pecah dari tanggal 1-5 Januari 1947. Tanggal 1 Januari Belanda meneyrang pasukan TRI yang berlokasi sekitar di RS. Charitas. Setelah dikuasai Belanda, giliran pasukan Mayor Dani Effendi yang menyerang pasukan Belanda di RS. Charitas dengan tujuan memblokir bantuan Belanda dari arah Lapangan Udara Talang Betutu.

Ditempat lain Pasukan belanda mengerahkan tank dan panser sehingga berhasil menguasai kantor telepon dan menduduki Kantor Residen serta Walikota. Hari kedua pertempuran sengit masih terjadi di sekitar RS. Charitas namun belanda yang terdesak di hari pertama berhasil menerobos lolos dari gempuran pasukan Lettu Wahid Udin dan Kapten Anima Achyat yang dibantu oleh rakyat dan pemuda. Melihat kondisi tersebut Belanda melakukan serangan jarak jauh dengan tembakan dari udara. Karena serangan tersebut maka Markas Besar Staf Komando Divisi II dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten

Pada pertempuran tanggal 3 Januari 1947, Kolonel Mollinger mengerahkan semuan angkatan perangnya, baik darat, laut, maupun  udara untuk menghancurkan semua garis pertahanan TRI.  Kendaraan baja Belanda keluar dari Benteng namun dihadang  laskar TRI . Namun hadangan tersebut  gagal karena ranjau-ranjau yang dipasang laskar TRI tidak meledak sehingga Pasar Lingkis dikuasai oleh Belanda. Sore harinya pasukan TRI dari Resimen XVII berhasi merebut pasar itu  kembali. Pertempuran selama 3 hari tersebut membuat hampir seperlima kota hancur oleh  bom dan mortir Belanda.

Pertempuran tanggal 4 Januari 1947, Pasukan Mayor Dani Effendi berhasil menguasai Charitas dan sekitarnya karena Belanda lebih fokus bertahan di Plaju.  laskarTRI berhasil mendesak Belanda dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang amunisi di RS Charitas. Pada pertempuran 5 Januari 1947, Tentara Belanda mendapat bantuan dari kapal-kapal perang di Sungai Musi dan pesawat tempur yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi laskar TRI.  Akibat serangan dari serangan itu pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat.   

Memasuki pertempuran hari kelima, kedua kubu telah mengalami kelelahan akibat bertempur tanpa henti selama 5 hari 5 malam. Maka pada tanggal 5 Januari 1947 dilangsungkan perundingan antara RI dan Belanda di Rumah Sakit Charitas yang menghasilkan kesepakatan gencatan senjata. Selain itu disepakati pula laskar TRI harus keluar dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer, yang boleh tinggal di dalam kota hanyaPemerintah Sipil RI dan ALRI. Demikian pula pos-pos Belanda hanya boleh dibangun sejauh 14 Km dari pusat kota. Keadaan jalan raya di dalam kota dijaga pasukan Belanda dalam radius 3 Km. (Pd)

Back to top button