Veritas

Sebanyak 40 Orang Dipukuli Sampai Mati di Myanmar

“Itu bisa terjadi. Ketika mereka memperlakukan kami sebagai musuh, kami memiliki hak untuk membela diri,” kata Zaw.

JERNIH- Sedikitnya 40 orang warga sipil kudu meregang nyawa setelah disiksa habis-habisan. Saksi mata dan korban yang selamat setelah berhasil melarikan diri dari cengkraman tentara menyebutkan, beberapa diantara pelaku, berusia sekitar 17 tahun.

Peristiwa itu, terjadi di kota kecil bernama Kani yang dianggap menjadi markas kelompok oposisi di Distrik Sagaing, Myanmar Tengah, pada Juli lalu. Sebelum dibunuh, para korban disiksa dengan keji kemudian dikubur dalam lubang dangkal.

Ketika militer Myanmar berhasil menggelar kudeta Februari dan mengguligkan pemerintahan Aung San Suu Kyi, perlawanan warga sipil digelar. Akibatnya, terjadi pembunuhan yang bisa dikategorikan massal pada empat insiden terpisah. Selain di Kani, Desa Yin juga menjadi arena pembantaian. Setidaknya, menurut hasil investigasi BBC, ada 14 pria mati dipukuli sampai mati dan tubuhnya dibuang ke selokan hutan.

Para saksi di Desa Yin yang namanya disembunyikan mengatakan, sebelum dibunuh, para korban diikat tali kemudian dipukuli sampai mati.

“Kami tidak sanggup melihat itu, kami menundukkan kepala, menangis,” kata seorang perempuan, yang saudara laki-laki, keponakan dan saudara iparnya terbunuh.

Para saksi, sempat memohon agar hal itu tidak dilakukan. Tapi para tentara yang beberapa di antaranya tampak begitu muda di usia kisaran 17-18 tahun, tak peduli dan justru bertanya apa ada suami mereka di dalam kelompok calon korban atau tidak.

“Jika iya, lakukan ritual terakhir anda,” begitu kata tentara seperti ditirukan saksi ketika diwawancara.

Seorang pria calon korban yang berhasil melarikan diri mengatakan, para tentara melakukan penyiksaan dengan sangat keji selama berjam-jam. Mereka diikat, dipukuli dengan batu dan popor senapan sepanjang hari.

Di Desa Zee Bin Dwin, ada 12 mayat yang dipotong-potong ditemukan terkubur di pemakaman massal yang dangkal. Ada juga tubuh kecil yang kemungkinan seorang bocah dan jasad orang cacat. Sementara tubuh pria berusia sekitar 60 tahunan, ditemukan terikat pada pohon palm didekat lubang itu.

Kerabat pria terikat dalam keadaan mati tersebut mengatakan, keluarganya sudah melarikan diri ketika militer memasuki desa. Namun, lelaki tua itu memilih tetap tinggal.

BBC menilai kalau hukuman berupa penyiksaan dan pembunuhan tersebut, merupakan hukuman kolektif yang sengaja ditimpakan sebagai balasan atas serangan terhadap militer oleh kelompok milisi di kawasan tersebut, yang menuntut agar demokrasi segera dipulihkan.

Sementara pihak keluarga yang masih hidup kemudian memberikan kesaksian, berpendirian kalau orang-orang yang terbunuh tak terlibat dalam penyerangan terhadap militer. Seorang perempuan, malah sempat memohon agar saudara laki-lakinya tak dibantai sebab menggunakan ketapel saja dia tak bisa.

Wakil Menteri Informasi dan Juru Bicara Militer Myanmar, Jendral Zaw Min Tun, ketika dikonfirmasi, tak menyangkal dugaan bahwa tentaranya melakukan pembunuhan massal tersebut.

“Itu bisa terjadi. Ketika mereka memperlakukan kami sebagai musuh, kami memiliki hak untuk membela diri,” kata Zaw.

Saat ini, PBB sudah turun tangan dengan menggelar penyelidikan pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan Myanmar.[]

Back to top button