Puisi

5 PUISI VIESHA FEREGGDINA

GERBONG MALAM

Petang menuntuni hari
kepadanya untuk pulang,
setiap kali langit menuju gelap
dan lalu lintas bintang padat.

Sebut saja malam
gerbong tunggu,
kereta sunyi menuju entah,
singgah di stasiun kepala
di mana tuju sering kali
masih berhimpun di benih dahi,
beraroma hujan berbau lautan.

Ia membawa barisan tanya
yang tak kunjung menjelma arah—
semacam kepergian
yang selalu menunggu dijemput pulang.


CATATAN REDAKSIONAL

Tiket Satu Arah ke Dalam Diri: Naik “Gerbong Malam” Bareng Viesha Fereggdina

oleh IRZI Risfandi

Salah satu kegemaran terbesar generasi kekinian, selain scrolling reels dan overthinking tengah malam, adalah diam-diam naik gerbong pikiran ke dalam diri sendiri. Dan puisi “Gerbong Malam” karya Viesha Fereggdina terasa seperti tiket metaforis menuju perjalanan yang personal, sunyi, tapi tetap memesona. Tak berisik, tak berlebihan, namun menggoda dengan aroma hujan dan bintang yang padat, seolah Sha—begitu ia akrab disapa—tahu persis bagaimana mengunci suasana malam dalam secarik kata yang basah dan reflektif.

Sebagai penyair muda yang berasal dari lintas disiplin (lulus dari jurusan MIPA, lho!), Viesha menunjukkan bahwa rasionalitas dan sensitivitas bisa saling berdansa manja. Di tengah kebisingan narasi puisi yang kadang meledak-ledak, Gerbong Malam hadir dengan estetika tenang dan kontemplatif. Ia menuliskan, “kereta sunyi menuju entah”—dan siapa sih anak zaman sekarang yang tak pernah naik kereta metaforis ke “entah”? Ini bukan sekadar perjalanan pulang, ini perenungan yang ditata rapi dan menolak terburu-buru.

Secara bentuk, puisi ini tak neko-neko. Tapi justru karena itu, ia berhasil menggerakkan banyak hal di kepala kita. Ada aroma hujan, laut, dan stasiun dalam benak—simbol-simbol yang lekat dengan kerinduan, keraguan, bahkan keinginan untuk menemukan peta hidup. Ini bukan puisi yang menjelaskan, tapi yang mengajak kita berjalan perlahan. Viesha seolah berkata, “Nggak apa-apa kok kalau tujuan belum jelas. Yang penting kamu duduk dulu di gerbong ini.”

Menariknya, Gerbong Malam bisa dibaca dalam banyak lapisan: sebagai puisi patah hati, puisi perenungan eksistensial, bahkan puisi tentang krisis kuartal hidup yang semua generasi Z dan milenial pasti relate banget. Lewat diksi yang bersahaja tapi penuh imajinasi, seperti “barisan tanya yang tak kunjung menjelma arah”, Sha memperlihatkan bahwa kecemasan bisa dirawat dengan kata-kata, bukan hanya dengan scrolling TikTok sampai ketiduran.

Sebagai penyair yang juga aktif di Instagram dan memiliki ketertarikan pada fotografi, bisa jadi Gerbong Malam adalah potret sunyi yang ditangkap lewat lensa batin. Viesha Fereggdina bukan hanya menulis puisi—dia membingkai ulang malam sebagai ruang hening yang produktif untuk berpikir, bertanya, dan barangkali, diam-diam berharap dijemput pulang. Karena malam, pada akhirnya, adalah stasiun kecil tempat kita belajar menunggu dengan sabar. Dan dari puisi ini, satu hal yang pasti: kata-kata bisa jadi rel, dan puisi adalah kereta paling jujur menuju siapa diri kita sebenarnya.

2025


KIPRAH NASIB

Kiprah nasib yang dikasihi—
kebutuhan harus ditarik,
seutas angka yang terikat nasib
tengah diusahakan daya upaya
supaya cukup. Hanya cukup.

Namun hidup tak pernah ringkas,
tak menarik kesimpulan.
Sekepal juang
tergerus arus penghidupan,
menyisakan sekejap keyang dalam ingatan
yang tak pernah benar-benar makan.

Menjadi kekeringan,
wajah tandus seiring hujan
yang tak pernah basah—
selain lembab dari aliran sudut pandang,
dari mencoba peruntungan
dengan mata tertutup dan tangan terbuka.


POLA YANG TAK SELESAI

Sebut saja semu,
sesaat mula-mula
baru dikaitkan
dengan pada–kepada.

Sesekali pun bisa
menjadi kenapa, bagaimana,
dan hanya satu jawaban ujarnya
yang pasti, maka sebut saja pola.

Kiranya takdir hadir
dari sudut pandang
yang terpontang-panting,
manakala tak bisa memilah pilihan
mana yang cukup terbiasa
menahan getaran di kepala.

Atas waktu yang terus berputar,
di mana me–lingkar adalah titik ujung,
menunjang garis, memuai baris
yang tumpang tindih—
sebagai tumpu dari ingatan.

Pola pun tak selalu selesai,
ia tumbuh menjadi labirin,
dengan petunjuk yang menyesatkan,
di peta yang digambar ulang setiap malam.


KEPADANYA, TERUS

Hanya saja tidak beralasan,
terkadang sebab-akibat
merebut lembutnya lugu
menjadi ragu antar lalu.

Hingga tersesat,
kebingungan tergurat
dalam garis rentang angka,
dalam hal tak terduga.

Semula dikatakan,
kini ragu terutus,
malu diutus,
bengkok dari tidak lagi meminta—

dibiarkan saja kepada,
kepadanya, terus menenun usia,
dengan benang yang tak pernah
benar-benar memilih arah.


MENINGGALKAN KOTA, MENEMUI LAUT UNTUK TENANG

Pasir berkumpul di tangannya,
mengutus sapa pada laut—
lembut bibir pantai
menerima suara ombak
yang tak pernah benar-benar sampai,
hanya menyinggahi
diri yang sebagiannya
telah hilang di pesisir.

Perkotaan selalu meninggalkan asam,
di mata air asin
yang tumpah seakan badai dan hujan
bukan sekadar pelupa,
melainkan sesuatu
yang tertinggal di lidah,
di bawah senyum
yang pernah dijadikan pelampung.

Ternyata lautan itu semacam ingatan:
tenang yang ditanggul,
tanggal yang menanggal,
bertahun,
dan sorot senja
adalah percakapan paling jujur
di antara semua yang tak terucap.

Ia akan kembali.
Tunggui saja.
Sejumput tenang
selalu hadir
dalam hidangan gemetar,
mengenyangi sebab-akibat,
sembab-nasihat,
di piringan kerang
yang menyimpan
balutan sunyi.

BIODATA :


Viesha Fereggdina, yang akrab disapa Sha, adalah lulusan Sekolah Menengah Atas Negeri dengan peminatan di bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ia aktif menulis dan berbagi karya melalui Instagram @taerarcium. Selain menulis, Sha gemar berolahraga, mendengarkan musik, membuat sketsa, serta memiliki minat besar dalam fotografi dan dunia kepenulisan.

Check Also
Close
Back to top button