PersonaVeritas

Ustadz ‘Ambo’ Hasyim Yahya Meninggal di Mekkah Pada Usia 82

Pada konteks inilah Ustadz Hasyim Yahya mengambil peran, dan langsung menohok ke pusat panggung, pada 29 Juli 1974. Usia almarhum saat itu masih 37, masih dalam gejolak darah muda yang panas.  Entah ada hubungan, langsung atau tidak, yang jelas pelaksanaan World Council of Churches Assembly, yang sedianya digelar di Jakarta pada 1975, kemudian dipindahkan ke Nairobi, Kenya.

JERNIH–Konon, kata almarhum KH Endang Saifuddin Anshari, putra tokoh Islam pra-kemerdekaan KH Mohammad Isa Anshari, setiap kali seorang Muslim yang baik–para syahid terutama—gugur meninggal dunia, maka bumi dan langit pun menangis. Bukan karena sedih, justru mereka gembira. Seorang makhluk, ciptaan Allah Sang Khalik, setelah mengembara dan menunaikan tugasnya di dunia dengan paripurna. Kembali kepada Ilahi, dengan ridha dan diridhai.

Darmawan Sepriyossa

…jasadnya yang wangi. Dipeluk mesra

Bumi ini. Langit berlinang

Menunduk duka. Butir-butir airmatanya

Menyirami pusara….”   

Saya tak tahu apa yang terjadi di kota suci Mekkah, Kamis (27/4) petang kemarin, ketika H. Hasyim Yahya melepas nafas terakhir dan berpamitan pada dunia. Bukan pamitan pertama, tentu. Kita tahu, sejarah hidup sang ustadz meniscayakan pamitannya kepada ‘dunia’ telah ia lakukan jauh bahkan di saat muda. Ambo, demikian sang ustadz disapa, sejak muda telah menyelaraskan hidupnya sesuai amanah Allah. Berkiprah di dunia dakwah. Bukan, bukan mewakafkan hidup, sebagaimana istilah yang trendy saat ini. Memang siapa yang punya hidup hingga tinggi hati menyebut mewakafkan diri?

Tapi di sini. Di satu belahan wilayah Bogor, petang kemarin langit berair mata, mencurahkan kasih sayangnya kepada kita, alam, binatang dan tanaman, terutama. Hujan di malam Jumat, adalah waktu yang syahdu buat bermunajat. Saat itulah tampaknya, Ambo, di Mekkah sana, dilambai tangan Izrail. Sangat mungkin, melihat jejak langkah kiprahnya selama ini, ia yang kini almarhum akan menjawabnya dengan kalimat talbiyah. “Labbaik allahuma labbaik…Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah…”

“Inna lillah wa inna ilaihi rojiun. Telah berpulang guru kami, Ustad Hasyim Yahya (82th), di Makkah al Mukarromah. Rohimahullah rahmatan wasi’atan…”tulis Habib Muhammad Rizieq Shihab, segera setelah kematian almarhum beredar dan tersebar, terutama di dunia maya.

Kita dapat menggulirkan Google untuk tahu kiprah almarhum. Kita pun tentu sangat boleh berbeda pendapat tentang kiprahnya. Satu hal yang pasti, seyogyanya kita jangan pernah menghakimi sejarah dengan pemikiran yang hidup hari ini.  

Apalagi berdasarkan riset sejarah, kita mendapati bahwa saat itu kegelisahan antaragama seolah tengah berada di puncak ketinggian matahari. Isu “kristenisasi” sangat massif bergaung di media massa dan kehidupan sehari-hari. Hubungan Islam-Kristen kala itu semoga tak lagi pernah kita alami di hari-hari ini dan mendatang.

Di kurun-kurun waktu itu, hubungan (penganut) kedua agama besar ini tengah berada di titik kulminasi. Pada 1967, kaum Muslim Makassar marah dan menghancurkan  beragam bangunan milik Kristen, semata dipicu pernyataan HK Mangunbahar, guru SMA yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Saat itu, di sisi Islam, kaum Kristen dianggap agresif melakukan kristenisasi. Salah satunya adalah rencana menjadikan Makassar sebagai tempat Sidang Raya Dewan Gereja Indonesia (DGI) pada 28 Oktober-4 November 1967.

Di parlemen, ketegangan tersebut juga wujud. Terjadi debat panjang antara AM. Tambunan (Protestan) dan IJ Kasimo (Katolik), berhadapan dengan M. Natsir, HM Rasjidi, Mohammad Dachlan dan Idham Chalid dari kelompok Islam seputar kontestasi Islam-Kristen di keseharian kehidupan masyarakat.  Kalangan Kristen bersikukuh pada pendiriannya menyangkut penginjilan dan kemerdekaan beragama. Sedangkan kalangan Islam menuding kiprah mereka sebagai upaya mengkristenkan Indonesia dalam 50 tahun.

Pada konteks inilah Ustadz Hasyim Yahya mengambil peran, dan langsung menohok ke pusat panggung, pada 29 Juli 1974. Usia almarhum saat itu masih 37, masih dalam gejolak darah muda yang panas.  

Entah ada hubungan, langsung atau tidak, yang jelas pelaksanaan World Council of Churches Assembly, yang sedianya digelar di Jakarta pada 1975, kemudian dipindahkan ke Nairobi, Kenya.

Tokoh Kristen dan pemikir militer, TB Simatupang, menganggap momen konferensi internasional dan kejadian di Gereja Anglikan Jakarta itu berhubungan langsung. “It was said that the killing was a signal that similar incidents would happen more if the assembly were held in Jakarta,”kata TB Simatupang dalam sebuah buku yang terbit 1991.

Yang pasti, pemerintah pun tak lagi bergeming. Ketegangan Islam-Kristen selama kurun waktu itu akhirnya memaksa pemerintah membuat regulasi terkait relasi antaragama. Salah satu isinya melarang penyiaran (dakwah) kepada orang yang telah beragama, dan perlunya membentuk forum kerukunan umat beragama. Kita, yang hidup kemudian dan masih menyaksikannya saat ini, merasa regulasi itu—meski di sana-sini ada pelanggaran oleh masing-masing pihak—cukup memunculkan harmonisasi dalam perbedaan.

Menurut putra alm., Muchlis Hasyim, jenazah pada Jumat ini akan dishalatkan di Masjidil Haram, untuk kemudian segera dikebumikan di kawasan pekuburan Ma’la, Mekkah.  

Selamat jalan Ustadz Ambo! “Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila rabbiki radhiyatan mardhiyah….” [INILAH.com/dsy]

Back to top button