Ia hanya menatap mata Pak Ciknya sekian lama. Bukan untuk apa-apa, hanya untuk merekam mata yang marah itu di benak, lalu menjadikan rekaman itu dorongan yang menguatkan dirinya untuk terus mencari dan bertumbuh. Bagaimana pun Malik sadar, ia adalah tunas yang akan tumbuh, mungkin saja bahkan tinggi menjulang. Sementara Pak Ciknya hanyalah daun yang segera akan menguning, jatuh dan membusuk di tanah. Mengapa harus sakit hati menerima penghinaan seorang yang segera akan jatuh dan membusuk?
Pengantar :
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—
Episode 11
Malam itu Malik susah tidur. Berkali-kali matanya coba ia pejamkan pun, tak pernah berhasil lelap. Ia merasa telah diperlakukan tak adil oleh ayahnya sendiri. Malik merasa tak meminta banyak, hanya izin untuk berangkat ke Tanah Jawa. Toh di Jawa sana, ia yakin bisa menghidupi dirinya sendiri. Ia akan mencari pekerjaan yang mungkin ia dapatkan.
Bukan pekerjaan yang sepenuhnya mengandalkan tenaga, tentu, mengingat selain tak punya pengalaman kerja kasar, dirinya seorang anak laki-laki tanggung yang tak tergolong orang kuat. Tetapi bukankah ia punya banyak kelebihan, terutama dalam hal baca tulis sementara banyak sekali laki-laki lain di atas usianya pun tidak bisa?
Selama ini Malik pun bukan sepenuhnya tak tahu diri dan membangkang. Sejak kecil ia mencoba belajar hal-hal yang dimaui ayahnya, antara lain belajar Alquran dan berbagai ilmu alat, seperti Nahwu dan Sharaf, misalnya. Setiap hari bersekolah dua kali: Sekolah Desa dan belajar agama di Thawalib. Belum lagi kewajiban ikut belajar mengaji di masjid setiap sore hari. Malamnya, ia ikut kebiasaan anak-anak Minang yang lebih banyak menginap di masjid dibanding tidur di rumah.
Ketika hal itu pun belum dianggap cukup oleh ayahnya, Malik tak pernah membantah saat ayahnya memintanya belajar agama kepada seorang guru terkemuka, Syekh Ibrahim Musa. Syekh itu tinggal di Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi. Cukup jauh dari Padangpanjang, karena itu harus didatangi dengan mengendarai bendi.
Padahal belajar di Parabek itu memerlukan tekad dan kesabaran tersendiri. Belajar di sana otomatis menjadikan Malik ‘orang Siak’. Itu sebutan untuk para pelajar yang belajar penuh—24 jam, kepada guru agama. Belajar seiring menjalani hidup. Di Jawa sebutannya santri, dan lembaganya disebut pesantren. Sementara di Sumatera, kata ‘orang Siak’ bermula dari banyaknya orang-orang dari Siak Indrapura belajar agama ke Tanah Minang yang pada masa itu lebih banyak memiliki para ulama terkemuka.
Mau menjadi orang Siak artinya harus mau juga belajar memasak dan hidup prihatin serta mandiri. Malik harus belajar menanak nasi sendiri, mencari atau menyediakan lauk pauk sendiri, dua kali sehari. Memasak nasi dan lauk pauk biasa dilakukan di dapur besar yang berlaku umum. Semua anak Siak boleh memasak di sana. Malas? Ya boleh-boleh saja, asal mau menanggung lapar sendirian.
Jadi, manakala shalat Subuh dan wirid selesai, Malik segera lari ke dapur, menyiapkan makanan hari itu. Harus cepat, kalau tidak keduluan orang Siak lain dan ujung-ujungnya nasi belum matang saat pelajaran pagi ke siang dimulai. Maklum, jumlah tungku masak pun terbatas.
Beras rutin dikirim ayahnya yang datang dalam waktu-waktu tertentu. Atau dititipkan via pemilik kuda beban yang rutin melintasi Padangpanjang- Bukittinggi setiap hari. Lauk?
Malik punya banyak cara mendapatkan lauk pauk. Kepandaiannya berbincang, lengkap dengan kepiawaiannya berpantun dan petatah-petitih, membuatnya gampang menemukan pertemanan. Tak hanya dengan anak-anak sebayanya, melainkan dengan mereka yang berusia di atasnya, bahkan para orang tua dan ibu-ibu!
Pada hari pertama ia datang ke Parabek, Malik bahkan sudah punya seorang teman yang kemudian menjadi sahabat setianya. Dani namanya, anak kampung sekitar.
Pada hari Sabtu pelajaran prei. Saat itulah murid-murid akan berkelompok-kelompok pergi berbelanja ke Bukittinggi. Di sana mereka membeli ikan asin, minyak tanah, minyak goreng, belacan (terasi) , garam, bawang dan sebagainya untuk memasak. Pulangnya lewat tengah hari.
Sorenya kebanyakan mereka sudah membuat sambal atau lauk lain untuk makan, sementara malam sudah ada jadwal untuk menghafal syair dan menyanyi bersama.
Meski harus hidup prihatin, di Parabek Malik benar-benar merasakan hidup merdeka. Tak ada ayahnya yang dirasanya mengekang. Apalagi Malik sangat pandai bergaul. Di bulan pertama, tak ada lagi seorang orang Siak pun yang tak mengenalnya. Di bulan kedua, Malik dengan bantuan Dani bahkan telah dikenal warga kampung. Malam, di sela-sela kosongnya waktu, bersama Dani keduanya mendatangi guru silek terkenal di Parabek, Sutan Marajo.
Di sinilah Malik mendapatkan guru ketiganya dalam basilek, setelah Angku dan Mak Tamam. Di sini pula Malik mengenal berbagai langkah dan jurus baru, yang menurutnya lebih efektif daripada jurus-jurus yang Angku ajarkan. Tapi itu artinya jurus-jurus yang diajarkan Sutan Marajo memang lebih mematikan.
Namun Malik pun akhirnya sadar, bukan Angku kalah maqam dalam basilek dibanding Sutan Marajo. Angku tak mungkin mengajarkan jurus-jurus mematikan yang berbahaya pada anak seusia 6-10 tahun dulu. Salah-salah, bisa terpakai secara salah dan tanpa sadar. Bila Sutan Marajo kini mengajarkannya, wajar saja. Ia kini sudah lebih dari 13 tahun, sebentar lagi pun mungkin sudah keluar Minang pergi merantau.
Wilayah ‘jajahan’ Malik pun kian pekan semakin luas. Mulai dari segenap pelosok Parabek, Durian, Sungai Tanang, Padang Luar, Keratau, Bengkawas, Kapas Panji hingga Guguk Tinggi.
Setiap libur mengaji Malik menyempatkan diri berjalan mengitari kampung-kampung tersebut. Menurut dia, itulah caranya menenangkan pikiran setelah sepekan penuh belajar agama. Di sawah-sawah dan kebun sayur, tak jarang orang memanggilnya untuk datang. Mereka memintanya ikut makan bersama. Saat itulah Malik memamerkan kepandaiannya berdoa atau pun berpantun dan petitih. Kian terkenallah namanya di seantero Parabek dan kampung-kampung seputarannya. Ia dikenal sebagai orang Siak yang tak hanya pandai berdoa dan barzanzi, melainkan juga piawai berpantun dan berpetatah-petitih adat.
Pulangnya selalu dipastikan kambut wadah barang-barangnya penuh. Saat lewat kebun jagung, pemiliknya memberinya jagung barang empat lima batang. Bila yang ia susuri kebun kacang, pemilik kebun tak pernah keberatan membawakannya kacang panjang, pucuk daun kacang atau pucuk daun ubi kayu untuk dibawanya ke dapur umum. Lumayan buat lalapan pencolek sambal belacan.
“Malim*, bawalah ini ke surau. Pemberianku padamu akan membawa barokah buat ladangku,” begitu biasanya orang-orang kampung akan berkata saat memberikan segala macam sayur mayor itu. Saat tiba di surau, biasanya kambut dan bawaannya itu ia buka dan bagikan. Bagaimana pun tak mungkin ia sendirian memakan pemberian tersebut.
Malik menjalani kehidupan sebagai orang Siak itu dengan enteng saja. Ia memilih mengalir dan menjalaninya hingga akhir dibanding menentang kemauan ayahnya. Karena itu pula Malik selama berdiam di surau Parabek pun sempat menggodai orang-orang sekampung yang saat itu begitu ketakutan akan hantu dan ‘induk bala’. Merasa sedikit terganggu dengan selalu ramainya hantu diceritakan seorang pelanggan warung kopi, Malik terpikir membuatnya kapok. Ia sengaja datang sejenak ke warung kopi itu dengan dandanan menyerupai jin: wajah dicoreng moreng, berkerudung kain aus, berselimut sarung yang ia sabet dari jemuran orang dan aneka busana ganjil lainnya.
Tak harus berkata apa pun untuk membuat orang-orang di lepau—terutama pelanggan yang gemar ngoceh soal jin itu, terdiam terkesiap. Ia malah melihat tukang ngoceh yang gemar menjadi ‘primadona lepau’ merangkak ketakutan ke bawah meja. Mungkin saja terkencing-kencing. Cepat pula Malik angkat kaki, membersihkan diri dan membuang seluruh barang yang dikenakannya dengan rapi. Kalau tidak, bukan tak mungkin ia menjadi sasaran bogem mentah para pelanggan lepau saat mereka tersadar.
Semua itu dilaluinya, hingga ayahnya pula yang memanggilnya pulang dan berhenti mengaji di Parabek. Lalu setelah semua itu, ayah dengan mudahnya memintanya kembali lebih mendalami ilmu yang membuat kepalanya pusing itu? Tidak! Itu tidak adil, karena sama sekali ayahnya tak mempertimbangkan keinginannya belajar ke Tanah Jawa itu. Keinginan yang bukan sekali dua ia nyatakan di beberapa kali kesempatan bertemu ayahnya yang sibuk berdakwah ke berbagai pelosok.
Alih-alih memejamkan mata, Malik justru bangun. Diambilnya kantong kain yang sering dibawanya bepergian jauh. Dibukanya lemari pakaiannya. Diambil beberapa ganiah dan serawal. Juga kain sarung. Dimasukkannya pakaian itu ke kantong kain yang ia siapkan. Lalu ia pun kembali terbaring. Menunggu.
Ayam jantan belum lagi berkokok ketika Haji Rasul yang telah menyelesaikan sekian rakaat tahajud bermaksud membangunkan Malik. Hari sebentar lagi subuh. Digesernya pintu kamar Malik yang sedikit menganga terbuka.
“Malik! Malik, bangun!” ujarnya. Rasa waswas mulai menyelimuti batin Haji Rasul saat dilihatnya ranjang Malik kosong. Selimut pun terlipat rapi, entah tak digunakan semalam, atau sudah dilipat lagi pemakainya.
“Malik!” Haji Rasul kian cemas. Jendela tertutup, dan tak mungkin Malik keluar lewat jendela itu. Di bawahnya selokan cukup besar yang rawan membuat orang terpeleset. Tiba-tiba Haji Rasul teringat pintu depan, segera bergegas ke sana. Saat pegangannya terpegang, benar, pintu itu tak terkunci. Malik telah keluar dan pasti belum kembali.
Selintas pikiran berkelebat di benak Haji Rasul. Anaknya minggat!
Naluri seorang ayah memaksa Haji Rasul membuka pintu, keluar untuk meyakinkan diri. Dinginnya angin Padangpanjang di subuh itu langsung menerkam wajahnya, membuat cuping telinganya yang tak tertutup peci tiba-tiba terasa baal kedinginan.
“Malik!” Orang tua itu tak lelah berteriak, mencari si anak yang tak tahu dimana. Tak ada tanda keberadaan Malik di gelapnya pagi saat matahari belum menampakkan sedikit pun tanda keberadaannya itu.
“Ya Allah,” Haji Rasul memegang dadanya. Ada nyeri yang tak bisa dikatakan. Ada sedikit sesal, namun tak jelas apa. Mungkinkah caranya mendidik selama ini salah, paling tidak buat anak lelaki sulungnya itu? Ia merasa ayahnya dulu, kakek Malik, jauh lebih keras mendidiknya. Melayarkannya ke Tanah Arab saat dirinya berusia 10 tahun, kini mungkin menjadi kebanggaan yang bisa ia terus ceritakan kepada sesama temannya, atau paling tidak anak-anaknya. Tetapi dulu, ia pun merasa betapa beratnya beban sendirian berjuang di tanah gersang, jauh dari orang tua dan handai taulan itu.
Mungkin pula cerita kebanggaan itu menyentuh titik kebanggaan Malik, anaknya. Mungkin ia hendak membuktikan bahwa ia pun mampu dan bisa menerima kepercayaan untuk merantau itu. Bukankah ia justru meminta izin padanya untuk berangkat belajar ke Tanah Jawa? Mengapa dirinya, yang berkali-kali bercerita dengan bangga tentang keberangkatannya keluar Ranah Minang di usia 10 tahun itu, justru tak mengabulkan keinginan Malik? Mengapa justru ia seolah tak percaya, mungkin bahkan di sisi Malik itu artinya tak lain dari melecehkan kemampuan anaknya itu bertahan hidup.
Padahal terbukti sudah, berbulan-bulan, nyaris membilang tahun anak itu pergi dari rumah, tak jelas keberadaannya. Namun anak itu jelas mampu bertahan. Ia pulang, meski dengan dua sisa luka tusukan di badannya, menandakan kerasnya hidup yang sempat ia jalani.
Haji Rasul mengela nafas. Nasi sudah menjadi bubur. Tinggal bagaimana ia kini berdoa kepada Allah, Sang Maha Kuasa yang Memegang Keselamatan dan Nyawa, agar anaknya itu selamat.
“Ya Allah, maafkan hamba. Hamba rela menerima segala cobaan ini. Bimbinglah anak hamba, Malik. Selamatkan dia dari segala aral bahaya. Jadikan dia kuat menghadapi apapun yang akan ia temui dalam perjalanan hidupnya. Temukan dia dengan apa yang menjadi cita-citanya. Hamba percaya, kemana pun dia melangkah, Kau akan membimbingnya, mendekatkannya kepada apa yang ia cita-citakan, yang menjadi tujuan langkah kakinya.”
Haji Rasul masuk ke dalam rumah. Ia hempaskan tubuhnya yang serta merta lunglai ke kursi rotan. Adzan subuh terdengar meliuk-liuk berkumandang, membelah hening dini hari.
Ia tahu, bunyi bang yang begitu indah itu dilantunkan seorang teman sebaya Malik. Hal itu membuat kerinduannya akan Malik kian menjadi.
“Hayya alal falaaaah…!” Mari menuju keberuntungan. Mari mendekat ke keselamatan.
Haji Rasul terhenyak. Ia tahu, di satu tempat, di mana pun itu, Malik tengah tegak, siap mendirikan shalat. Anak itu tak pernah alpa sembahyang, apapun dan tengah dalam kondisi bagaimana pun.
Haji Rasul segera beranjak ke dalam kamar. Melapisi ghaniahnya dengan jas lama yang mulai kumal. Tiba-tiba pagi teras begitu dingin. Lalu membuka pintu menuju masjid untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah. Ia tahu, dirinya begitu tak berdaya. Hanya Allah yang mampu menjaga anaknya.
**
Jauh dari Padangpanjang, berselang sehari sejak kepergiannya di tengah malam buta, pagi itu Malik menuruni tangga kapal yang membawanya tiba di Pelabuhan Bengkulen. Ia tak langsung berangkat ke Jawa. Tak ada dana. Justru ke Bengkulen itulah Malik berharap mendapatkan sangu yang membuatnya bisa mengantarkan cita-citanya pergi merantau ke Jawa.
Ada keluarga sepersusuan Malik di Bengkulen, tepatnya di Napal Putih. Memang jaraknya cukup jauh dari kota. Malik masih harus mencari cara menuju Lais, lalu ke Ketahun, sebelum dari sana langsung ke Napal Putih.
Tapi bagaimana lagi karena itulah satu-satunya yang bisa ia harapkan kini.
Meminta uang kepada sanak keluarga dari sisi ayah tak bisa karena tak ada keakraban di antara Malik dan mereka. Meminta dari keluarga pihak ibunya pun Malik tak kuasa. Tak enak, apalagi bila harus ke Andungnya. Ia tahu, sepeninggal Angku, kehidupan Andung juga lebih susah dibanding sebelumnya. Minta kepada ibunya lewat surat? Selain memakan waktu, janganjangan malah dibaca ayah tirinya, pedagang yang perilaku dan wataknya sangat perhitungan itu!
Sejak turun dari kapal, Malik sebenarnya telah merasa ada yang ganjil di badannya. Ia mengalami meriang tak berkesudahan. Awalnya ia pikir itu tak lebih karena terpaan angin sepanjang perjalanan laut. Apalagi dirinya tak sempat berpikir untuk membawa baju hangat . Tetapi lama-lama terasa bahwa itu bukan sekadar masuk angin biasa. Apalagi saat beberapa penumpang pagi itu memberitahu bahwa wajahnya kini memerah bara.
“Nak, kau istirahat dulu. Cari tempat menginap. Napal Putih masih jauh,” kata seorang ibu yang sempat menjadi teman berbincangnya di geladak kapal. Malik menjawab dengan jawaban-jawaban kecil seraya meyakinkan bahwa dirinya cukup kuat untuk terus melanjutkan perjalanan.
Tetapi apa yang dikatakan ibu tersebut benar adanya. Siang harinya Malik merasa tak mungkin lagi melanjutkan perjalanan saat itu juga. Dicarinya sebuah surau, tempat yang kemudian ternyata membantunya selama dua hari terkapar. Saat lapar, ia masih bisa memaksakan diri mencari lepau nasi terdekat. Ia memaksa diri makan karena sadar kondisinya akan lebih buruk kalau tak ada makanan apapun mengisi perutnya.
Kalau pun dua hari kemudian Malik pergi dari surau tersebut, itu bukan karena dirinya telah sehat. Malik sadar, mau tak mau, sampai kakinya tak bisa lagi dilangkahkan, ia harus terus mendekat ke tujuan.
Untunglah di pinggir jalan dia bersua suami istri pedagang yang mau pulang ke Lebong Landai, yang mengizinkannya turut bersama. Gerobak yang mereka naiki bersama barangbarang jualan itu memiliki roda mati, juga tanpa penahan guncangan. Namun barangkali karena sakitnya, Malik sepanjang perjalanan terus terbaring dengan badan yang kian panas.
Sampai di Ketahun ia dibangunkan istri pedagang itu. “Nak, maafkan kami, tak dapat mengantar sampai Napal Putih karena jalannya memang bercabang.” Sopan sekali keluarga pedagang itu. Malah sebenarnya keduanya meminta Malik ikut saja dulu ke Lebon, untuk melanjutkan perjalanan manakala sembuh. Malik tentu saja menolak. Tak ingin ia memberatkan orang-orang baik yang baru dikenalnya itu.
Di Ketahun Malik harus menginap semalam. Ia lewatkan waktu malam di teras sebuah rumah tua, karena sulit menemukan surau di malam selarut saat ia sampai. Esoknya, pagipagi benar, atas petunjuk orang yang ditemuinya Malik berjalan sudah payah ke tepian sungai, tempat penyeberangan sampan. Setengah sadar Malik bertanya dan mendapat kabar masih perlu berjam-jam memudiki Sungai Ketahun untuk sampai ke Napal Putih.
Artinya, sampan yang ia naiki harus melawan arus untuk sampai ke tujuan. Malik masih sadar ketika menaiki sampan. Sempat ia bicara, minta kesediaan pemilik sampan memberinya setengah harga. Untunglah ia bertemu orang baik. Pendayung yang juga pemilik sampan itu mengizinkannya.
“Ada urusan apa hendak ke Napal Putih, Nak? Kelihatannya kau orang jauh. Kau juga tampaknya sakit, Nak,” ujar si pendayung yang baik hati itu.
“Saya dari Padangpanjang, Engku. Saya hendak bertemu Engku Rasyad, kerabat ibu saya dari Maninjau.”
“Wah, Alhamdulillah!” kata tukang sampan itu. “Bapak kenal Pak Rasyad. Nanti saya arahkan kau harus kemana.”
Malik tak sempat lagi berbicara. Panas di badannya naik, seperti ada yang menyulut unggun api dalam tubuhnya. Hanya kini keringat yang tadi membanjiri tubuhnya sudah kering.
Namun justru itu yang membuat panas tubuhnya naik. Tak hanya dahinya yang seolah mampu memasak hangus telur yang dipecahkan di sana, sampai tangan dan kakinya pun panas membara.
“Kau sakit parah, Nak,” kata tukang sampan. “Kasihan sekali. Minum dulu air dingin ini. Nanti senyampang menunggu penumpang, Bapak akan mencari daun kenini. Mudah-mudahan saja bisa sedikit menolong.”
Malik hanya mengangguk lemah. Lalu berbaring merasakan sakit yang kian mengganggunya. Mungkin pula ia terlelap, karena selang beberapa lama tukang sampan membangunkannya.
“Minumlah,” katanya, menyodorkan air dalam mangkok kecil. Malik menerimanya dengan tangan gemetar. Bau kurang enak tercium manakala bibir Malik menyentuh bibir mangkok.
“Agak bau, tapi biasanya cukup menolong,” kata tukang sampan, seperti tahu apa yang dirasakan Malik. Remaja tanggung itu langsung meminumnya, hanya tak mampu habis. Air di mangkok itu tersisa nyaris setengahnya.
“Tidur sajalah, Nak. Nanti sampai Napal Bapak bangunkan.” Tukang sampan itu sempat memegang dahi Malik. Bayang kecemasan tampak jelas tergambar di wajahnya. “Duuh, panas nian badanmu, Nak. Bertahanlah.”
Malik menurut, karena tanpa saran itu pun tubuhnya sudah tak lagi kuat selain untuk berbaring. Ia memejamkan mata. Kesadarannya masih tersisa sedikit saat lamat-lamat ia mendengar tukang sampan menyarankan para penumpang yang tampaknya cukup memenuhi badan sampan untuk bersiap-siap membelah sungai.
Selama matanya terpejam itu Malik tak pernah benar-benar tertidur. Satu demi satu episode hidupnya datang membayang, bagaikan babak demi babak sebuah sandiwara.
Namun tak ada satu pun petikan kenangan yang menyenangkan. Tak ada ingatan dalam mimpi setengah sadarnya itu tentang bermalam di muara dan menjerat ikan bersama Angku. Tak ada pula kerlingan Rosa, Halimah atau pun Zuraida, saat mereka mendiskusikan buku pinjaman dari Blibliotek Zainaro. Tak ada senyum tulus Chamsinah, teman mengajinya waktu kecil.
Yang berdatangan silih berganti mengisi bayangan benaknya justru hal-hal yang menyedihkannya selama ini. Pertengkaran antara ayahnya dengan Angku soal adat, tangis diam-diam ibunya yang sering didapatinya menyendiri di dapur, mata melotot para penyabung ayam yang ia kalahkan di arena sabung, wajah mengerikan si codet pemilik kuda yang kalah dan memintanya mengganti kerugian, ayahnya yang terlihat kecewa lalu mempertanyakan apa yang menjadi kesenangannya, perceraian, pertarungan, para serdadu KNIL menyerbu sekolahnya…semua babak itu kemudian bergulung, berputar menjadi pusaran yang menyedotnya ke jurang hitam yang teramat dalam.
Hari telah kembali malam manakala Malik membuka mata. Panasnya tak berkurang. Ia terbangun karena merasakan tubuhnya terangkat, dibopong keluar perahu. Beberapa percakapan sempat didengar meski ia tak sepenuhnya sadar.
“Hati-hati! Pelan saja, pelan!”
“Duuh, panas sekali badannya!”
“Bendi sudah siap? Ayo berangkat. Terima kasih Engku, sudah menolong kerabat saya…”
Malik baru kembali tersadar esok harinya, itu pun dibangunkan mantri yang dijemput untuk mencoba menyembuhkannya. Tampaknya segala sesuatu sudah dilakukan untuk menyembuhkannya. Ada rasa sakit di bokongnya, membuat Malik meraba bagian itu.
“Kau sudah disuntik tadi. Jelas sekali kamu kena cacar, Malik.” Kata Rasyad, familinya, saat dilihatnya Malik sudah mulai tersadar.
“Kau sampai di sini sejak semalam. Pingsan terus, panas. Kami panggilkan Pak Mantri, ini,” kata Rasyad menunjuk seorang di pinggir dipan. “Agak telat, tapi masih cukup waktu untuk menyelamatkanmu.” Malik menggerakkan bibir, membuat isyarat bahwa ia sangat berterima kasih.
Mantri Suntik meminta Rasyad mendatanginya. Berdua mereka menuju sudut kamar. Lalu keduanya membincangkan kondisi Malik. Sebenarnya keduanya berbincang dengan lirih, nyaris berbisik. Namun tak ayal Malik sempat mencuri dengar. Tampaknya dirinya belum akan segera sembuh, menunggu kemunculan bisul-bisul kecil yang bertumbuhan di tubuhnya.
“Bahaya, Pak Arsyad. Baiknya dicari tempat yang agak menyingkir untuk penyembuhan kerabat Bapak ini,” kata Mantri Suntik.
Tidak hari itu Malik dipindahkan. Sorenya para keluarga sesuku Rasyad yang ada di Napal Putih berunding. Rasyad tak bisa lagi hanya seorang diri menanggung amanat itu.
Disepakati Malik akan dijagai Udin di sebuah rumah yang tengah kosong di pinggiran kota. Saleh Tadang akan menyelenggarakan apapun yang diperlukan si sakit. Seorang mantri akan datang tiap hari mengobati Malik, mantri suntik yang tadi mengobatinya.
Malam itu Angku Rasyad mengumpulkan warga. Entah karena kedatangan Malik atau bukan, yang jelas ada lima orang yang saat itu telah terkena cacar. Segera mereka juga diobati oleh mantri suntik yang saat itu didatangkan. Saat pengobatan massal itu dilakukan, ternyata hadir pula Asisten Demang, entah ia tahu dari mana.
Di rumah kosong itu, hanya berdua dengan Udin karena Pak Saleh Tadang hanya datang untuk memastikan segalanya lancar, dua bulan lamanya Malik tinggal. Pada hari kedua di rumah itu, bisul-bisul di tubuh Malik tumbuh bermunculan. Gatal sekali rasanya, sehingga meski telah diperingatkan mantri suntik untuk tidak digaruk, digaruknya juga bisul-bisul itu diam-diam.
Akibatnya, selang beberapa hari cacatlah mukanya. Penuh bopeng, terutama bagian hidung yang sering ia garuk sebelumnya. Rambut hitam yang dulu tebal berombak, hilang sudah, digantikan kepala yang nyaris gundul karena rambut yang pada rontok.
Malik kini menjelma seorang baru. Bukan lagi Malik tampan yang berkulit kuning langsat, melainkan Malik baru yang penuh capuk bopeng, dengan rambut tipis rontok.
Ketika bopeng-bopengnya mulai mengering luruh, dari dalam rumah Malik mendengar arak-arakan yang digelar warga melintasi rumah yang ia diami. Mereka merayakan kesembuhan tujuh orang warga, lelaki-perempuan, yang juga telah mulai sembuh dari serangan cacar. Arak-arakan itu mengular dalam barisan, dari satu ujung ke ujung kampung yang lain. Selain ada seorang modin yang membacakan ratib penolak bala, warga yang ikut arakarakan itu membawa berbagai alat yang bisa menimbulkan bunyi-bunyian. Itulah yang mereka pukul untuk membuat riuh suasana arak-arakan.
Banyak dari mereka membawa alat-alat rumah tangga yang bersuara nyaring bila dipukul, panci dan penggorengan, misalnya. Bunyi-bunyian itu, selain doa dan mantera, diyakini bisa mengusir Jin Cacar dan
Hantu Bala yang datang membawa wabah.
Sekitar sepekan setelah arak-arakan itu, Malik pulang. Rupanya selama sakit ada korespondensi antara Angku Rasyad dengan ayahnya, Haji Rasul. Kabarnya Haji Rasul telah mengirim sejumlah uang untuk biaya kepulangan Malik ke Padangpanjang.
Ia pun dipapah orang kembali naik sampan menuju Ketahun, dilanjutkan dengan bendi ke Bengkulen. Di sana sudah ada seseorang yang akan mendampinginya selama perjalanan dengan kapal kembali ke Padangpanjang. Alhasil, sebenarnya Malik tak pernah tahu, seperti apa rupa Dusun Napal Putih, meski sempat singgah di sana. Ia pingsan saat itu. Nyaris mati.
Entah karena percikan air Sungai Ketahun saat bersampan, kudis-kudis yang mulai kering di tangan dan kaki Malik kembali gatal. Rasanya begitu tak tertahankan, hingga Malik tak bisa tidak menggaruknya lagi. Tak urung, hal itu kembali menjadi persoalan saat mereka sudah naik kapal.
Kudis-kudis baru yang menjijikkan kembali tumbuh di badan Malik. Tak hanya menjijikkan, baunya pun mengganggu. Orang-orang menjauh saat berpapasan, seperti takut tertular. Batin Malik teriris. Selama perjalanan Malik memilih duduk meringkuk di sudut, kuatir mereka yang jijik sampai mengeluarkan perkataan yang tak mengenakkan hatinya.
Saat itulah, ia merasa semua yang terjadi semata karena kesalahannya sebagai anak yang tak tahu berbakti. Ia yakin, ia kena tulah karena tak menurut kehendak sang ayah. Penyakit itu membuat Malik mau tak mau banyak berkurung di rumah. Lama-lama, saat merasa tubuhnya sudah lumayan kuat, ia ingin juga berjalan-jalan ke Pasar Usang. Apalagi saat itu para pelajar sedang liburan, balik ke kampung, menambah keramaian. Dengan kaki penuh kudis yang membuatnya belum begitu kuat menapak, Malik datang ke Pasar Usang, memakai terompah kayu.
Tiba-tiba dilihatnya Ros, gadis yang pernah berkirim-kiriman surat dengannya, tengah membeli sesuatu di sebuah kedai. Didekatinya Ros, dengan penuh percaya diri seorang Malik yang pandai dan jago berpantun.
“Ros, kapan kau kemari?” tanya Malik. Lupa, kini wajahnya dipenuhi bopeng, dengan tangan tertutup sekian banyak sisa luka kudis.
Ros menoleh, sangat terkejut. Pastilah ia mengenal suara orang yang bertanya, namun tentu kaget karena merasa tak mengenal wajah orang yang menyapanya. Ros diam, demikian pula Malik yang pelan-pelan mulai sadar telah ada yang berubah dan membuat Ros canggung. Ia bukan lagi Malik yang dulu.
Penuh malu Malik menekur. Susah juga baginya pergi begitu saja setelah terlanjur menyapa tadi. Untunglah beberapa orang gadis teman Ros datang. Mereka menggamit Ros, mengajaknya ke sisi lain pasar, yang disambut gembira gadis yang jelas sekali merasa dilepaskan dari kesulitan oleh kedatangan teman-temannya itu. Tanpa berkata apa pun, Ros pergi bersama teman-temannya, meninggalkan Malik yang masih tepekur membaca tanah.
Tak sampai sepekan, Malik mengalami lagi nasib disepelekan. Kali ini oleh kerabatnya sendiri, Pak Ciknya. Saat itu ia tengah bermain, duduk-duduk di pekarangan rumah Pak Cik bersama beberapa teman lamanya. Tiba-tiba datang Pak Ciknya, keluar dari dalam rumah.
“Hai Malik! Mengapa juga kau harus bermain-main di sini?” katanya garang. Tak sedikit pun memperlihatkan bahwa dirinya punya pertalian darah dengan anak muda yang disapanya.
“Coba lihat mukamu di kaca. Wajahmu tak ubahnya tahi kerbau kena hujan!”
Malik kaget, mematung tak percaya apa yang ia dengar. Tak pernah terpikir di kepalanya ia akan menerima ucapan yang jelas-jelas menghina itu dari mulut Pak Ciknya sendiri, orang yang ia hormati sampai saat ini.
Tak ada yang keluar sebagai balasan dari mulut Malik yang tercengang terbuka. Ia hanya menatap mata Pak Ciknya sekian lama. Bukan untuk apa-apa, hanya untuk merekam mata yang marah itu di benak, lalu menjadikan rekaman itu dorongan yang menguatkan dirinya untuk terus mencari dan bertumbuh. Bagaimana pun Malik sadar, ia adalah tunas yang akan tumbuh, mungkin saja bahkan tinggi menjulang. Sementara Pak Ciknya hanyalah daun yang segera akan menguning, jatuh dan membusuk di tanah. Mengapa harus sakit hati menerima penghinaan seorang yang segera akan jatuh dan membusuk?
Alih-alih minder, kekurangan yang kini dimiliki membuat Malik justru kian giat. Kunjungan ke Bibliotek tak pernah henti. Kali ini minatnya bertambah dengan mempelajari segala sesuatu yang berkenaan dengan politik, hukum, tata negara dan persoalan social. Tak pernah terlihat sekali pun ia lupa membawa catatan dan pensilnya, kemana pun pergi. Kini, bila tiba-tiba ia berhadapan dengan pendapat orang yang lain dengan pandangannya, Malik tak segan-segan untuk mendebatnya, meski tetap dengan cara sopan. Bukan sekali dua ia mendebat para ninik mamak manakala pendapat mereka berlawanan dengan pandangannya.
Haji Rasul bukan tak melihat itu. Namun sengaja ia tak banyak berkomentar. Ia merasa kaburnya Malik beberapa waktu lalu adalah sebuah pertanda bahwa ia pun harus mau tahu dan sedikit mengubah gayanya mendidik Malik. Apalagi, lambat laun Haji Rasul pun sadar, dalam beberapa hal, karakter Malik adalah sifat-sifat dirinya di masa muda.
Sampai kemudian Malik datang lagi, meminta izin kepadanya untuk merantau ke Jawa. Itu terjadi pada 1924, saat usia Malik 16 tahun.
“Untuk apa kau ke Jawa?”
“Tentu menuntut ilmu, Ayah.”
“Ilmu apa yang hendak kau tuntut di sana? Perkara agama itu bukan di Jawa tempatnya, di sini, di Minangkabau. Entah kalau kau pergi kepada iparmu di Pekalongan.”
“Itu yang saya maksud,” kata Malik tegas.
Haji Rasul diam sejenak. Ia melihat wajah Malik. Wajahnya sendiri di masa muda. Karakternya sendiri saat itu.
“Kalau kau tetap memaksa, baiklah. Umurmu lebih dari 15 tahun, batas akil baligh. Secara agama, lepaslah kewajiban ayah. Asal kau serius, sungguh-sungguh, ya berangkatlah.”
Haji Rasul belum menyatakan kapan anaknya itu boleh berangkat, namun bagi Malik perkataan itu sudah membuatnya girang tak alang kepalang. Ia seolah mendapat durian runtuh. Diciumnya tangan ayahnya.
“Sebentar,” kata Haji Rasul. “Bukankah kau banyak menghafal pantun lama, Nak?”
Malik sebentar berkerut kening. Apa maksud ayahnya bertanya seperti itu? “Ya, Ayah. Cukup banyak yang saya hafal. Masih ingat kan, saya Datuk Indomo?” katanya tersenyum, sengaja berkelakar.
Haji Rasul menimpali senyum Malik. “Bila benar kata orang, beratus-ratus pantun yang telah kau hafal, kau pasti ingat pantun ‘Pancaringat di tepi air’?”
“Tentu,” Malik dengan cepat menyergah.
“Kau cermati dan dalami pantun itu.”
“Iya Ayah.” Lalu Malik pun berpantun sesuai yang ditunjuki ayahnya.
“Pancaringat di tepi air
‘Lah mati maka babuah
Ingat-ingat anak berlayar
Laut sakti, rantau batuah.”
“Benar,” kata Haji Rasul. “Sekali lagi, ingatlah terus pantun itu. Di sini, insya Allah ayah akan selalu mendoakanmu.”
Mata Malik berbinar, namun berkaca-kaca. Lalu kegembiraan yang menguar dari seluruh badannya, remaja tanggung itu berlari keluar. Mungkin menemui teman-temannya, memberitakan bahwa dirinya sebentar lagi sah menjadi laki-laki Minang. Menjadi perantau. [bersambung]
*Dinisbahkan kepada kalangan agama, santri. Awalnya dari kata mualim, pelajar`