Veritas

Setelah Negara-negara Arab, Kini Pakistan Pun Siap-siap Berhubungan dengan Israel?

Perdana Menteri Khan, dalam wawancara eksklusif dengan saluran TV lokal, mengungkapkan bahwa dia “di bawah tekanan” dari beberapa “negara sahabat” untuk mengakui Israel.  Tetapi, kata dia, “Pakistan tidak akan mengalah sampai masalah Israel-Palestina diselesaikan.”

JERNIH—Serangkaian tulisan di media massa memaksa pemerintah Pakistan bulan lalu membantah kabar yang menyatakan Islamabad tengah bersiap memulihkan hubungan diplomatik dengan Israel. Jika itu terjadi, Pakistan haru menyiapkan langkah mengantisipasi kekecewaan besar publiknya sendiri.

Kementerian Luar Negeri Pakistan memang harus segera turun tangan sebelum rumor tersebut memicu demonstrasi di negara Islam tersebut.

Terlepas dari bantahan resmi, analis, pengamat, dan bahkan beberapa pejabat memperkirakan setidaknya ada sedikit kebenaran dalam spekulasi bedar yang bergulir. Apalagi angin tengah bergeser di Timur Tengah, dan dengan tanda-tanda yang meningkat bahwa Arab Saudi pun dapat segera mengikuti Uni Emirat Arab (UEA) untuk menormalkan hubungan dengan Israel.

Hal itu akan menandai perubahan bersejarah jika Pakistan dan Israel menyusul untuk secara resmi menormalkan hubungan. Pakistan tidak mengakui Israel sebagai negara ketika dibentuk pada 1948, setahun setelah Pakistan merdeka. Paspor Pakistan masih memiliki cap yang menyatakan bahwa dokumen itu berlaku untuk semua negara di seluruh dunia kecuali Israel.

Namun para pengamat yakin angin perubahan yang sekarang melanda Semenanjung Arab (termasuk di antara sekutu utama Pakistan di Timur Tengah dan pendukung tradisionalnya) selanjutnya dapat bertiup ke Islamabad. Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, kata mereka, telah memulihkan hubungan diplomatik dengan Israel setelah Arab Saudi dilaporkan memberikan penegasan diam-diam untuk melanjutkan penjajakan awal di antara kedua negara. Analis berpendapat, Pakistan bisa menjadi yang berikutnya jika Riyadh memberikan anggukan serupa.

Yang pasti, langkah seperti itu akan menghadapi perlawanan politik di dalam negeri. Senator Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) Musadiq Malik mengatakan kepada Asia Times bahwa keputusan penting seperti itu tidak dapat dibuat oleh beberapa individu dan bahwa perwakilan Palestina juga perlu diajak berkonsultasi.

“Beberapa orang tidak bisa memaksakan keputusan mereka pada bangsa. Kami telah memilih perwakilan dan parlemen yang dapat menentukan kebijakan dengan lebih baik dalam hal ini,”kata Musadiq.

Afrasiab Khattak, seorang politisi, intelektual, dan aktivis hak-hak Suku Pashtun, kepada Asia Times mengatakan, sejak era Pervez Musharraf (1999 hingga 2008) telah ada upaya di balik layar yang konsisten untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, meskipun sejauh ini hal itu tanpa hasil yang nyata.

“Ketika negara-negara Arab telah mengubah pendirian mereka terhadap konflik Arab-Israel dan mencoba untuk hidup damai dengan musuh mereka, lalu apa gunanya bertahan dalam kebijakan anti-Israel?” kata Afrasiab.

Beberapa hari setelah UEA secara resmi menghidupkan kembali hubungan dengan Tel Aviv, media asing dan lokal memuat laporan yang menunjukkan bahwa Arab Saudi dan UEA mendesak Pakistan dari belakang layar untuk menjadi yang berikutnya dalam mengakui Israel.

“Saya pikir ada percakapan yang sedang berlangsung di mana UEA dan MBS ingin Pakistan memimpin dan mengakui Israel tetapi tidak berpikir itu akan terjadi baik di Arab Saudi atau Pakistan. Ini secara politis tidak bisa dilakukan,” kata Ayesha Siddiqa, sarjana Pakistan dan ahli urusan militer, kepada Asia Times.

Spekulasi tersebut diperkuat ketika Perdana Menteri Khan, dalam wawancara eksklusif dengan saluran TV lokal, mengungkapkan bahwa dia “di bawah tekanan” dari beberapa “negara sahabat” untuk mengakui Israel.  Tetapi, kata dia, “Pakistan tidak akan mengalah sampai masalah Israel-Palestina diselesaikan.”

Khan tidak mengungkapkan identitas dari “negara sahabat” tersebut, hanya mengatakan bahwa Pakistan menjaga hubungan baik dengan mereka.

Namun ketika media Israel memberitakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Kepala Mossad Yossi Cohen mengadakan pertemuan diam-diam dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) di Kota Neom, Saudi, laporan itu juga mengungkap jet militer Pakistan yang dioperasikan Biro Intelijen Pakistan (ISI) berada di Amman ketika para pemimpin itu bertemu di sebuah resor Laut Merah.

Siddiqa menulis twit pada akhir November, “Jika kebijakan (normalisasi) tidak dipertimbangkan, lalu kenapa ada pesawat Angkatan Darat Pak PA-9834 di Amman selama dua hari dan dilaporkan media Israel?”

Arab Saudi dan UEA tentu memiliki pengaruh terhadap Islamabad untuk mendorong perubahan kebijakan Pakistan terhadap Israel. Pakistan sangat bergantung pada dukungan keuangan kedua negara untuk mencegah krisis utang, yang selalu dekat dengan berkurangnya cadangan devisa dan kontraksi ekonomi.

Selain itu, lebih dari empat juta ekspatriat Pakistan mengirimkan sekitar USD 4 miliar dari Arab Saudi dan UEA setiap tahun, mewakili hampir setengah dari USD 9 miliar, kiriman devisa dari luar ke negara itu setiap tahun.

Namun, hubungan Pakistan dengan UEA dan Arab Saudi telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena kecondongan Riyadh terhadap India dalam masalah Kashmir, dan peningkatan keterlibatan ekonomi dan politik New Delhi dengan negara-negara Arab. Saudi juga khawatir tentang hubungan Islamabad dengan Turki.

Akhir Agustus lalu, Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mehmood Qureshi, yang frustrasi atas kelambanan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) atas masalah Kashmir, mendesak pemimpin de facto kelompok itu, Arab Saudi, untuk “menunjukkan kepemimpinan” dalam masalah tersebut.

Itu adalah pernyataan yang penuh risiko. Segera setelah itu, Riyadh mewajibkan pembayaran prematur sebesar USD 2 miliar dari pinjaman sebesar USD 3 miliar dan menghentikan pengiriman minyak senilai USD 3,2 miliar yang diberikan atas pembayaran yang ditangguhkan.

Kunjungan diplomatik berikutnya dari Panglima Angkatan Darat Pakistan Jenderal Qamar Jawed Bajwa ke Riyadh pada awal Agustus tahun ini untuk meredakan ketegangan, gagal untuk mengamankan kembali fasilitas keuangan, karena Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman dilaporkan menolak untuk bertemu.

Yang pasti, Pakistan selalu memelihara hubungan diplomatik dan militer rahasia dengan Israel, kata FM Shakil, di Asia Times.

Kerja sama militer rahasia Pakistan dengan Israel dimulai pada 1970 ketika pemerintahan militer Jenderal Zia-ul-Haq ditempatkan di Yordania sebagai brigadir jenderal pada saat tentara Pakistan bertempur untuk mendukung Yordania melawan Palestina yang saat itu dipimpin Yassar Arafat pada 1970-71.

Lebih dari 7.000 warga Palestina tewas dalam perang tersebut dan Jenderal Zia telah menjadi kesayangan negara Yahudi, yang mendukung Yordania dalam konflik tersebut.

Kerja sama Pakistan-Israel berlanjut pada 1980-an selama intervensi Uni Soviet di negara tetangga Afghanistan. Kedua negara mengoordinasikan pendirian mereka tentang masalah Afghanistan dan bertukar informasi terkait pertahanan.

Diktator militer Jenderal Musharraf lebih vokal tentang interaksi pemerintahnya dengan Israel. Selama masa jabatannya, Pakistan dan Israel menjalin kontak diplomatik formal pertama mereka dan menggunakan staf diplomatik mereka di Ankara dan Istanbul untuk menjadi medium dan bertukar informasi tentang masalah-masalah yang terkait dengan pertahanan dan terorisme.

Pada 2009, biro mata-mata Pakistan ISI menyampaikan informasi kepada Mossad Israel tentang adanya rencana untuk membunuh orang Israel di India. Menurut kabel diplomatik AS Oktober 2009 yang diterbitkan WikiLeaks, kepala ISI dilaporkan telah menghubungi pejabat Israel untuk mencegah serangan tersebut.

Pada akhir Maret tahun itu, Musharraf menyerukan untuk menjalin hubungan dengan Israel untuk mengimbangi tawaran India ke Tel Aviv. Dalam konferensi pers di Dubai Maret, Musharraf mengakui bahwa dia telah memulai kontak dengan Israel ketika dia memimpin negara itu.

“Pimpinan Israel dengan cepat menanggapi tawaran saya. Saya yakin Israel ingin menciptakan hubungan yang lebih baik dengan Pakistan. Mereka masih menginginkannya,” katanya, sebagaimana dikutip Asia Times. [Asiatimes/The National Interest]

Back to top button