Crispy

Pilpres AS 2020: Saatnya Kaum Muslim AS Dieksploitasi

Beberapa orang yang dianggap merepresentasikan kaum Muslim AS muncul di berbagai iklan kampanye kandidat presiden AS, tanpa sepengetahuan mereka

WASHINGTON,DC— Bila era ini sering disebut zaman post-truth, zaman saat kebohongan dan dusta diumbar tanpa malu, tampaknya Amerika Serikat memberi andil besar atas kecenderungan buruk tersebut. 

Tak hanya fenomena presidennya, Donald Trump yang mengumbar dusta sejak awal, menjelang pemilihan presiden yang akan digelar tahun ini, kandidat-kandidat lain pun sudah merasa punya jurus ampuh untuk menang sebagaimana Trump pada pemilihan lalu: umbar saja kebohongan, klaim semua orang dalam atas nama, dan peduli setan apakah ada dampak buruk buat mereka atau tidak!    

Pada rangkaian Pemilihan Presiden 2020 yang sudah mulai bergulir, iklan politik dengan konten harapan dan pesan inklusivitas telah membanjiri segala jenis media di AS, terutama media social. Misalnya, 2 Februari lalu seorang siswa sekolah menengah dan pimpinan nasional 

US Youth Climate Strike, Sabirah Mahmud,  terkejut saat menemukan rekaman dirinya dalam sebuah iklan video untuk kampanye kepresidenan Joe Biden. 

Dia bahkan baru sadar adanya iklan itu setelah seorang teman mengirimkan pesan pendek kepada dirinya. Yang membuat dia lebih terkejut lagi, dia tak  pernah mendukung Joe Biden—mungkin membayangkan atau memimpikannya pun tak pernah. Sabirah adalah loyalis Bernie Sanders yang sangat vokal.

“Saya sangat terkejut dan hingga sekarang pun merasa sangat tidak nyaman. Dari semua kandidat Partai Demokrat, justru dia (Biden) yang paling saya khawatirkan,” kata Sabirah kepada The Guardian yang mewawancarainya. Bagaimana pun, cara kotor Biden cs itu dilakukan dalam momen nasional, dan,” Wajah  saya dieksploitasi untuk mengangkat kampanyenya. Orang-orang akan melihat saya dan berpikir ‘Biden memiliki pengikut muda Muslim’,” kata Sabirah. 

“Itu sama sekali tidak benar karena saya bukan salah satu dari mereka.”

Sabirah kemudian mengunggah tangkapan layar (screen-shoot) yang menunjukkan dirinya tengah terpampang mendominasi iklan.  “Hanya digunakan sebagai ‘pengaruh jilbab’ untuk kampanye @JoBiden, sayang sekali saya #hotgirIsforbernie,” tulis Sabirah.

Sabirah memang menghadiri acara kampanye untuk beberapa kandidat presiden pada 2020, termasuk reli kickoff Biden di Philadelphia pada Mei 2019. Sabirah datang ke sana untuk menanyai Biden tentang kebijakan yang dirancangnya  mengenai krisis iklim, tetapi dia tidak pernah berharap untuk menjadi pendukung sang calon. 

Sabirah mengaku sangat gugup saat berbicara dengan mantan wakil presiden tersebut. “Sebelum saya bahkan bisa mengajukan pertanyaan kepadanya, dia menyela saya di tengah kalimat, menjelaskan seluruh krisis iklim,” kata Sabirah tentang pertemuan itu. “Dia lantas menjumpai orang-orang lain yang berebut untuk berfoto bersama dan berjabatan tangan.”

Sementara itu, Ayanna Lee, pendukung Sanders yang lain, bersama teman-temannya melakukan protes saat kampanye rapat umum Elizabeth Warren digelar di Milwaukee. Kini Ayanna menemukan fotonya ditampilkan dalam iklan untuk ‘Warren 2020’.

“Teman saya mengirim tangkapan layar di obrolan grup,” kata Lee. “Saya mengkliknya dengan perasaan sangat tidak enak.”

“Tidak sampai 10 menit kami berjalan di pintu, timnya menanyakan apa yang kami lakukan dan berusaha untuk tawar-menawar dengan kami untuk tidak membuat pernyataan,” ujar Ayanna.

Ayanna menjelaskan, dia dan teman-temanya berbicara, masing-masiing sekitar 10-20 detik untuk memberikan pernyataan tentang apa yang kami pedulikan seperti pertanian, hak masyarakat adat, atau cadangan air,”ujar dia lagi. 

Ayanna mengatakan, ia tak pernah setuju untuk mendukung Warren. Sayangnya, seperti tim kampanye Sanders, tim kampanye Warren pun dengan tanpa perasaan bersalah menolak memberikan komentar soal itu.

“Sejujurnya saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya merasa aneh karena tahu, telah datang ke rapat umum itu, tetapi mereka justru mengambil keuntungan dari siapa saya,” kata Ayanna. Ia merasa sangat kesal dirinya ‘digunakan’ untuk kampanye seseorang yang sama sekali  tidak mendukung apa yang tengah ia perjuangkan.”

Pada kampanye Pilpres AS 2016 lalu, Nida Allam menemukan dirinya dalam situasi yang sama. Akun Twitter Hillary for America, @HFA, yang notabene mendukung kampanye pemilihan Hillary Clinton, berkicau, “Kami membuat sejarah.” Unggahan itu lemngkap dengan tampilan Nida yang mengenakan jilbab, menangis. Seperti Mahmud dan Lee, Allam juga mendukung kandidat lain dari yang diklaim. 

“Saya berada di konvensi DNC di lantai delegasi dan itu adalah saat Senator Sanders kebobolan. Saya menangis karena saya sedang mengerjakan kampanye Sanders,” kata Nida. “Saya tengah mendengarkan kisah-kisah suara terpinggirkan di seluruh negeri yang menemukan harapan dalam pesan kampanye Sanders.

Nida menemukan twit dari akun Twitter Hillary for America setelah teman-temannya ramai-ramai mengirimkan sms tautan kepadanya.

“Sebagai seorang perempuan Muslim Amerika, rasanya jilbab saya digunakan dengan cara yang tidak saya setujui,” kata Nida.

Hilangnya orang yang dicintai memengaruhi keputusan Nida untuk mengambil tempat dalam kampanye presiden Sanders 2016. “Saya terlibat dalam kampanye setelah kehilangan sahabat terbaik saya,” kata dia.

Sahabat terbaiknya adalah Yusor Mohammad Abu-Salha, salah satu dari tiga korban penembakan Chapel Hill 2015 di University of North Carolina. “Komunitas kami dilanda tragedi besar,” ujar Nida.  

“Itulah yang benar-benar memotivasi saya untuk menjadi aktif secara politik, untuk mengangkat suara-suara yang terpinggirkan,” kata dia. 

Nida bahkan menunjukkan kesalahan kampanye Clinton pada saat itu dengan membalas twit asli dengan, “Tebak Anda tidak mendapatkan memo itu … # StillSanders.”

“@HFA akhirnya merespons dan berkata, ‘Maaf atas kekacauan ini. Terima kasih untuk semua yang Anda lakukan’,” kata Nida. “Namun, faktanya, mereka tidak pernah menghapus twit itu.”

Dalam siklus pemilihan tersebut Nida mendesak para kandidat untuk mendengarkan dengan cermat berbagai komunitas tentang apa yang mereka inginkan dari pejabat terpilih mereka.

“Bicaralah pada ibu, anak-anak, para imam. Anda tidak bisa hanya menggunakan gambar kami untuk mendapatkan dukungan. Anda harus berbicara dengan masalah yang memengaruhi kami setiap hari. Kita harus memiliki akses yang adil terhadap pendidikan dan sumber daya lainnya melalui kebijakan,” kata dia. 

Nida saat ini adalah wakil ketua partai Demokrat North Carolina, perempuan Muslim pertama yang memegang posisi ini. Dia juga mencalonkan diri sebagai komisaris daerah dalam pemilihan lokalnya di Durham. Jika Allam menang, dia akan menjadi perempuan Muslim pertama yang terpilih di negara bagian North Carolina.

“Seluruh kampanye saya adalah tentang terus mengangkat suara yang terpinggirkan dan melibatkan orang-orang yang belum terlibat dalam proses pemilihan,” ujar Nida. [theguardian]

Back to top button