
Thailand berduka. Ratu Sirikit, simbol kasih dan keibuan bangsa, wafat di usia 93 tahun. Warisannya tak hanya tertulis di sejarah — tetapi hidup di setiap senyum rakyat yang pernah ia sentuh.
JERNIH – Duka mendalam menyelimuti Thailand. Ratu Sirikit Kitiyakara, permaisuri mendiang Raja Bhumibol Adulyadej dan ibu dari Raja Maha Vajiralongkorn (Rama X), wafat pada usia 93 tahun pada Jumat malam (24/10), di Rumah Sakit King Chulalongkorn Memorial, Bangkok.
Menurut pernyataan resmi Bureau of the Royal Household, penyebab meninggalnya adalah infeksi aliran darah (bloodstream infection) yang memperburuk kondisi kesehatannya dalam beberapa hari terakhir. Sejak tahun 2012, kesehatan Ratu Sirikit memang dikabarkan menurun akibat stroke dan sejumlah komplikasi organ.
Dari Aristokrat ke Calon Ratu
Ratu Sirikit lahir dengan nama lengkap Mom Rajawongse Sirikit Kitiyakara pada 12 Agustus 1932 di Bangkok, dalam keluarga aristokrat yang masih memiliki garis darah dengan Dinasti Chakri. Ayahnya, Pangeran Nakkhatra Mangala Kitiyakara, adalah duta besar Thailand untuk Prancis, sementara ibunya, Mom Luang Bua Snidvongs, dikenal berpendidikan tinggi dan berwawasan internasional.

Saat kecil, Sirikit menempuh pendidikan di sekolah bergengsi di Bangkok, kemudian melanjutkan di Prancis dan Inggris karena tugas diplomatik sang ayah. Di masa remaja, ia dikenal gemar musik klasik, seni, dan memiliki kemampuan bahasa asing yang baik.
Pertemuan takdir terjadi saat ia berkenalan dengan Pangeran Bhumibol Adulyadej, yang kala itu tengah menempuh studi di Swiss. Hubungan mereka berlanjut hingga akhirnya bertunangan pada Juli 1949, dan menikah pada 28 April 1950, hanya seminggu sebelum penobatan Raja Bhumibol sebagai Rama IX. Saat itu, Sirikit baru berusia 17 tahun.
Antara Tradisi dan Modernitas
Sebagai permaisuri muda, Ratu Sirikit dengan cepat menjadi figur publik yang disegani. Ia dikenal anggun dan karismatik, dengan gaya berpakaian yang memadukan busana tradisional Thailand dan rancangan modern Eropa. Bersama desainer Pierre Balmain, ia menciptakan “Thai Modern Look” — busana khas Thailand dengan sentuhan haute couture, yang kemudian memperkenalkan sutra Thailand ke dunia internasional.

Namun, pengaruhnya melampaui dunia mode. Sejak 1960-an, Ratu Sirikit mendampingi Raja Bhumibol dalam perjalanan keliling pedesaan Thailand. Ia melihat langsung kemiskinan rakyat dan kemudian mendirikan SUPPORT Foundation pada tahun 1976, yang membantu masyarakat pedesaan — terutama perempuan — memperoleh penghasilan melalui kerajinan tangan, anyaman, dan tenun tradisional.
“Yang Mulia mengawasi proyek-proyek kerajaan untuk membantu masyarakat miskin di pedesaan, melestarikan kerajinan tradisional, dan melindungi lingkungan,” tulis The Hour dalam laporan obituarinya (2025).
Atas peran sosialnya yang besar, pemerintah Thailand menetapkan 12 Agustus, hari ulang tahunnya, sebagai Hari Ibu Nasional, menjadikan Sirikit simbol keibuan dan kasih bagi seluruh rakyat.
Pengaruh dan Warisan
Warisan Ratu Sirikit tidak hanya terwujud dalam karya sosial, tetapi juga dalam diplomasi budaya. Ia memainkan peran penting dalam membangun citra Thailand di dunia Barat sebagai bangsa yang ramah, berbudaya, dan penuh nilai spiritual.

Di masa jayanya, ia kerap dijuluki “The People’s Queen” — sosok yang menjembatani monarki dengan rakyat, terutama melalui kunjungan ke daerah-daerah terpencil. Ia dianggap sebagai bagian integral dari “Rama IX era”, masa yang membawa stabilitas dan rasa persatuan di Thailand selama lebih dari enam dekade.
Ratu Sirikit juga dikenal mencintai lingkungan. Ia menggagas berbagai proyek pelestarian alam dan kehutanan, sehingga dijuluki “The Green Queen” oleh media internasional. Banyak taman, museum, dan lembaga pendidikan di Thailand yang kini menyandang namanya, seperti Queen Sirikit Botanic Garden dan Queen Sirikit Museum of Textiles.
Meski sangat dihormati, Ratu Sirikit tidak luput dari kontroversi. Pada 2008, ia menghadiri pemakaman seorang pendukung Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD), kelompok yang berseberangan dengan pemerintah saat itu. Kehadiran itu dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk dukungan politik — sesuatu yang jarang dilakukan anggota keluarga kerajaan.

Selain itu, beberapa pengamat internasional menilai bahwa setelah Raja Bhumibol wafat pada 2016, hubungan antara monarki dan rakyat mulai mengalami jarak, meski banyak yang tetap menghormati peran historis Ratu Sirikit sebagai figur stabilitas nasional.
Namun demikian, bagi mayoritas rakyat Thailand, ia tetap dikenang sebagai “Mae Luang” — Sang Ibu Agung — yang mengabdikan hidupnya bagi kesejahteraan dan budaya bangsa.
Setelah kabar wafatnya diumumkan, Raja Vajiralongkorn mengumumkan masa berkabung nasional selama satu tahun, dan seluruh bendera di Thailand dikibarkan setengah tiang selama 30 hari.
Para pemimpin dunia, termasuk dari Jepang, Kamboja, dan Inggris, menyampaikan belasungkawa. PM Thailand Srettha Thavisin membatalkan kehadirannya dalam KTT ASEAN di Brunei sebagai bentuk penghormatan.
“Ratu Sirikit adalah simbol kasih dan pengabdian. Warisannya akan terus hidup dalam hati rakyat Thailand,” ujar Srettha dalam pernyataan resmi di Bangkok.
Ratu Sirikit meninggalkan empat anak: Putra Mahkota Vajiralongkorn (kini Raja Rama X), Putri Ubolratana, Putri Maha Chakri Sirindhorn, dan Putri Chulabhorn. Lebih dari sekadar permaisuri, ia adalah sosok yang menyatukan tradisi dan kemajuan, serta menjadi wajah lembut monarki Thailand di mata dunia.

“Dia mengembangkan ketertarikan dengan memadukan gaya Barat dan tradisi Timur,” tulis Tatler, menggambarkan keunikan dan pengaruh globalnya.
Kini, rakyat Thailand mengenang Ratu Sirikit bukan hanya sebagai simbol kebesaran, tetapi juga simbol cinta, kesetiaan, dan keibuan — nilai-nilai yang telah membentuk jati diri bangsa selama lebih dari tujuh dekade.(*)
BACA JUGA: Menggugat Status Dewa Raja Thailand






