5 PUISI IHWAL BENZ SATRIADJI

RED WINE
red wine menemani senja
aromanya menerka reka
layar sentuh menjadi kiblat
yang entah dimana akan bertempat
meja hijau pun menjadi alat
tempat manusia saling hujat
red wine seolah menawarkan
kehebatan harapan
disudut warung remang-remang
wanita setengah baya berlomba mengais harapan
bergelut dengan aroma pewangi birahi
bersubsidi
red wine menjelma dua mata keping
simbol garuda yang dipertaruhkan
151024
Gedung Juang Bekasi
*
CATATAN REDAKSIONAL
Red Wine dan Aroma Perlawanan: Membaca Benz Satriadji dari Gelas yang Retak
Oleh Irzi Risfandi
Puisi Red Wine karya Ihwal Benz Satriadji mungkin terdengar seperti judul film noir dengan set malam yang dipenuhi asap rokok dan luka batin yang berlarut. Tapi jangan salah—di balik kesan elegan dari “red wine” yang biasanya kita asosiasikan dengan meja-meja eksklusif dan percakapan ala Prancis, Benz justru menghidangkannya dalam cangkir rakyat. Puisinya bukan tentang minuman anggur semata, tapi tentang aroma harapan yang pelan-pelan menguap dalam dekadensi. Ini bukan puisi yang mabuk gaya, tapi puisi yang sadar betul aroma getir dunia.
Puisi ini dibuka dengan larik yang terlihat sederhana tapi menggoda: “red wine menemani senja / aromanya menerka reka.” Di sinilah Benz menunjukkan keahliannya bermain diksi: ‘menerka reka’ adalah frasa yang bunyinya manis, tapi menyimpan kebingungan eksistensial. Kita diajak bersantai di kursi yang goyah, menyentuh layar gadget yang jadi ‘kiblat’, tapi tak tahu harus menuju mana. Apakah ini tentang kita yang setiap malam scrolling Twitter atau TikTok sambil merasa tak pernah benar-benar hadir? Bisa jadi. Atau ini tentang betapa teknologi, yang harusnya jadi alat, telah berubah jadi altar.
Ketika ia menulis, “meja hijau pun menjadi alat / tempat manusia saling hujat,” aroma satire langsung naik ke permukaan. Benz tidak bermain aman—di sini ia menunjuk langsung pada budaya debat publik yang kini lebih mirip sinetron gladiator, entah itu di ruang politik, televisi, atau kolom komentar. Dan ‘red wine’ bukan lagi teman bersulang, tapi simbol perayaan harapan palsu yang dijual secara massal. Ketika puisi masuk ke bagian “warung remang-remang” dan “pewangi birahi bersubsidi,” Benz meluncur lebih dalam ke sisi gelap kehidupan urban yang penuh ilusi. Aroma sensual bercampur getir ekonomi, dan tubuh menjadi komoditas yang dibungkus wewangian murah.
Puncaknya, Benz mengubah ‘red wine’ menjadi metafora besar yang menantang: “dua mata keping / simbol garuda yang dipertaruhkan.” Ini adalah kritik yang tidak bisa ditutup-tutupi. Garuda, simbol negara, kini ditaruhkan di meja judi harapan, tempat kita tak tahu lagi siapa yang menang dan siapa yang dihabisi. Benz bukan cuma sedang menulis puisi, tapi sedang menyusun elegi buat bangsa yang mabuk pada jargon, tapi lapar pada kejujuran. Ini bukan puisi romantis, ini puisi realis yang berdarah halus.
Mengenal Benz Satriadji lewat puisi ini saja rasanya seperti membaca CV kehidupan yang ditempa banyak ruang: pesantren Jawa Timur, panggung tari kontemporer, festival kota hingga komunitas sastra Bekasi dan Jakarta Timur. Ia bukan hanya penulis, tapi pejalan kesenian yang mencampur spiritualitas, kritik sosial, dan estetika jalanan jadi satu racikan yang—seperti red wine dalam puisinya—bisa bikin kita sedikit oleng tapi tambah sadar. Dan mungkin itulah fungsi puisi hari ini: bukan untuk membuat kita tenang, tapi membuat kita resah dengan cara yang elegan.
2025
*
LEMBANG
terkadang takut melihat cermin
menatap potret itu begitu nyata
lesatan waktu yang terlewati
bukan alasan kerentaan hayati
keindahan putihmu menikam hati
kehangatan pelukmu menyejukan rasa dinginnya setiap malamku
menjadi doa pengikat rintih desahanmu
pagi yang kembali menjatuhkan peluh berupaya mengejar segala tafsir janji
teruji syariat kesabaran
yang entah akankah menjadi cahaya hati?
air mata yang mengurai jawaban takdir pun belum mengering
secangkir kopi menemani imaji pagi ini
kita akan menjelajahi aliran haru
mematri bahagia melewati nestapa
Ihwal Benz Satriadji
Lembang 2021
*
TERBAYARKAN
seiring peluh yang berjatuhan
kata-kata itu menikam
hati yang dibutakan
membabi dengan kebodohan
meriuh gelak tawa durja
opium dan mariyuana menari
seindah itukah mengurai
kebencian dan iri hati?
diam menjadi solusi
menjadi energi kejernihan berfikir
sayatan itu terbayarkan
ketika keterpaksaan kau tampilkan
Selatan Jakarta
Agustus 2024
*
RATAPAN
waktu menepi
merajut kendali
origami kitab suci
adalah kenyataan,
bersama kebisingan suara
yang tak terdengar lagi
meratap pada ayat-ayat harapan
menengok lembar hutang ilahi
diantara al kautsar dan teka-teki mutasyabihat
IBS,
Mekkah 2019
*
BERCUMBULAH
rimba hutan kau salahkan
berdalih pembangunan padahal kepentingan
longsor menyambut banyak jiwa
dahan dan ranting terkulai
bumi memanas
mesiu hitam dan putih kau tebar
merenggut nyawa tak berdaya
trinitrotoluene jatuh bagai hujan
kontruksi bumi terhancurkan
mengatasnamakan pertahanan dan perdamaian.
banyak nyawa dan darah dikonsumsi politik farmasi
cairan tanpa pengujian terpaksa kau suntikan sementara batu nisan seolah juga sudah di siapkan
diatas dandang harapan
uap kalbu tak terbendung
hujan dipipi ibu
melukis merah putih premis negeri ini
otak berstimulan birahi dan angka
Kekuatan fikir dan finansial tak akan diam tanpa rampasan,
bercumbulah!
IBS,
Bekasi 80325
*
BIODATA:
Ihwal Benz Satriadji, lahir di Jakarta, 9 Agustus 1979. Lulusan Teknik dari ISTN Jakarta, bagian dari Korps Black Jacket. Ia juga pernah menimba ilmu di sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur, antara lain: Lirboyo, Gading Mangu, Al-Fattah Sukotirto, dan Al-Ubaidah Kertosono.
Ia aktif sebagai penulis dan penyampai Jurnal Kotbah, penyiar di Radio Mandala Yudha, serta dikenal sebagai inisiator Sinergi Seni dan Budaya (SinSeBu)—sebuah festival seni lintas provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang digelar di Bekasi sejak tahun 2010.
Pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Bekasi dan turut serta dalam berbagai lokakarya dan festival, di antaranya:
– Festival Cak Durasim (2008)
– Jak@rt Festival (2004) – roadshow 14 kota (Jakarta–Bali)
– Performance Art Jak@rt Festival (2008)
– Lokakarya Seni Jawa Barat–Jawa Timur
Ia juga menggarap karya tari kontemporer Makna 1 dan Makna 2—diadaptasi dari puisi karya Amelia Larissa-Irene Foo (Singapura)—yang dipentaskan di Jakarta, Bekasi, Bandung, dan Nusa Dua, Bali.
Aktif sebagai pegiat literasi dan sastra di Bekasi dan Jakarta Timur, ia merupakan pendiri Sanggar KEDIP Bekasi, TBM Aksara Timur (Jakarta Timur), serta tergabung dalam Komunitas Sastra Jakarta Timur (KSJT).