CrispyVeritas

Garis Tipis Antara Satir dan Penghinaan: Kontroversi Kartun Nabi di Majalah LeMan, Turkiye

Kelompok hak sipil di Turki juga terbelah. Beberapa tetap menyerukan perlindungan hukum atas kebebasan media. Namun sebagian lain mengingatkan, bahwa membiarkan penghinaan atas nama kebebasan justru bisa merusak jembatan toleransi yang rapuh. “Yang sedang diuji bukan hanya demokrasi, tapi kedewasaan kita dalam mengelola perbedaan,” kata Ayse Gul, aktivis perempuan yang biasa kritis terhadap rezim.

JERNIH–Di Istanbul, Turki, angin pekan ini bertiup dari arah yang tidak biasa: sebuah kartun memicu amarah, kecaman, dan penangkapan. Kartun itu dimuat oleh majalah satir LeMan, menampilkan sosok berjanggut putih yang disebut mewakili Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS, dalam latar kehancuran yang menyerupai medan perang.

Maksudnya, kata redaksi, adalah kritik terhadap konflik dunia yang sering dibungkus klaim agama. Tapi bagi banyak umat Islam, kartun itu tidak lain adalah penghinaan terang-terangan terhadap kesucian Nabi SAW.

Penolakan langsung bergema. Di Ankara, Senin (30/6/2025) pagi, karikaturis berinisial DP ditangkap polisi dan dibawa ke markas untuk pemeriksaan. Jaksa penuntut umum membuka penyelidikan berdasarkan Pasal 216 KUHP Turki, tentang penghinaan terhadap nilai-nilai agama yang dianut masyarakat. Jika dakwaan terbukti, ancaman hukuman maksimal satu tahun penjara membayangi sang pembuat gambar.

Di sisi lain, kantor redaksi LeMan di Istanbul diserbu ratusan demonstran. Mereka memprotes dengan spanduk dan pekikan, sebagian melempar batu. Satu jendela pecah. Polisi berdiri menjaga, tapi tidak bertindak represif. Situasi berakhir menjelang malam, namun ketegangan belum surut.

Reaksi dari pemerintah datang cepat. Menteri Kehakiman, Yılmaz Tunç, menyatakan bahwa Turki menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, namun tidak menoleransi penghinaan terhadap keyakinan agama. “Kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan untuk menyakiti,” katanya.

Pernyataan serupa datang dari Menteri Dalam Negeri Ali Yerlikaya yang menekankan bahwa keharmonisan sosial tidak boleh dikorbankan atas nama satir. “Simbol agama bukan objek hiburan,” tulisnya di media sosial.

Majalah LeMan memang sudah lama dikenal sebagai media satir yang tajam. Didirikan pada awal 1990-an, majalah ini konsisten melontarkan kritik visual terhadap tokoh politik, elite agama, dan institusi militer. Namun selama ini, mereka cenderung menghindari menyentuh sosok Nabi Muhammad SAW, menyadari sensitivitasnya di tengah masyarakat Turki yang mayoritas Muslim.

Kali ini, mereka tampaknya melangkah terlalu jauh.

Sebagian kalangan membela LeMan, menyebut bahwa kartun tersebut bukan penghinaan, melainkan ekspresi atas kegelisahan terhadap perang dan politisasi agama. Namun banyak pula yang menilai bahwa kebebasan semacam itu tak berarti bila tak diiringi tanggung jawab dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain. Di media sosial, suara mayoritas bersatu dalam satu nada: kritik boleh, tapi bukan dengan menggambar sosok Nabi.

Tokoh masyarakat dan ulama turut bersuara. Profesor Hüseyin Atay, cendekiawan Islam, menyebut bahwa kebebasan sejati adalah yang tahu batas. “Kita bukan hidup dalam ruang hampa. Ekspresi kita berdampak, dan ketika menyangkut simbol iman, seharusnya ada adab,” katanya.

Kelompok hak sipil di Turki juga terbelah. Beberapa tetap menyerukan perlindungan hukum atas kebebasan media. Namun sebagian lain mengingatkan, bahwa membiarkan penghinaan atas nama kebebasan justru bisa merusak jembatan toleransi yang rapuh. “Yang sedang diuji bukan hanya demokrasi, tapi kedewasaan kita dalam mengelola perbedaan,” kata Ayse Gul, aktivis perempuan yang biasa kritis terhadap rezim.

Sementara itu, redaksi LeMan belum memberikan permintaan maaf. Mereka hanya menyatakan bahwa kartun itu adalah bagian dari kritik sosial terhadap kekerasan global. Situs web mereka sempat tak bisa diakses, meski versi digital kartun itu sudah terlanjur beredar luas.

Apa yang terjadi minggu ini bukan sekadar insiden media. Ini adalah refleksi bahwa di banyak belahan dunia, termasuk Turki, masih dibutuhkan keseimbangan: antara suara yang bebas dan penghormatan yang tulus. Antara satire yang cerdas dan empati yang hadir. Dan di atas itu semua, antara niat untuk mengingatkan dan kesanggupan untuk tidak menyakiti.

Sebab kebebasan, seperti kata ulama besar Yusuf al-Qaradawi, bukanlah untuk menertawakan hal yang suci. “Kebebasan sejati,” ujar beliau, “adalah kemampuan menjaga adab, bahkan ketika lidahmu tajam dan hatimu luka.” [ ]

Back to top button