POTPOURRI

15 Nopember 1684 : Priangan Dikuasai Keturunan Mur Jangkung, Cucu Prabu Siliwangi

VOC dianggap keturunan Mur Jangkung, yang merupakan cucu Prabu Siliwangi dari putrinya yang bernama Tanduran Gagang. Kisah fiktif ini agar Rakyat Jawa dan tatar Sunda tunduk pada VOC.

Jernih — Kekuasaan kesultanan Mataram atas Priangan berakhir berdasarkan dua kali perjanjian antara Mataram dan VOC.  Perjanjian pertama terjadi  19-20 Oktober 1677 yang isinya Sultan Mataram Amangkurat II menyerahkan Priangan Tengah kepada VOC yang diwakili Admiral Cornelis Speelman.

Penyerahan tersebut sebagai balas jasa Mataram kepada VOC. Wilayah yang diserahkan Mataram yaitu Bandung, Sumedang dan Parakanmuncang. Tujuannya untuk mengganti utang Mataram atas biaya operasi militer VOC yang sangat besar dalam menumpas perlawanan Pangeran Trunajaya.

Bahkan pada Januari 1678, Mataram kembali menyerahkan potensi kekayaan Karawang dan ujung timur Jawa kepada VOC untuk melunasi utang-utang Amangkurat II. Sultan Mataram inni bangkrut yang saat itu semenjak ayahnya melarikan diri diserang Trunajaya. Walau demikian Mataram masih berhak atas wilayah tersebut sebagai ‘gaduhan’ saja. Adapun hasil kekayaannya menjadi hak Belanda.

Perjanjian kedua Pada 5 Oktober 1705, Mataram dibawah Pangeran Puger (Pakubuwono I) menyerahkan wilayah bagian barat Priangan dengan batas Sungai Cilosari disebelah utara dan sungai Donan di sebelah Selatan.  Penyerahan tersebut sebagai balas jasa Pangeran Puger karena VOC berhasil mengusir Amangkurat III.

Dengan demikian maka seluruh wilayah Priangan jatuh kepada VOC. Namun pengambilalihan kekuasaan VOC terhadap Priangan tidak berjalan cepat. Kekuasaan VOC mencengkram tanah Priangan dimulai pada Nopember 1684. Gubernur Jendral Johannes Camphuijs memerintahkan Komandan Jacob Couper dan Kapten Joachum Michiels untuk menangani Priangan.

Pada 15 Nopember 1684, mereka berdua mengeluarkan peraturan reorganisasi Priangan yang tidak begitu mempengaruhi sistem tata pemerintahan dimasa Mataram.  Pada masa Amangkurat I, wilayah barat yang dikuasai Mataram terbagi dalam 12 ajeg, yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Galuh), Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar.

Oleh Jacob Couper dan Joachum Michiels, 12 ajeg tersebut dijadikan tujuh kabupaten, terdiri dari Sumedang, Bandung, Sukapura, Parakanmuncang, Imbanagara, Kawasen dan Bojonglopang. Masing-masing kabupate  memiliki cacah berbeda. Selanjutnya para bupati Priangan diangkat oleh oleh Gubernur VOC dan memiliki akta pengangkatan.  

Dari reorganisasi tersebut diketahui terdapat empat kabupaten yang memiliki cacah lebih dari 1000, yaitu Sumedang, Timbanganten, Sukapura dan Parakanmucang. Sedangkang sisanya dibawah 1000. Paling sedikit adalah Bojonglopang yang memiliki jumlah penduduk hany 20 cacah.

Sistem pemerintahan yang diterapkan VOC bersifat tidak langsung (indirect rule). Dan untuk mengawasi para bupati di Priangan, pada 9 Februai 1706 VOC mengukuhkan Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (overseer). Karawang dan Cianjur tidak diawasi karena telah masuk wilayah Batavia.

Menurut Nina Lubis dkk, dalam Sejarah Tatar Sunda I, para bupati membantu VOC agar kekuasaaanya diterima oleh penduduk Tatar Sunda. Naskah Serat Sakender yang berisi propaganda VOC menyebutkan bahwa kekuasaan VOC atas tatar Sunda harus diterima, karena orang Belanda masih keturunan Raja Pajajaran.

Dalam Serat Sakender, Jans Pieterszoon Coen yang disebut Mur Jangkung adalah cucu Raja Pajajaran. Ibunya Murjangkung adalah putri Raja Pajajaran yang menikah dengan Sukmul, keponakan Raja Spanyol.  

Oleh karea itu, para keturunan Murjangkung, yaitu para gubernur jendral VOC yang menggantikannya harus diakui kepemimpinannya. Maka sudah seharusnya rakyat Priangan tumut pada kepemimpinan Murjangkung, sama seperti kepada Sultan Mataram. Selain itu Mur Jangkung ini pelindungi tanah Priangan dan Ratu Kidul.  

Dalam naskah Wawacan Galuh yang ditulis abad 19, termuat ramalan yang bersipat post eventum, atau ramalan yang ditulis sesudah peristiwa terjadi. Naskah itu menyebutkan bahwa Kekuasaan VOC atas tanah Priangan tidak dapat ditolak karena sudah diramalkan oleh seorang pendeta bernama Ki Ajar Sukaresi. pada saat naskah ini ditulis, VOC sudah berkuasa.

Ki Ajar mengatakan bahwa kelak seorang raja asing akan membalaskan sakit hatinya karena putrinya yang bernama Tanduran Gagang yang merupakan cucu Raja Pajajaran dijadikan istri bergilir raja Cirebon, Demak dan Mataram. Karena kemaluannya mengeluarkan api panas maka Tanduran Gagang diberikan kepada orang Eropa untuk ditukar dengan meriam.

Ibu Tanduran Gagang melaporkan kepada Ki Ajar, Suaminya. Akhirnya Ki Ajar mengucapkan kutukan bahwa kelak Raja Jawa akan tunduk pada Raja Asing turunan Tanduran Gagang.

Kisah dalam wawacan Galuh tersebut kemungkinan menginduk pada Kitab Baron Sakhender (Serat Baron Sakhender) yang ditulis pada abad ke-18 di Solo dalam bahasa Jawa. Disebutkan bahwa Mur Jangkung lahir dari seorang Putri Pajajaran, bernama Tanuraga (identik dengan Tanduran Gagang) yang menikah dengan Baron Sukmul, saudara Sakhender (Alexander) dari Spanyol.

Kitab Baron Sakhender mengisahkan, pada pertengahan abad ke-16, ketika kekuatan Islam yang dipimpin oleh Pangeran dari Jayakarta merambah wilayah Kerajaan Pajajaran, salah seorang putri melarikan diri ke gunung, di mana dia hamil oleh Ajar Sukarsi. dan melahirkan seorang putri cantik yang bernama Tanuraga.

Pangeran Jayakarta menculik Tanuraga, tetapi tidak bisa tidur dengannya karena dari alat kelaminnya keluar api. Karena itu dia diasingkan ke pulau Pulau Putri di Teluk Jakarta. Sultan Cirebon dan Mataram bergantian mengambilnya sebagai istri  tetapi tidak satupun dari mereka yang berhasil memilikinya, karena alasan yang sama.

Dia dikirim kembali ke pulau itu dan tinggal di sana dalam kesedihan. Sukmul kemudian datang dari Spanyol naik kapal dagang dan membawa Tanuraga pulang dan menikahinya. Untuk menebus Tanruga, Sukmul menukarnya dengan 3 pucuk meriam. Dari pernikahan mereka lahirlah Mur Jangkung.

Ketika Mur Jangkung tumbuh menjadi seorang pejuang yang terkenal dan mendengar tentang asalnya, dia memutuskan untuk membalas dendam kepada para pangeran Islam yang telah mempermalukan ibunya dan menghancurkan negaranya, Pajajaran. Ia kemudian berlayar ke Jawa dengan armada yang terdiri dari lima belas kapal perang.

Tentu saja, kisah tersebut tidak sesuai dengan fakta sejarah. Kitab Baron Sakhender merupakan karya sastra fiksi yang sarat dengan propaganda VOC agar selama berkuasa, dapat diterima oleh penduduk Jawa dan Sunda.

Back to top button