POTPOURRIVeritas

Malik : Seorang Pemuda Mencari HAMKA

Pengantar :

Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).

Cerita bersambung di bawah ini mengulas sekelumit masa mudanya. Manakala ia masih seorang Malik.—

Secepat kilat Malik menekuk pergelangan tangannya tadi, meraih pergelangan tangan Si Ghaniah yang memegang kerambit. Dengan sedikit hentakan keras, kerambit itu kini berpindah ke tangan Malik. Tak membuang waktu, Malik langsung menikamkan kerambit itu ke paha pemiliknya sendiri. “Jreb!” terdengar keras bunyi kerambit itu membenam di paha.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Episode 9

“Alaaah, kau memang curang. Tidak mungkin Si Elang kalah kalau tidak dicurangi!” Anak itu tak bisa menjawab, dan karena itu kembali menuding tanpa sedikit pun menjelaskan alasan tudingannya.

Malik tahu, tak ada gunanya ia berpanjang kata dengan orang keras kepala dan dungu seperti itu. Ia melengos, diambilnya sangkar Si Kuniang, lalu kembali bermaksud berjalan mencari bendi. Pulang tentu saja lebih baik daripada meladeni anak dongok seperti ini, pikirnya.

“Hei, jangan seenaknya pergi. Kau harus kasih ganti rugi. Uang yang tadi kau dapat itu hasil curang, berikan!” Tahu-tahu Si Ghaniah mewah sudah berada di depannya. Jaraknya dekat, cuma dua hasta.

“Hei, kau kira siapa dirimu? Seenaknya menuding orang curang padahal ayamnya sendiri yang cuma jago kandang. Kau taruh sajalah ayammu di kandang, masih berguna buat pengawin ayam-ayam betina yang kau pelihara. Ayammu bukan ayam aduan, itu ayam pemacek, buat bikin bunting ayam-ayam betina!”

“Apa kau bilang!” teriak Si Ghaniah sambil melontarkan tinjunya mengarah dagu Malik.

Ealah, bukan cucu Angku plus anak murid Mak Tamam namanya, kalau Malik langsung kena ketupat Bengkulu yang diberikan Si Ghaniah itu. Dengan gerakan ilak yang manis kepalan tangan Si Ghaniah luput menghantam dagu Malik. Sebaliknya, tangan yang terjulur tanpa sasaran itu menggoda Malik untuk mengambilnya dengan jurus tangkok. Langsung ditariknya menyamping melewati tubuhnya. Dengan begitu badan Si Ghaniah tertarik ke arah Malik. Saat itulah sikut Malik dengan telak menghajar dagu Si Ghaniah yang kosong tanpa penjagaan.

“Kraak!” terdengar bunyi tulang sikut menghajar dagu. Keras, membuat Si Ghaniah menjerit karena pasti sangat sakit. Anak itu berguling-guling merasakan sakit di dagu dan pipinya.

“Hai anak rangkayo[1], kau dengarlah pantunku,” kata Malik. Sembari berkata Malik tetap bersiaga dengan kuda-kuda yang diajarkan angkunya.

“Redup bintang hari pun subuh,

Subuh tiba bintang tak tampak,

Hidup pantang mencari musuh

Musuh tiba pantang ditolak.”

Wajah Si Ghaniah merah padam. Mungkin baru kali ini ia kena batunya. Eh, setelah itu diejek pula dengan pantun. Makin gusarlah ia.

“Eh, kau menghina. Awas kau, jangan pikir ambo tak bisa membuatmu celaka!” kata dia. Secepat itu pula ia berdiri, memasang kuda-kuda dengan kaki yang terlihat kukuh. Matanya nyalang mengincar Malik, mencoba melihat bagian yang menurutnya lemah.

“Tuan puteri pergi ke lukut

Bawa pulanglah tuh kacang panjang

Sedikitpun hamba tak takut

Kalau berani turun gelanggang,” jawab Malik dengan berpantun.

Kian gusarlah Si Ghaniah. Didahului teriakan, kakinya terlontar mengincar dada Malik. Malik hanya melakukan gelek, memiringkan tubuhnya ke kanan tanpa mengubah kuda-kuda. Tendangan Si Ghaniah menghajar ruang kosong.

Tak mempersiapkan diri bila serangannya luput, posisi Si Ghaniah kedodoran. Malik yang telah melangkah serong menemukan peluang untuk menyerang. Kali ini kaki Malik melesakkan tendangan ke pinggang belakang Si Ghaniah.

“Jebrod!” tendangan itu telak mengenai sasaran, membuat Si Ghaniah jatuh mencium tanah. 

“Gubraak!”

Si Ghaniah kembali berteriak kesakitan. Hidungnya yang menubruk tanah, bocor mengeluarkan darah. Mukanya kian amat tak sedap dipandang.

“Putus sudah tali terberang

Semasa berlayar tengah lautan

Jangan berlagak jago yang garang

Kalau tidak sanggup berdepan.”

Kembali Malik mengejek dengan pantun yang lancar sekali keluar dari mulutnya. Kali ini Si Ghaniah tak membuka mulut. Ia hanya menggeram menunjukkan kekesalannya. Benar ia sendirian, karena sejauh ini tak terlihat bapaknya datang mencari.

Tiba-tiba tangan Si Ghaniah merogoh sesuatu di balik ghaniahnya. Tatkala tangan itu ditariknya keluar, sebuah benda tajam berkilau tertimpa sinar matahari. Kerambit, senjata berbentuk pisau melengkung sepanjang sekitar sejengkal. Di tanah Sunda senjata itu disebut kuku macan.

Malik terkesiap, namun hanya sejenak. Seharusnya sudah sejak tadi ia menduga anak kepala batu itu tak akan main-main. Ya sudahlah, pikirnya. Tinggal bagaimana mengelakkan senjata berbahaya itu.

Sabetan pertama Si Ghaniah dengan gampang diilak Malik. Tetapi serangan yang kedua disambutnya dengan ragu. Itulah salahnya. Jangan pernah ragu saat bertarung, selalu akan merugikan.

Tiba-tiba Malik menjerit keras, tikaman kerambit ke arah pahanya tak mampu ia elakkan.

“Bles!” suara besi itu menembus dagingnya. Seketika tak hanya paha Malik yang nyeri dan perih, tetapi juga ulu hatinya terasa mual. Apalagi ketika pisau bengkok itu ditarik pemiliknya.

Si Ghaniah terlihat belum puas. Dengan gelap mata ia mengangkat kerambitnya, yang segera meluncur ke arah Malik. Malik terkesiap. Ia sama sekali tak menyangka anak itu gila. Bagaimana tidak dikatakan gila, bila kerambit itu kini terarah ke dahinya?

Sadar bahwa setengah hati justru bisa membuatnya mati, Malik langsung menahan laju kerambit tadi dengan pergelangan tangannya. Untunglah ia menahannya dengan arah miring, sehingga sisi pergelangan tangannya itu yang kena.

“Cras!”

Nyeri rasanya, tentu. Namun dengan menghantam lajunyalah kerambit itu kini tak lagi bertenaga. Secepat kilat Malik menekuk pergelangan tangannya tadi, meraih pergelangan tangan Si Ghaniah yang memegang kerambit. Dengan sedikit hentakan keras, kerambit itu kini berpindah ke tangan Malik.

Tak membuang waktu, Malik langsung menikamkan kerambit itu ke paha pemiliknya sendiri.

“Jreb!” terdengar keras bunyi kerambit itu membenam di paha. Kontan sebuah jeritan berkumandang, jeritan Si Ghaniah yang melolong merasakan sakit di pahanya.

Merasa masih belum impas, Malik segera mencabut kerambit, meninggalkan luka dalam di paha Si Ghaniah. Saat diliriknya telapak tangan Si Ghaniah berusaha menutup semburan darah dari luka tadi, seketika itu pula kerambit ia tikamkan di sana.

“Wuaaaaaa!!!”

Pilu hati Malik mendengarnya. Bagaimana pun ia tetaplah seorang anak yang memiliki hati bersih dan penuh kasih. Sayang, apa yang ia alami setahun ini telah membawa sisi keras ke dalam perangainya. Sisi keras kehidupan yang ia lakoni di jalanan, di arena sabung ayam, di lapangan pacuan kuda, bahkan di beberapa lepau meski ia tak pernah minum tuak di sana.

“Maafkan aku. Kau juga yang terus mencari gara-gara,” kata Malik. Segera dihampirinya Si Ghaniah yang tengah berguling-guling merasakan sakit.

“Diam kau. Nanti makin dalam kerambitmu menusuk,” kata Malik. “Aku akan menolongmu, mencabut kerambit. Diam saja, kau hanya harus percaya dan jangan macam-macam.”

Si Ghaniah terdiam. Bagaimana pun ia tahu, kalau tak ditolong Malik urusannya bisa bahaya. Belum tentu ia segera mendapatkan orang untuk menolongnya. Mau mencabut sendiri kerambit yang menancap di telapak tangannya, ia tak berani.

Malik memegang tangan Si Ghaniah, lalu tangannya yang lain mencabut kerambit yang masih tertancap di telapak tangan Si ghaniah. Gerakan Malik sengaja dibuat cepat dan tak ragu. Makin dia ragu hanya akanm mendatangkan kesakitan buat Si Ghaniah.

Begitu kerambit itu lolos, segera Malik membuangnya jauh-jauh.

“Kau diam di sini. Ambo akan cari bendi dan minta kusirnya mengambil kau. Pulanglah, mari kita lupakan perseteruan ini. Kau kena dua tikam karena ambo tak ingin mengambil rente. Kau tahu ambo bisa menikam dirimu sebanyak ambo mau,” kata Malik. Si Ghaniah menangguk, matanya masih deras mengeluarkan air. Ia menyesal. Kalau saja tadi tak memperturutkan nafsu, tentu tak harus ia kembali dengan dua luka serius di badannya seperti saat ini.

Malik menyalami Si Ghaniah yang menerimanya dengan penuh kesakitan. Anak itu hanya mampu memperhatikan langkah cepat Malik menuju jalanan berbatu. Diam-diam Si Ghaniah mengagumi anak sebayanya itu. Bagaimana pun, toh dirinya sendiri yang memulai perkelahian, memulai pula penggunaan senjata tajam.

Tak sampai sepeminuman rokok, dua orang lelaki datang mendapatinya. Kusir bendi bersama pembantunya. Keduanya mengaku diberi tahu dan diamanati dengan keras untuk membawa dia ke rumah.

“Anak itu sudah membayar ongkos, meski ia tak tahu kemana waang akan dibawa,” kata kusir itu. Makin kagumlah ia akan bekas lawannya itu. Si Ghaniah berjanji dalam hati untuk mencari alasan mengapa ia terluka. Parah pula.

***

“Kau siap berlaga, Buyung?” tanya laki-laki berwajah codet itu. Sebagian wajahnya tertutup topi laken yang biasa dipakai para penjual kambing di pasar hewan. Ia sendiri bukanlah penjual kambing. Lelaki yang sekilas pun jelas bertemperamen kasar di usia lepas 30-an itu adalah pemilik kuda pacu berbadan tinggi luwes dengan kaki-kaki kuat yang tengah digosok Malik. Kuda itu tampak lain dari kuda-kuda lain yang siap berpacu di sini, dengan warna bulunya yang kekuningan. Wajar bila pemiliknya menamainya Si Kuniang.

“Siap. Memang apalagi yang masih jadi persoalan? Kau pun siap kan, Gumarang?” Malik menjawab pertanyaan orang itu, sambil tetap menggosoki bulu dan surai kuda pacu yang tampak sangat jinak kepadanya.

“Apa kau bilang, Buyung? Gumarang? Kuniang! Kuberi tahu lagi kau, nama kudaku ini Kuniang, bukan Gumarang!”

Lelaki itu tampak marah hanya untuk persoalan secetek itu. Apalagi sebagai seorang dewasa seharusnya ia sadar bahwa urusannya hanyalah dengan seorang anak tanggung.

“Apalah kata Engku. Ambo hanya ingin menyebut kuda hebat ini Gumarang, sehebat kuda tunggangan Cindur Mato,” jawab Malik, enteng. Dia bisa menjawab seenaknya karena tak lebih dari 20-an menit lagi dirinya akan naik kuda itu dan berpacu melawan kuda-kuda pacu lainnya di Payakumbuh ini. Kalau orang kasar itu marah dan memecatnya sekarang, ya silakan saja. Memang bisa dia mencari joki lain dalam hitungan kurang dari 20 menit?

“Seharian kau cari saja belum tentu ada yang sepandai aku menunggangi kuda ini,” pikir Malik.

Laki-laki itu tampak masih sebal karena kudanya disebut bukan dengan nama yang ia pilih. Tetapi ia sadar, posisi anak tanggung itu saat ini lebih baik daripadanya. Ya, saat ini, belum tentu sebentar lagi. Ia pun berusaha menahan diri, lalu tersenyum meski terlihat ganjil karena dipaksakan.

“Oh, begitu ya? Ow, kuda tunggangan Cindur Mato. Hebat nian kau beri nama kudaku ini, Buyung. Semaumulah,” kata dia. “Oh ya, berapa umurmu?”

“Tiga Bel..”

“Salah goblok!” sergah laki-laki itu sambil melotot. Di mata Malik bola matanya seolah akan berlompatan keluar, membuat Malik sedikit dicekam ketakutan.

“Tujuh belas tahun, Dungu! Atau kau tak akan diizinkan panitia ikut berpacu. Mau? “

Malik menggeleng. Rasa takut melihat bola mata dan wajah keji orang itu belum hilang dari dirinya.

“Jawab umurmu 17 tahun jika ditanya panitia.” Orang itu kembali mewanti-wanti. Malik hanya mengangguk.

“Jangan gagal, Buyung. Kau harus menang. Aku sudah bertaruh besar untuk kemenangan kuda ini. Aku akan rugi besar kalau kalah, dan kau tentu harus pula bertanggung jawab.”

Tiba-tiba timbul penyesalan di hati Malik, buat apa sepekan lalu ia nekad menggantikan salah seorang anak yang terkilir sebelum berlaga dalam pacu kuda. Saat itu tak ada niatan lain kecuali menjajal diri dan menunjukkan kepada kawan-kawan barunya, anak-anak

tempat pacuan kuda, bahwa ia pun mampu. Ia sempat belajar menunggangi kuda saat masih sekolah di Padang Panjang, di Sekolah Desa yang gedungnya adalah tribun penonton arena pacuan kuda Bancah Lawas. Tak bisa disebut belajar, sebenarnya. Malik hanya menjawab tantangan empunya kuda garang untuk menaiki kudanya. Malik hanya minta sedikit petunjuk, karena saat itu belum sekali pun dirinya menunggang kuda, apalagi kuda pacu.

Empunya kuda menjelaskan cukup detil apa yang harus Malik lakukan. Meski menantang, ia tak ingin dirinya patah leher karena terjatuh disentak kudanya.

Malik benar-benar mengamalkan ajaran itu, hingga bukan saja saat itu ia bisa menunggangi kuda garang tersebut. Di beberapa waktu lainnya pun tak jarang para pemilik kuda yang tiap hari membawa kudanya ke Bancah Lawas selalu memintanya menaiki kuda-kuda mereka. Tentu dengan sedikit imbalan. Kadang Malik diberi sekelip, kadang seketip untuk jasanya membawa kuda-kuda itu berolahraga, mengelilingi arena pacuan.

Nah, dua pekan lalu itu ia dan kuda yang ditungganginya berhasil menjadi juara. Tak hanya sekali, berkali-kali. Sejak itulah namanya mulai dikenal para joki dan pemilik kuda di Payakumbuh ini. Hingga dua hari lalu ia bertemu Si Codet pemilik kuda yang Malik beri nama Gumarang karena gagahnya itu. Orang itu tengah mencari joki untuk pacuan kuda hari ini. Pacuan terbesar bulan ini, karena mendatangkan para pemilik dan kuda-kuda dari Padang Panjang, Pariaman, Bukittinggi, bahkan Padang, tak hanya kuda-kuda Payakumbuh yang telah saling kenal kehebatan dan kelemahan satu sama lain.

Malik mau saja waktu orang itu memintanya menjadi joki kudanya. Ia sangat terkesan akan kuda yang tinggi semampai dengan otot-otot kaki kuat itu. Apalagi orang itu pun menjanjikan upah yang lebih banyak dibanding biasa. Kini Malik merasa menyesal, tapi semua sudah kasip.

“Engku, bolehkah ambo minta seketip buat pembeli nasi? Ambo lapar, belum makan,” kata Malik meminta. Ia tidak bohong, memang begitulah adanya.

Si Codet hanya nyengir seolah mengejek. Alih-alih meluluskan permintaan Malik dengan memberinya sedikit uang, ia malah berkata bahwa justru itu lebih bagus.

“Kalau kau makan dulu, berat badanmu bertambah dan membuat Si Kuniang keberatan. Nanti saja, usai pacuan.”

Malik tak lagi meminta. Sekali saja meminta pun sudah persoalan besar baginya. Buatnya, kalau seseorang mempekerjakan orang lain, telah seharusnya orang itu memikirkan keperluan orang yang ia minta bantuannya itu. Bagi Malik itu sudah hukum tua yang harus dipenuhi. Jadi tidak benar kalau untuk sekadar makan pun ia harus merengek meminta buat sesuatu yang sebenarnya merupakan haknya.

“Hai Buyung, aku tak peduli kau masuk gelanggang dalam keadaan bagaimana. Mau lapar, mau sakit, bukan urusanku. Tapi jangan lupa, kau harus menang. Aku dan kawan-kawanku akan bertaruh besar untuk kemenangan Si Kuniang. Kalau kau sampai kalah, awas kau!” kata Si Codet mengancam. Sebelum pergi ia sempat mengelus-elus surai kudanya.

Malik telah tegak di punggung kuda saat kuda-kuda lain dan jokinya satu persatu masuk arena. Mereka berdiri berjajar terpisahkan batas yang dibuat dengan taburan kapur putih. Batas itu baru saja diperbarui tadi, khusus untuk laga kali ini. Laga terakhir setelah sebelumnya kuda-kuda di kelas yang lebih ringan saling berpacu di sini.

Begitu panitia memukul tambur tanda dimulainya laga, Si Kuniang melesat cepat, membuat penunggangnya nyaris tersentak ke belakang. Untunglah kaki Malik menempel erat pada sanggurdi. Setelah menemukan posisi nyaman, Malik segera menempelkan tubuhnya doyong ke depan.

“Ayo, Gumarang, larilah lekas!” bisiknya ke dekat telinga kuda tegap itu. Seolah mengerti, kuda itu mempercepat langkah-langkah kakinya, menderap mencoba meninggalkan kudakuda lain. Malik makin doyong, badannya menempel lekat ke badan kuda. Dengan peluknya leher Gumarang penuh sayang.

Kini kuda yang ditunggangi Malik melesat meninggalkan kuda-kuda lain. Hanya dua puluh meter lagi jarak akhir putaran pertama. Ya! Gumarang menjadi pemimpin pada putaran pertama. Masih dua putaran ke depan dengan tetap mempertahankan posisi ini bila dirinya dan Gumarang ingin jadi juara.

Malik menengok ke belakang. Ada kuda putih yang terlihat berusaha mengejar dan menggantikan posisinya saat ini. Walah, jarak antara dirinya dan kuda itu hanya terpaut sekitar tiga meter! Dua meter!

Ditepuknya leher Gumarang sambil berbisik untuk kembali mempercepat larinya. Malik tak hendak menggunakan cemeti kecil yang rata-rata dipegang para joki. Cemeti yang sesaat sebelum berpacu diterimanya dari lelaki codet pemilik kuda ini. Ia selalu merasa keterikatan antara kuda dan penunggangnya jauh lebih kuat dibanding lecutan cemeti sesakit apapun. Ia juga tak ingin, tak pernah ingin malah, kudanya bisa memenangkan pacuan dengan bilur-bilur di badan. Tak, tak akan!

Gumarang kembali mempercepat langkah-langkah kakinya. Ia kian menderap, mencoba berlari lebih kencang agar kuda putih yang terus memepet itu tak bisa melampauinya.

Benar, kuda itu mulai tertinggal. Dua….Tiga…Empat meter di belakang. Tetapi bagaimanapun balapan kali ini nyata sekali bukan buat anak kemarin sore yang lebih banyak beruntung karena faktor kenekatan, dibanding menguasai teknik, strategi dan pengalaman. Pas satu setengah putaran terlihat sudah bahwa kuda-kuda lain memang menahan tenaga untuk berpacu segila-gilanya di putaran terakhir.

Pas jarak balapan tinggal satu putaran, tiba-tiba Malik melihat kuda-kuda lawan telah berada di kanan-kirinya. Kalau pun di belakangnya, jaraknya tak lebih dari sepanjang badan kuda. Kini kuda-kuda yang berpacu itu seperti berdesakan mencari jalan untuk menjadi yang paling depan. Kadang Malik sampai harus berhati-hati menunggang, kuatir terpental karena desakan laju kuda-kuda lain. Saat itulah Malik tiba-tiba tersadar bahwa ia telah memacu keras Gumarang di awal-awal.

Malik terlambat menyadari bahwa kini Gumarang nyaris menjadi kuda pacu terakhir yang berlari di balapan tersebut. Memang jarak antara kuda-kuda itu tak terlalu jauh. Jarak Gumarang ke kuda terdepan pun hanya sekitar lima meter. Tetapi bukan persoalan sepele untuk mengejar, bahkan mengejar kuda terdekat yang hanya berada di depannya setengah badan kuda.

“Hus! Hiyaaah!” Malik kembali menepuk-nepuk leher Gumarang. Kuda itu tampak berusaha patuh dan berusaha menambah kecepatan derap larinya. Sayangnya kuda itu sudah kelelahan. Mulutnya mulai berbusa, sementara kaki-kakinya tak lagi mampu menambah derap. Pelan tapi pasti posisi Gumarang kian tertinggal, hingga saat semua masuk finish, Gumarang dan Malik adalah kuda pacu dan joki yang terakhir.

Masih duduk di atas Gumarang, Malik melihat dari belakang Si Codet berlari ke arahnya.

Tak ingin menarik perhatian, Malik menyentak kekang kuda, meminta Gumarang berlari-lari kecil menjauh mengelilingi arena pacuan. Setelah orang-orang larut mengelu-elukan pemenang, Malik melecut kudanya berlari lebih cepat. Pas di salah satu pintu keluar Malik melompat dari pelana. Ditariknya tali kekang Gumarang, lalu diikatkannya tali itu.

Saat menoleh ke belakang, Malik melihat Si Codet meneriakinya dari kejauhan. Tak sendiri karena beberapa orang berlari mengikutinya.

“Hooi! Anak sial, kembalikan uangku!” samar-samar ia mendengar teriakan itu. Bukan karena pengecut, tapi Malik tak ingin menambah persoalan dan bertikai dengan Si Codet dan kawan-kawan seperjudiannya. Ia tahu, jalan terbaik adalah lari dari sini selekas-lekasnya.

Usai menepuk kepala Gumarang beberapa kali sambil mengucap salam perpisahan, Malik segera meloncat ke arah pintu keluar arena pacuan. Ia menubrukkan diri dan berjejal dalam kerumunan pengunjung, baik yang hendak masuk untuk melihat kuda pemenang, atau pun yang keluar karena pacuan telah usai. Lima menit berkelit-kelit menerobos kerumunan pengunjung, Malik mulai merasa aman. Namun tetap dicarinya jalan paling sunyi dan aman, kuatir kawanan penjudi itu terus mengejarnya.

Sore itu, dengan mengendap-endap Malik sampai di tempat ia menumpang. Diambilnya bajunya yang tak seberapa. Tadinya ia bermaksud pamit pada yang punya tempat, namun tak juga orang itu ia temukan. Malik sudah bertekat untuk kembali ke Tanah Sirah beberapa lama sebelum pulang ke rumah ayahnya di Padang Panjang. Ia tahu, hampir setahun ia bertualang tak tentu tujuan, selain mencoba melupakan kepedihan yang merundungnya. Mampukah ia menghilangkannya? Jangankan menghapusnya, melupakan sedikit pun ia tak mampu.

Itulah pelajaran yang ia ambil selama setahun ini. Jangan pernah berlari dari kenyataan, apalagi bermaksud mencari pelampiasan. Hadapi dan tegarlah dalam kesabaran. Melupakan itu sukar, teramat berat. Cobalah memaafkan, memaafkan orang-orang yang kau anggap membawa persoalan besar kepada hidupmu. Atau mungkin memaafkan dirimu sendiri yang pasti punya andil besar dalam persoalan yang kau hadapi. Tanpa memaafkan, tak akan ada penyelesaian, pikirnya.

Pikiran-pikiran itu yang selama ini terus bergumul di kepalanya,  saling tindih, saling meniadakan. Sampai di hari-hari terakhir di Payakumbuh itu ia merasa menemukan jalan baru: sabar. Ia kini yakin, dari kapan pun menjadi joki bukanlah jalan kehidupannya. Ia harus kembali. Kembali ke Maninjau, kembali ke ayahnya. Yang terutama, kembali belajar, karena jalan itu pula yang telah membentuknya selama ini. [bersambung]


[1] Orang kaya

Back to top button