POTPOURRI

Hari Ini Ketika Eropa Merebut Kembali Konstantinopel

Sejarah perang selalu menarik dibicarakan, karena kerap menyisakan pertanyaan tak terjawab setelah konflik berakhir.

Usai Perang Dunia I — dengan Inggris, Prancis, dan negara-negara sekutu lainnya muncul sebagai pemenang — muncul pertanyaan mengapa harus terjadi pendudukan atas Istanbul, ibu kota Turki Ottoman?

Tahun 1918, orang-orang yang lelah berperang — Turki Ottoman dan Kekaisaran Hapsbrug — mulai berpikir tentang bagaimana cara mengakhiri perang. Memasuki Oktober 1918 kedua pihak yang kelelahan mulai mengadakan pembicaraan untuk mengakhiri konflik.

Pada 30 Oktober 1919, bertempat di atas kapal HMS Agamemnon, Turki Ottoman dan sekutu menanda-tangani Gencatan Senjata Mudros.

Perjanjian Gencatan Senjata tidak menyebut soal pendudukan di wilayah yang ditengarai terdapat ancaman keamanan bagi sekutu. Turki Ottoman merasa nyaman dengan perjanjian itu.

Namun, pada 13 November 1918, Inggris mendarat di Istanbul. Prancis, dan negara-negara sekutu lainnya, mendaratkan pasukan pada hari-hari berikut.

Sesuatu yang aneh. Mengapa Inggris dan Prancis tidak melakukan hal serupa terhadap Berlin, Wina, Budapest, dan Sofia? Pertanyaan lain, mengapa ibu kota sekutu Turki Ottoman itu diperlakukan berbeda.

Nur Bilge Criss — dalam Occupation during and after the War (Ottoman Empire) — menulis dalam rentang waktu pendek setelah Gencatan Senjata Mudros, Menlu Inggris Lord Nathaniel Curzon memutuskan pendudukan atas Istanbul. Keputusan ini diikuti negara-negara sekutu lainnya.

Laporan resmi tidak mengungkap alasan pendudukan, tapi analisis paling masuk akal dikemukakan Philip Mansel dalam bab terakhir buku Death of a Capital City. Menurut Mansel, alasan pendudukan adalah balas dendam, imperialisme dan antikomunisme.

Alasan lain, sekutu ingin mempercepat pelucutan senjata dan menjaga pembagian wilayah di bawah kendali ketat.

Inggris dan Prancis ingin memastikan kerugian selama Perang Galipolli tidak sisa-sia. Keduanya juga membutuhkan ruang untuk memperluas dukungan logistik kepada Rusia Putih, yang sedang berperang melawan Bolshevik dalam Perang Saudara di Rusia.

Setelah pendudukan Istanbul, Curzon mengusulkan solusi sangat kuno untuk ibu kota Turki Ottoman itu. Bahwa, Istanbul harus diubah menjadi negara kota, sultan dan kekhilafahan harus pindah ke Bursa atau Konya.

Mansel berpendapat tujuan Curzon sebenarnya adalah menghancurkan citra Islam yang melekat pada diri Istanbul, dan menekan gerakan khilafah yang saat itu menggejala di India. Curzon yakin sukses mengubah Istanbul akan melemahkan perlawanan penduduk Islam di India.

Saat tentara Inggris mendarat di pelabuhan Istanbul, seorang pejabat Ottoman mengingatkan pendudukan ibu kota bertentangan dengan perjanjian gencatan senjata. Perwira Inggris mengatakan Istanbul ditunjuk sebagai markas militer.

Tahun 1919, pemerintahan Sekutu di Istanbul dibentuk dengan komisioner tinggi Inggris, Prancis, Italia, AS, Yunani, dan Jepang, sebagai eselon teratas. Wewenang di antara mereka didistribusikan menurut urutan.

Militer Inggris bertanggung jawab atas kontrol paspor, polisi sipil, pengadilan sipil dan militer, dan penjara. Prancis berkuasa atas satu penjara. Inggris lima.

Kali pertama sejak merebut Konstantinopel dari Roma Bizantium, dan mengubah nama kota itu menjadi Istanbul, orang Turki tertindas. Bangsa penakluk itu kini ditaklukan.

Perlawanan Milisi Lokal

Inggris menjarah rumah-rumah penduduk Muslim. Membiarkan orang-orang Yunani berpesta di jalan-jalan, dan berbuat seenaknya.

Muncul kebencian penduduk terhadap pasukan pendudukan. Di sisi lain, Inggris dibuat repot dengan pengungsi Rusia setelah Bolshevil mengakhiri perlawanan Rusia Putih dalam Perang Saudara.

Muncul milisi lokal yang melakukan perlawanan bawah tanah. Seiring waktu, perlawanan menjadi sedemikian terorganisir dan dipimpin Mustafa Kemal Pasha.

Inggris merespon dengan menciptakan proxy war, dengan memfasilitasi Yunani untuk merebut wilayah-wilayah nenek moyang mereka yang masih dikuasai Turki. Misal; Izmir, Aydın, Manisa, Turgutlu, Ayvalik, dan Tekirdağ (Rodosto) di Thrace.

Inggris menyatakan netral kendati siapa pun tahu London sepenuhnya memberi fasilitas kepada Yunani. Akibatnya, Yunani merasa perlu bergerak lebih jauh dari Garis Milne, batas yang dibuat Jenderal Inggris Georges Milne.

Ketika menuju Laut Aegean dan bergerak menuju Ankara, Yunani tidak sadar berada sangat jauh dari basis dukungan logistik. Turki mengisolasi pasukan Yunani, dan menghancurkannya.

Perang Yunani-Turki berakhir di Pertempuran Sakarya. Turki melancarkan serangan terakhir pada 30 Agustus 1922. Turki menawan jenderal Yunani. Pasukan Yunani yang mundur melampiaskan keputus-asaan dengan menghancurkan desa-desa.

Di Izmir, orang Yunani mati-matian naik ke kapal untuk melarikan diri ke pulau-pulau yang dikuasai Yunani. Sejarawan Yunini mencatatnya sebagai Bencana Asia Kecil, yang mengakhiri gagasan Yunani Raya dan politik Inggris.

Prancis dan Inggris mulai mencium bahaya kebangkitan Turki. Terlebih setelah parlemen Turki di Ankara secara resmi menghapus kesultanan dan Sultan Vaideddin meninggalkan negara itu menuju tempat pengasingannya di San Remo, Italia.

Perubahan rejim di Turki, dari kekaisaran menjadi republik, diikuti Perjanjian Damai Laussane pada 24 Juli 1923, yang ditandatangani Inggris, Prancis, Italia, Jepang, Yunani, Rumania, dan negara-negara Balkan.

Tidak ada alasan bagi sekutu untuk bercokol lama di Istanbul. Ketika pasukan Turki memasuki kota, Inggris, Prancis, dan Jepang, angkat kaki.

Back to top button