Landhuis Tjilongok dan Kisah Topi Bambu Tangerang Mencapai Eropa

- Kedatangan L. Petitjean dari firma Leduc & Co mengubah segalanya. Topi bambu Tangerang dijajakan di Paris.
- Di Landhuis Tjilongok segalanya berawal. Dari sini, topi bambu Tangerang dibuat dan dikapalkan ke Eropa.
JERNIH — Tahun 1888, Soerabaijasch handelsblad edisi 24 Maret menurunkan laporan menarik tentang kerajinan topi bambu Tangerang. Industri rakyat yang pernah mengangkat nama Tangerang di Eropa ini tersebar di banyak tanah partikelir; Tjoeroeg, Tigaraksa, Blaradja, Karang Serang Dalem, Radjeg, Passar Baroe, meluas ke Tjikande dan Rangkasbitoeng di Banten, dengan pusatnya di Tjilongok.
Tjilongok adalah desa di tanah partikelir (land) Karet milik Oeij Khe Thaij, kapitein der Chinezen Tangerang. Namun di ujung pena pers Hindia-Belanda, Tjilongok menjadi nama land karena adanya Landhuis Tjilongok — rumah pedesaan yang dibangun Oeij Khe Thai.
Bevolkingstatistiek van Java 1876 yang disusun Pieter Bleeker menyebutkan Land Karet membentang seluas 3.417 bouw, atau 2415 hektar, dengan lima desa yang dihuni 3.317 pribumi dan 450 Tionghoa. Land Karet di tahun 1880-an adalah penghasil padi dan kacang tanah.
Tidak ada catatan sejak kapan Tjilongok dan empat desa lainnya memulai industri rumahan kerajinan anyaman bambu. Laporan menyebutkan ketersediaan bahan baku, yaitu bambu tali, membuat masyarakat berkreasi memproduksi peralatan rumah tangga, topi, dan memasarkannya ke desa-desa di sekitar Tangerang.
Pedagang pengumpul secara berkala datang ke Tjilongok untuk membeli produksi Tjilongok dan menjuanya di Batavia. Kapten Oeij Khe Thaij menyediakan rumah pedesaannya sebagai tempat penimbunan hasil produksi dan transaksi. Dari Landhuis Tjilongok, kerajinan topi bambu Tangerang melakukan perjalanan ke banyak tempat.
Topi Bambu Tjilongok di Paris
Semula, pengrajin Tjilongok hanya membuat satu model topi. Sebagian besar diekspor ke Prancis, dijajakan di toko-toko di Paris, dan kota-kota lainnya. Belakangan setelah kedatangan L. Petitjean dari firma Leduc & Co, segalanya berubah. Pengrajin topi bambu Tangerang tak hanya membuat satu model, tapi beberapa sesuai pesanan dan perkembangan mode di Paris.
Mulailah pengrajin topi bambu Tjilongok berkenalan dengan model Chapeau mousse untuk pria, wanita, dan anak-anak. Topi ini agak tinggi, dengan lebar pinggiran 7 cm. Model M Capaline khusus wanita, tinggi 4,5 sampai 5 cm dan lebar 12 sampai 15 cm. Topi Pierrot untuk pria, wanita, dan anak-anak. Topi memiliki tinggi 12 cm untuk dewasa, dan 7 sampai 8 cm untuk anak-anak.
Di luar model itu, Petitjean juga memperkenalkan model topi pot untuk pria, dengan lebar tepi 12 sampai 15 cm. Topi Meksiko untuk pria dengan lebar pingiran 12 sampai 15 cm dan tinggi 7 sampai 8 cm. Model-model lain, sesuai perkembangan mode, muncul tahun-tahun berikut.
Di puncak industri topi, Tjilongok bukan satu-satunya penyuplai ke pasar internasional. Desa-desa di tanah parikelir lainnya, terutama Tjoeroeg, Blaradja, dan Tigaraksa, sibuk memenuhi pesanan internasional. Pengrajin dari tiga tanah partikelir terakhir itu akan selalu hadir ke Tjilongok untuk mendapatkan informasi dan mempelajari model baru yang diinginkan eksportir.
Ketersediaan bahan baku tak terbatas, berkelanjutan, dan gratis, membuat permintaan pasar terpenuhi. Empat desa di Land Karet, dengan Tjilongok sebagi pusatnya, memimpin dengan produksi 1.200.000 topi per tahun. Produksi dari desa-desa tanah partikelir lainnya; terutama Tjoeroeg, Tigaraksa, dan Blaradja, mencapai satu juta topi per tahun.
Hampir setiap pekan sepanjang 1880-an, penduduk dari desa-desa di tanah partikelir di luar Land Karet membawa hasil produksinya ke Landhuis Tjilongok. Kapten Oeij Khe Thaij mengurus semuanya, dan mendistribusikan hasil penjualan ke setiap pengrajin. Dari rumah pedesaan ini, topi-topi itu dikemas dan dimasukan ke peti kayu besar tahan air laut agar topi tidak rusak selama perjalanan. Setiap peti berisi 1.320 sampai 1.800 topi.
Setiap topi punya harga, tergantung kehalusannya. Untuk topi kasar, misalnya, dijual 10,35 sen gulden, topi jenis paling halus dijajakan di Paris 1,50 gulden. Yang paling mahal, dan dibuat secara khusus dan terbatas, dijual 7,50 sampai 25 gulden. Namun topi-topi edisi khusus ini dibuat oleh pengrajin dengan ketrampilan mumpuni, tingkat kesabaran tinggi, dan punya cita rasa. Namun, topi-topi mahal ini — karena kehalusan yang luar biasa — menjadi mudah rusak, dan perlahan menjadi tidak laku.
Javasche Courant melaporkan tahun 1887, Tangerang mengekspor 760 peti topi. Rincinya, 760 peti ke Paris dan sisanya ke Jerman, Belanda, dan AS. Di puncak industri topi Tangerang, antara 1880-1900, Landhuis Tjilongok berubah menjadi tak ubahnya kantor eksportir, dengan banyak pekerja terlibat dalam pengepakan dan pengiriman ke pelabuhan.
50 Ribu Penduduk
Bagi penduduk Tjilongok dan sekitarnya, semula menganyam bambu adalah pekerjaan sampingan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Penduduk tetap pada pekerjaan inti sebagai petani dan pekebun, dan menjalanan kompenian — kerja wajib di tanah yang dikelola langsung tuan tanah.
Tahun 1880-an, ketika permintaan topi bambu meningkat, penduduk melibatkan anak semua usia dalam produksi.
Soerabaijasch handelsblad dan Javasche courant mencatat anak usia tujuh tahun dilibatkan keluarganya dalam penganyaman, dengan bahan baku yang disediakan orang tuanya.
Sebanyak 50 ribu penduduk dari tanah-tanah partikelir di sekitar Tjilongok terlibat dalam industri ini selama lebih satu dekade. Anak-anak, dan ibu rumah tangga, mengambil alih pekerjaan menganyam ketika orang tua dan suami mereka harus menjalankan kompenian dan memanen padi.
Situasi berubah ketika banyak petani dari luar Land Karet tidak lagi membawa hasil produksinya ke Landhuis Tjilongok, tapi menjual langsung ke tengkulak dari Cilacap. Tengkulak-tengkulak itu, pribumi dan Tionghoa, menerima topi setengah jadi dari desa-desa di Tjoeroeg, Karang Serang Dalem, Blaradja, Tigaraksa, menyempurnakannya dan menjualnya di Batavia dan kota-kota di Jawa Tengah.
Tidak jarang, tengkulak membayar di muka — tentu saja di bawah harga pasar — kepada kelompok pengrajin. Yang terjadi adalah pengrajin kesulitan memenuhi tengat waktu, dan kualitas produksi tak sesuai pesanan. Sedangkan Tjilongok telah menetapkan standar kualias karena memenuhi kebutuhan ekspor.
Pesanan dari Prancis tidak terbatas topi, tapi juga kap lampu, kotak cerutu, dan tikar. Uji coba terus dilakukan tapi sampai 1888, saat Soerabaijasch handelsblad membuat laporannya, upaya itu gagal. Topi bambu Tangerang bertahan sampai 1930-an, meski volume ekspor terus menurun.