SpiritusVeritas

Saat Abu An-Nuri Menghancurkan Botol-botol Arak Khalifah

Begitu menerima kayuh itu, Abu Al-Husain Al-Nuri lantas naik ke perahu itu. Botol-botol berisi minuman keras itu, satu demi satu, dia hantam dengan kayuh itu hingga berserakan. Akhirnya, tiada yang tersisa. Kecuali satu botol saja.

JERNIH—“Saudaraku, apa isi botol-botol itu?” tanya Abu Al-Husain Ahmad bin Muhammad Al-Nuri, ulama terkemuka pada masa pemerintahan Al-Mu’tadhid Billah (penguasa ke-16 Dinasti ‘Abbasiyyah yang berkuasa antara 279-289 H/892-902 M) kepada seorang tukang perahu.

Kala itu, sang ulama sedang berjalan di sekitar pangkalan perahu di tepi Sungai Tigris yang terletak tidak jauh dari Kota Bagdad Dar Al-Salam, Nah, ketika dia sedang asyik mengamati perahu-perahu yang berlalu-lalang dan keluar masuk di pangkalan, tiba-tiba dia melihat sebuah perahu kecil yang membawa tiga puluh botol besar dengan tulisan “Luthf”.

Merasa sangat mengenal barang-barang yang diperjualbelikan di pangkalan itu, dan tidak pernah tahu adanya botol-botol dengan tulisan demikian. Dia pun mendekati perahu itu dan mengemukakan pertanyaan tersebut kepada tukang perahu.

“Apa urusanmu? Pergilah dari sini dan urusi masalahmu sendiri!” bentak si tukang perahu.

Mendengar bentakan demikian, rasa ingin tahu Abu Al-Husain Al-Nuri pun kian membara. Ulama itu pun bertanya kembali, “Tolong beri tahukan kepada saya, apa isi botol-botol itu?”

“Apa urusanmu? Engkau, demi Allah, adalah seorang guru yang suka usil terhadap hal-hal yang tidak penting. Ini adalah minuman keras milik Al-Mu’tadhid Billah. Minuman ini bakal disajikan dalam sebuah pertemuan yang bakal dia gelar.”

“Minuman keras?”

“Ya!”

“Bila demikian, serahkan kayuhmu itu kepadaku!”

“Berikan kayuh itu kepadanya! Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan orang tidak diundang ini dengan botol-botol ini!” ucap si tukang perahu kepada seorang anak buahnya.

Begitu menerima kayuh itu, Abu Al-Husain Al-Nuri lantas naik ke perahu itu. Botol-botol berisi minuman keras itu, satu demi satu, dia hantam dengan kayuh itu hingga berserakan. Akhirnya, tiada yang tersisa. Kecuali satu botol saja.

Melihat Abu Al-Husain Al-Nuri menghancurkan botol-botol itu si tukang perahu segera lari pontang-panting untuk melaporkan ulah Abu Al-Husain Al-Nuri kepada para pengawal istana. Mereka pun segera datang ke situ dan menangkap sang ulama dan membawanya ke hadapan Al-Mu’tadhid Billah. Menurut mereka sang guru tentu akan dijatuhi hukuman berat.

Begitu melihat Al-Husain Al-Nuri, Al-Mu’‘tadhid Billah pun membentaknya, “Siapakah engkau?”

“Saya adalah seroang pelaksana hisbah, orang yang melaksanakan kebaikan!”

“Siapakah yang mengangkat dirimu sebagai pelaksana hisbah?”

“Yang memerintahkan engkau menjadi penguasalah yang memerintahkan saya untuk melaksanakan hisbah, wahai Amir Al-Mukminin!”

Mendengar jawaban demikian, Al-Mu’tadhid Billah pun menundukkan kepala. “Apakah yang mendorongmu menghancurkan botol-botol itu?”

“Karena rasa kasih saya kepadamu, Amir Al-Mukminin. Karena saya telah membukakan tangan saya untuk meniadakan perbuatan yang tidak semestinya engkau lakukan.”

“Mengapa botol yang satu itu engkau biarkan?”

“Perihal terlepasnya botol yang satu itu, tentu ada penyebabnya. Bila engkau izinkan, dengan sukacita tentu akan saya jelaskan.”

“Baiklah, ceritakanlah kepadaku.”

“Amir Al-Mukminin,” jawab Abu Al-Husain Al-Nuri seraya memandang wajah penguasa yang gemar bertindak kekerasan itu. “Sejatinya, botol-botol itu saya hancurkan semula demi melaksanakan titah Allah Swt. Saat itu, hati saya begitu sarat dengan kesaksian atas keagungan kebenaran Allah Swt. dan ketakutan terhadap titah-Nya. Karena itu, kehebatan makhluk pun sirna sama sekali dari hati saya. Demikianlah kondisi hati saya ketika mendatangi botol-botol itu. Akhirnya, tibalah pada botol yang satu itu. Saat itu, entah mengapa, saya merasa sombong karena berhasil melakukan semua itu terhadap orang seperti engkau ini.”

“Karena itu, saya pun menahan diri untuk tidak menghancurkan botol yang satu itu. Andai sewaktu menghadapi botol terakhir itu saya masih seperti dalam keadaan sebelumnya, tentu botol yang satu itu pun saya hancurkan dan saya tidak akan memedulikan tindakan apa pun yang bakal engkau lakukan terhadap diri saya.”

Mendengar jawaban yang cerdas itu, Al-Mu’tadhid Billah hanya kuasa mengangguk-anggukkan kepala dan akhirnya berucap, “Engkau boleh berlalu dari sini! Kami bebaskan engkau. Dan, aku izinkan engkau sebagai pelaksana hisbah.”

“Amir Al-Mukminin,” sahut Abu Al-Husain Al-Nuri. “Marahkah engkau kepada saya karena tindakan saya itu? Sebab, semua itu saya lakukan karena Allah Swt., sedangkan kini, saya akan melaksanakannya atas dasar syarat yang saya harapkan darimu.”

“Apa keperluanmu?”

“Perintahkan anak buahmu agar mengeluarkan saya dari sini dengan jaminan keselamatan darimu.”

Al-Mu‘tadhid pun memenuhi permintaan Abu Al-Husain Al Nuri. [  ]

Dari “Islamic Golden Stories”, Ahmad Rofi Usmani, Bunyan, 2016

Back to top button