Solilokui

Hari Buku Dunia di Negeri Wartawan Malas Baca

Untuk kelima kalinya, berturut-turut setiap tahun kami mengunggah tulisan ini. Sempat di Inilah.com, di grup Epic, dan saat ini di Jernih.co, namun masih merasa tulisan ini relevan. He he…

Oleh :    Darmawan Sepriyossa

Jika ada yang masih berpikir bahwa membaca bukanlah aktivitas relijius, mulailah kembali aktif ikut pengajian, Pendalaman Iman, atau sekalian Sekolah Minggu.

Sebab, membaca bahkan menjadi perintah pertama Allah Sang Maha Pencipta kepada rasulnya Muhammad SAW, yang gemetar di kegelapan Gua Hira saat menerima wahyu pertama itu. “Iqra! Iqra! Bacalah!”

Dalam sejarah Kristiani kita tahu, pertobatan seorang pendosa bernama Aurelius Augustus bermula dari sebuah bisikan gaib yang terus mendengung mengganggunya. “Tolle, lege ! Tolle, lege! Ambil, bacalah ! Ambil, bacalah!” Ia pun mengambil Alkitab, membacanya, dan menemukan jalan untuk berbakti di jalan Tuhan. Belakangan ia dihormati sebagai seorang santo yang hari ini kita kenal sebagai Santo Augustinus.

Karena membaca adalah aktivitas relijius, wajar bangsa ini kini terpuruk ke dalam kenistaan budaya korupsi. Mengapa? Karena warga Indonesia bukanlah warga yang relijius alias warga yang taat kepada perintah Tuhan untuk membaca. Lihat saja angka-angka statistik berikut ini.

Menurut Kepala Perpustakaan Nasional (lima tahun lalu), Sri Sularsi, berdasarkan survey United National Developmet Program (UNDP), masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang gemar membaca. Hasil survey UNDP itu menegaskan, rasio gemar membaca di Indonesia hanya 0,1 persen atau satu berbanding 1.000 orang. Artinya, dalam seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang yang gemar membaca!

Hal itu lebih dibuktikan dengan hasil survei minat baca.Orang Indonesia ternyata memiliki minat baca paling rendah di ASEAN. Berdasarkan rasio penduduk, idealnya satu surat kabar dibaca oleh 10 orang (1:10). Di Indonesia, satu surat kabar dikonsumsi oleh 45 orang (1:45). Survei sejenis yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2006-2012 menegaskan kian turunnya jumlah pembaca surat kabar.

Pada 2006, persentase orang yang membaca ada 19,98; selanjutnya untuk 2009 turun menjadi 16,26, dan pada 2012 menjadi 15,06. Penurunan jumlah pembaca juga terjadi terhadap majalah.Persentase masyarakat yang membaca majalah berkurang, dari 11,26 persen pada 2006, turun menjadi 7,45 persen pada 2009, dan 6,92 persen selama 2012.

Akurasi data itu bisa dilihat dari sisi penjualan buku di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Penerbit ReneBook dan Turos Pustaka, Luqman Hakim Arifin, penjualan bukudi Indonesia relatif rendah. Asumsi tersebut didasarkan pada rata-rata jumlah judul buku baru yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia yang hanya sekitar 24.000 judul per tahun, dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Artinya, dalam setahun hanya ada 72 juta buku yang diproduksi.

Anda masih bisa mendapatkan beragam hasil survei, penelitian, polling, atau apapun dengan hasil sama: bangsa ini belum menghargai membaca sebagaimana perintah Tuhan.

Yang lebih menyedihkan, gejala kemalasan membaca itu juga menjangkiti komunitas yang seharusnya menjadikan membaca sebagai sarapan pagi, makan siang dan makan malam mereka: wartawan alias jurnalis. Pengalaman terlibat dalam rekruitasi atau pun pelatihan reporter baru di tiga media massa membuka mata saya akan fakta tersebut. Paling tidak, kian tahun kian terasa bahwa buku ternyata bukan lagi sahabat setia kalangan muda yang melamar jadi wartawan. Dan tentu saja hal itu sebuah fakta kontradiktif.

Bagaimana mungkin wartawan yang malas membaca mampu memberikan banyak kebaikan dan hal-hal baru kepada pembacanya? Bagaimana bisa jurnalis yang jarang memperkaya diri dengan membaca bisa memberikan kesegaran berbahasa, kalimat yang benar secara aturan tetapi tetap memikat dan terbaca nikmat? Bagaimana bisa wartawan memperkaya perbendaharaan kata-katanya tanpa membiasakan diri dan menyukai aktivitas yang namanya membaca? Bagi saya, jawaban semuanya adalah tidak.

Menurut Marco Catani, seorang ahli dari The Institute of Psychiatrydi London, Inggris, seorang dewasa rata-rata memiliki 30 ribu kosa kata. Ketika seorang wartawan ditugaskan dan bertanggung jawab pada salah satu desk, berita perkotaan, misalnya, maka kata-kata yang khusus melekat pada desk perkotaan akan membatasi cakrawalanya. Kata-kata baru sesuai desknya datang dan memaksa untuk dipakai lebih sering. Seorang wartawan balaikota DKI Jakarta tentu akan sangat akrab dengan kata-kata Ahok, Trans Jakarta, Haji Lulung, Kalijodo,Kali Krukut, dan sebagainya.

Kata-kata tersebut dengan kehadirannya yang masif, akan membatasi kata-kata lain dari beberapa bagian lain kehidupan ini. Kosa katanya pun menciut. Alhasil, cakrawala si wartawan pun kian terbatasi dengan kata-kata yang hampir setiap hari ditulisnya itu. Tanpa banyak membaca, terutama hal-hal lain di luar persoalan Jakarta dan permasalahannya, maka dunia si wartawan pun kian sempit.

Apalagi bila persaingan media massa untuk bersicepat menyiarkan persoalan kita masukkan sebagai faktor tambahan. Alhasil, bukan hanya hidup si wartawan yang kian tanpa warna, tetapi karya jurnalistiknya pun semakin basi tanpa rasa. Kepala yang tak sarat isi tak mungkin memberi pembaca banyak variasi. Sementara bukankah sejak zaman karuhun pun pepatah Latin bilang,”Variatio delectate, variasi itu menyegarkan.”

Inilah yang dengan cermat diangkat peraih Pulitzer, Howard Rosenberg dan Charles Feldman dalam No Time to Think: The Menace of Media Speed and the 24-Hour News Cycle. Kompetisi media yang kian gila, membuat media massa tak lagi punya waktu untuk mengendapkan apa yang mereka dapatkan sebelum menyiarkannya untuk khalayak. Waktu itu juga mencakup waktu untuk memperkaya, menggali bahan lebih dalam, mencari perspektif lain yang lebih kaya dan sebagainya. Jadi jangan heran, bila di sini pun kita kian sering disuguhi acara ganjil hanya demi memuaskan pemirsa yang kian tak tahu pula apa yang perlu dan yang tidak.

Wartawan seharusnya tak pernah lepas silaturahmi dari buku. Tanpa buku, ia kehilangan kaki yang membawakannya cerita dari negeri-negeri yang bahkan belum pernah ia jejaki. Bila setiap orang memiliki karakter yang dibentuk rumah yang membesarkannya, buku — sebagaimana kata cendikiawan Muslim Mochtar Pabottingi, adalah yang memberi setiap orang cakrawala.

Tanpa buku, seorang wartawan juga warga masyarakat lainnya, tak akan bisa menghindari beku.

Umberto Eco pernah mengutip pujangga Alanus bahwa dari buku dan hidup kita belajar dan mendewasa.

Semua makhluk di dunia/

Bagaikan buku dan gambar/Kaca cermin bagi kita…[dsy]

Check Also
Close
Back to top button